♥ 3. Dunia Benar-benar Sempit, Ya? ♥
Dua bulan kemudian.
"Selamat siang, Pak. Ada yang bisa dibantu?"
Seorang pria berusia sekitar akhir dua puluhan menyerahkan sebuah amplop berisi voucher menginap selama dua hari. Stella mengecek tanggal check in dan memeriksa kamar yang dimaksud di layar komputer.
"Bapak Tristan Benedict Lie, Anda ingin single bed atau double bed?"
Pria yang dipanggil Tristan Benedict Lie itu sedikit menurunkan nada suaranya hingga seperti bisikan, bukan bermaksud menggoda tetapi takut ketahuan cewek yang datang bersamanya yang saat itu memang berdiri di belakangnya sambil mengecek ponsel.
"Single bed," jawabnya. Stella menilai kalo cewek itu pasti pacarnya atau istrinya.
"Silakan, Pak," tukas Stella sambil menyerahkan kunci magnetik kepada pria yang memiliki wajah tirus itu.
"Terima kasih," tukasnya sambil menerima kunci.
Suaranya khas dan gampang diingat karena rendah dan seksi sampai Jun yang sedang sibuk di meja sebelah juga mendongak menatap pria itu.
"Pacarnya?" tanya Jun ketika tamu yang dilayaninya pergi. Stella angkat bahu.
"Maybe, but that is not your bussiness!" gertak Stella jutek. Jun tersenyum lebar sampai mulutnya ikut melebar. Jun adalah satu-satunya temannya di hotel ini. Karena Jun juga dia bekerja di sini.
Duh! Karena masalahnya dengan Ariyo mungkin seluruh masyarakat kota Medan sudah tau kalo dirinya pelakor. Bahkan beberapa teman Liza membully dirinya di media sosial.
Mending ia bisa bekerja di sini, di kota Berastagi. Dua jam dari kota Medan, udaranya bersih karena berada di dataran tinggi, pemandangannya asri, dan yang paling penting ia nggak jobless, nggak harus numpang di rumah ibu tirinya.
Stella mengerutkan kening.
Baiklah, rumah ayahnya.
Ayahnya Hari Saliem bercerai dengan ibunya Stella waktu Stella masih berusia empat tahun, kemudian ayahnya menikah lagi dengan tante Irma, sementara itu ibu kandungnya Stella kerja di Malaysia. Stella diasuh oleh ayahnya dan ibu tirinya yang kemudian punya dua putri lagi dalam pernikahan itu.
Hubungan Stella dengan sang ibu tiri tidaklah harmonis. Sang ibu tiri cerewet dan pastinya lebih menNanangi kedua putrinya, Amara dan Jessica. Apa pun yang dilakukan si kecil Stella selalu salah di mata sang ibu tiri sehingga Stella menjadi minder dan nggak gampang bergaul.
Sampai Stella lulus sekolah, tibalah sebuah kesempatan untuk lepas dari Sang Ibu Tiri ketika Sang Ayah bertanya akan ke mana Stella kuliah. Stella menjawab ingin kuliah di Bandung mengambil jurusan Pariswisata dan Perhotelan. Ayahnya menyetujui meskipun ibu tirinya mengomel kalau biaya kuliah itu tidak murah.
Stella berangkat ke Bandung dan ia berharap nggak perlu pulang-pulang lagi kalau liburan sekali pun. Hidupnya jauh lebih menyenangkan tanpa direcoki ibu tiri cerewet.
Tapi kenyataannya ia tetap harus pulang untuk bertemu ayahnya setiap liburan karena ia menyayangi ayahnya.
Sedangkan ibu kandungnya sendiri hanya bisa ditemuinya ketika ibunya itu punya waktu ke Bandung atau ibunya mengirimkan tiket pesawat ke Kuala Lumpur untuknya. Stella berharap ibunya bisa menemukan pasangan hidup meskipun ibunya mengatakan kalo dia tidak butuh laki-laki kalo hanya menyakiti perasaannya.
Aneh memang! Ibu tirinya selalu mengatakan kalo ibu kandungnya yang selingkuh tapi sampai sekarang ibunya masih sendiri.
Yah... gimana pun Stella berharap ada seseorang yang bisa menjaga ibunya.
"Ahem, mikiran apa sih?"
Stella mendongak menatap Jun yang sekepala lebih tinggi darinya. Pria itu berkulit cokelat dan bertubuh tegap, juga memiliki raut wajah yang tampan, matanya kecil tapi hidungnya mancung dan mulutnya lebar, kalo dia tidak duduk di meja resepsionis di hotel ini, pasti ia bisa jadi aktor sinetron.
"Mikirin cowo ganteng yang tadi?"
"Jijay ah, Juneidi Lennon!"
Wajah Jun langsung cemberut begitu namanya disebut secara lengkap. By the way, Jun nggak suka ada yang memanggil dia dengan Juneidi atau Juned karena namanya itu bikin dia teringat dengan sebuah peristiwa yang berhubungan dengan cewek. Juneidi Lennon, memang nama pemberian bapaknya yang notabene penggemar grup The Beatles, grup musik asal Liverpool, Inggris yang cukup tenar di tahun enam puluhan sampai tujuh puluhan sebelum akhirnya bubar dan sang vokalis dibunuh oleh fannya sendiri.
Jun juga sebel dipanggil Juned meskipun semua teman kecil dan sekampungnya memanggilnya dengan panggilan Juned. Dulunya ia menganggap itu bukan masalah sampai terjadi sebuah peristiwa yang membuatnya lebih suka dipanggil Jun. Peristiwa yang rada-rada tragis dan memalukan kalau diingat.
Dulu sewaktu Stella masih menjadi seniornya di akademi pariwisata, Jun pernah suka pada seorang adik kelas mereka. Stella lupa namanya, tapi si adik kelas ini cukup tenar juga karena memiliki raut wajah cantik dan berasal dari keluarga yang cukup terpandang. Sebenarnya sih, si cewek ini awal mulanya menaruh hati sama si Juned aka Juneidi. Waktu kenalan Jun nggak ngasih tahu nama aslinya. Terus waktu si cewek ini tahu nama asli Jun, mulai deh dia dibully sama temen-temennya sampai akhirnya dia malu sendiri dan menghindari Jun.
Waktu cewek itu menghina Jun di depan temen-temennya, kebetulan Stella lewat. Stella nggak tahan dengan hinaan yang ditujukan bahkan bukan untuknya. Stella menggandeng tangan Jun yang bahkan belum dikenalnya waktu itu.
Eh, jadi kencan kita malam ini? Yuk ah cabut!
Satu kalimat itu mengembalikan harga diri Jun. Stella cukup populer di kampus dan mulai saat itu sekampus mengira beneran Jun pacaran dengan seniornya itu. Pertemuan itu menjadi awal persahabatan mereka apalagi kedua sama-sama berasal dari Sumatera Utara.
Meskipun sering dikira pacaran tetap saja hubungan keduanya murni pertemanan.
"Dengar, Stella Natalin! Kalau kau memanggilku dengan nama panjang lagi, kita putus hubungan!"
Stella mendengus sebal.
"Aku sudah mendengar ancamanmu sebanyak seribu delapan ratus dua puluh enam kali dan kau tetap masih mau berteman denganku!"
Kening Jun berkerut sambil menatap cewek kurus yang meskipun tinggi tetap saja kepalanya nggak sampe dagu Jun.
"Benarkah aku sudah mengancam sebanyak itu?"
Stella mengangguk yakin.
"Tahun pertama pertemanan kita kau mengancamku sebanyak 200an kali. Tahun kedua juga hampir sama. Tahun ketiga kita pisah kota jadi intensitas pertemuan kita berkurang tapi kau mengancamku sebanyak 98 kali. Lalu..."
"Stop!!!"
Gawat, pikir Jun.
Menjadi temannya saja, Stella begitu merepotkan, bagaimana kalau bener Jun jadi pacarnya? Stella pasti akan mengingat sampai ke detilnya kapan Jun terlambat menjemputnya, Jun lupa hari jadi mereka, Jun lupa membawakan bunga pada hari Valentine. Dan Jun akan mati muda!
Pasti! Jun akan mati muda!
Untungnya ia masih waras dan tak jatuh hati pada Stella meskipun cewek itu cakep dengan mata segaris, hidung mancung, bibir penuh, dan tubuh tinggi yang proporsional.
Hanya saja, ada satu yang cukup mengganggu Jun.
Yaitu Mamaknya.
Mamaknya Jun berdarah Batak. Sejak bapak Jun meninggal dalam kecelakaan lalu lintas, mamaknya sendiri menjual sayur di pasar pagi demi membiayai Jun dan kedua adiknya.
Mamaknya itu suka pada Stella dan menganggap cewek itu sebagai calon mantunya meskipun baik Jun dan Stella sendiri sudah menjelaskannya berkali-kali kalau mereka hanya berteman.
Sekarang kelen bilang bertemanlah, besok-besok kan lain lagi ceritanya.
Tit tit tit tit!
Jun mengeluarkan ponselnya dari dalam saku. Tertulis nama pengirim dari Mamaknya.
Mamak : Mamak masak mie gomak. Kau undanglah Stella makan di rumah.
Secepat kilat Jun membalas.
Jun : Stella sibuk Mak. Dia lagi ada sodaranya yang datang.
Jun merasa bersalah ketika mengusap layar sentuh kirim.
Tapi ia benar-benar tidak ingin Mamaknya terus menaruh harapan pada dirinya dan Stella.
"Juneidi Lennon! Mengapa mukamu busuk seperti ditendang kuda setelah membaca pesan?"
"Bukan urusanmu!" semprot Jun pada Stella. Stella melotot galak padanya.
"Lagi PMS dirimu?"
"Kalok iya kenapa? By the way, Darling, aku lupa kasih tau kau! Kemarin aku pake handphonemu lalu aku baru tau kalo kau sering liat medsos milik cowok itu siapa namanya? Daniel? Niel? Aku inbox dia mengundangnya datang ke Berastagi."
Stella bagaikan sedang mendengar ibu tirinya sedang melepaskan kutukan kepada dirinya.
"Kau apa? Juned alias Juneidi Lennon kau pakai akunku? Kau inbox dia pake akunku? Setan kau!"
Stella masih sadar kalo berada di front desk jadi ia masih menekan suaranya. Tapi ia benar-benar ingin mencekik Jun.
Jun menarik nafas panjang dan tersenyum nakal. Ia tidak menunjukkan tanda-tanda khilaf.
"Aku mengundangnya datang. Kau perlu pergi ke pesta pernikahan temanmu. Anggaplah kau memang nggak pergi ke pesta tapi kau perlu cowok agar kau lepas dari bully-an."
Stella mengertakkan giginya. Ia ingin sekali merontokkan rahang Jun sekarang ini.
"Dia tidak baca inbox kan?"
Stella masih berharap. Jun menggeleng.
"Dia baca tapi... tidak menjawab."
Stella lega tapi sekaligus kecewa.
♥♥Romeo Pinjaman♥♥
Stella baru tiba di depan rumah sewanya dalam keadaan basah kuyup. Akhir-akhir ini kota Berastagi selalu diguyur hujan pada sore hari, pas ketika shiftnya berakhir. Tadinya ia minta diantar Jun. Jun punya mobil Xenia yang baru dibelinya beberapa bulan yang lalu tapi Jun bilang tidak bisa mengantarnya karena Jun punya kencan di kota, beda arah dengan rumahnya.
Ciye, Jun punya kencan.
Si Abang Batak itu akhirnya ada yang mau juga.
Mudah-mudahan kali ini sukses, nggak seperti yang sebelum-sebelumnya.
Stella mengibas-ngibaskan rambutnya yang basah.
Meong meong.
Si kucing peliharaan Stella protes dengan air yang mengenai bulu putihnya.
"Po, kok kamu bisa keluar?"
Si Kucing yang diberi nama Po itu nggak bisa menjawab dan terus mengeong. Stella berniat menggendong Po tapi Po malah melarikan diri.
"Po!"
Po kabur dengan melompati pagar pendek menuju rumah tetangga. Rumah kosong sih.
Stella nggak mau susah-susah meengitari taman mungilnya, langsung ikut melompati pagar semeter yang terbuat dari kayu bercat putih.
"Po!"
"Owek owek..."
Sejak kapan Po bisa meniru suara bayi?
Stella melangkah mendekati pintu rumah kosong untuk memastikan itu memang suara kucing. Seingatnya rumah itu memang kosong sejak ia pindah kemari tapi mengapa ada suara bayi.
Ia bergidik dan merogoh sakunya untuk mencari ponselnya. Siapa tahu nanti ia butuh pertolongan maka ia tahu harus menghubungi Jun.
"Po!"
Suara tangisan bayi itu makin jelas.
"Po..."
Pintu terbuka dan seorang pria muncul dari dalam rumah.
"Apa kau tahu cara membuat susu?"
Baiklah! Setidaknya Stella tahu kalau rumah itu berpenghuni manusia dan memang ada tangisan bayi dari dalam. Po, kucing kesayangannya sedang tidur meringkuk di karpet tebal di dalam ruang tamu. Suasana di ruang tamu yang terlihat dari tempat Stella berdiri seperti kapal pecah dan ia masih heran mengapa Po bisa senyaman itu di sana.
Dan yang hampir membuatnya pingsan adalah....
Pria yang menghuni rumah sebelahnya itu adalah Nathaniel Ardiansyah Utama, cowok berkumis bermata segaris.
"Berhubung aku datang karena undanganmu, jadi tolong bantu aku bikin susu buat bayi. Aku sangat capek baru pindah rumah dan mesti mengurus bayi."
Mendadak Stella pengen merontokkan gigi Jun.
♥♥Romeo Pinjaman♥♥
Stella mengerjapkan mata sipitnya berkali-kali hanya untuk memastikan kalau sosok di hadapannya dengan rambut berantakan, mata sipit, hidung mancung, dan tak lupa barisan gigi yang rapi dan kumis tipis yang khas itu benar-benar adalah Nathaniel yang pernah dikenalnya waktu liburan di kapal pesiar.
"Iya, ini aku. Niel. Kenapa kau tampak bingung setelah mengundangku datang ke sini?"
"Kau tetanggaku?"
"Ya. Kutau kalo rumah ini disewakan jadi aku tinggal di sini. Sekarang... bisa bantu aku bikin susu?"
Susu? Kenapa dengan susu?
"Lupakan saja. Belum punya anak, tentu nggak bisa bikin susu!"
Niel berbalik berbalik, sementara suara tangis bayi makin memekakkan telinganya.
"Itu ada suara tangisan bayi."
"Yang kutau dari tadi memang suara bayi menangis."
Entah hanya perasaan Stella tapi suara Niel kedengaran ketus dan lelah.
"Airnya ada di dapur," tukasnya. Stella meringis. Dia bahkan belum menyatakan kalo dia bisa bikin susu.
"Aku mau mengajak Po pulang," jawabnya.
"Siapa?"
Laki-laki itu menyipitkan matanya yang sudah sipit hingga berbentuk segaris. Stella bergidik melihatnya karena dengan tampilan seperti itu ia jadi seperti seorang pembunuh berantai di film psikopad.
Heran! Mengapa dulu dia tampak menarik? Apa aku memang sudah sangat menyedihkan sehingga pria seperti pembunuh berantai pun kuanggap menarik?
"Po.... ituuu kucingku," jawab Stella terputus-putus. Jari telunjuknya menunjuk kucing berwarna putih dengan ekor sedikit kuning yang meringkuk di karpet di dalam ruang tamu rumah pria itu.
"Ah, namanya Po?"
Matanya berbentuk segaris lagi.
"Ya."
"Aneh! Dia datang ketika kupanggil... Cindy...."
"Meong..."
Penghianat!
Si kucing bernama Po kepunyaan Stella bangkit dari tidurnya dan mendekati pria berwajah psikopad itu. Dan si kucing itu bergenit ria ketika pria itu menggendongnya sampai Stella sebal melihatnya. Po menggosok-gosokkan kepalanya ke dada pria itu.
Awas kau, Po!
"Kau panggil dia Cindy?"
Pria itu meringis.
"Cinderella. Cindy," jawabnya.
"Hei! Dia jantan!" protes Stella sebal.
Pria itu menatap Stella dengan matanya yang tampak sadis, kecil, segaris, dan lagi-lagi mengingatkan Stella tentang pembunuh berantai. Stella bergidik. Ia merogoh sakunya, mencari-cari ponselnya, kalau saja pria ini melakukan sesuatu, ia harus cepat menghubungi Jun. Berharap saja Jun tidak keasikan kencan sampai ia juga mematikan ponsel.
"Dia jantan, katamu?"
"Masa kau tidak tahu dia jantan?"
Iya sih, sekarang bergenit-genit ria dalam gendonganmu, kurasa Po memang betina deh!
"Mana kutahu dia jantan atau betina kalau ia tidak menunjukkannya."
Bangsat!!!
Tak perlu cermin deh! Wajah Stella pasti merah. Ia yakin sekali. Pria kurang ajar, tidak tahu adat, tidak sopan, tidak tahu aturan!
"Oke!"
Stella menelan ludah. Ia harus segera pergi dari hadapan pria ini. Tapi sebelumnya, ia harus mengambil kucing sialan itu dari sang penyamun.
"Kembalikan kucingku!"
Pria itu, baru saja membalikkan badannya membelakangi Stella namun ketika Stella memintanya mengembalikan kucingnya, ia berbalik lagi, menatap lurus pada cewek yang tingginya hanya sebatas dagunya itu.
"Kau ingin kucingmu kembali?" tanyanya datar sambil menarik lengan bajunya agar mencapai atas siku. Kelihatannya t-shirt lengan panjang itu mengganggu gerakannya.
Stella mengangguk tapi ia tak ingin kelihatan terlalu antusias. Pemilik bibir berkumis tipis itu menyunggingkan senyumnya sampai Stella bergidik. Entah mengapa setiap bibir itu bergerak, Stella merasa ada desiran aneh yang menjalari dadanya.
"Masuk!"
"Heeh?"
Stella bergidik berdengar nada memerintah yang dingin dalam suara pria itu. Kakinya tak bergerak seinci pun. Matanya menatap curiga pada pria itu seakan ingin menyelidiki apa yang sedang dipikirkan pria itu hingga menyuruhnya masuk ke dalam rumahnya.
Apa ia hendak memerkosaku?
Stella bersidekap mencoba menutupi bayangan tubuhnya yang mungkin jelas tercetak karena basah oleh gerimiss namun sedetik kemudian dia sadar kalo masih mengenakan jas kerjanya. Tapi tetap saja dia waspada. Jika selangkah saja pria itu maju mendekatinya, ia akan....
"Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya pria itu dengan nada rendah.
"Itu..."
Pria itu mencibir. Dan seperti biasanya, jika bibir itu bergerak, hati Stella berdesir tak karuan.
"Kau pasti berpikir aku akan melakukan hal tidak senonoh sampai wajahmu memerah. Dasar!"
"Hei!!!"
"Masuk! Kalau kau ingin kucingmu kukembalikan, buatkan susu!"
"Apaaa!!!"
Dia mengancamku dengan menyandera Po! Sial!!!
Dia bukannya mau....
Argh!!!!
"Meow..."
Kucing manja!
Bersamaan dengan itu, tangis bayi terdengar lagi.
Ok, baiklah, Stella nggak tega membiarkan bayi yang sedang menangis itu kelaparan meskipun rasanya ia ingin menelantarkan kucing tak tahu balas budi itu. Stella mengingatkan dirinya sendiri untuk menyate Po andai kucing itu kembali kepadanya. (Ah, kayaknya dia juga nggak bakal tega juga melakukannya).
"Di mana dapurnya?" tanya Stella akhirnya.
Pria berkumis itu bergeser. Dan rasanya ia tak perlu menunjukkannya karena rumahnya begitu mungil dan desainnya sama dengan rumah yang ditempati Stella. Lebar delapan meter, panjang 6 meter. Letak kamar tidur mereka berdampingan sepertinya, lalu tepat di belakang kamar tidur, terdapat dapur mungil rangkap dengan ruang makan.
Dapur mungil itu kondisinya sama berantakannya dengan ruang tamu. Hanya ada dua piring yang belum dicuci, satu buah gelas, dan satu sendok makan.
"Tidak punya termos air panas?Di mana susunya? Di mana botol susunya? Bisa kau gendong dulu bayinya supaya tangisnya tak mengganggu konsentrasiku?"
"Kalau bertanya, satu-satu. Ya, akan kugendong anak itu supaya kau bisa tenang membuatkan susu. Semua perlengkapan bayi ada dalam tas besar itu. Yep, yang ada di atas meja. Kau bisa mencari botol susunya di sana," tukas si kumis sambil menunjuk sebuah tas besar berwarna putih dengan gambar gajah mungil di atas meja.
Si kumis?
Wew, masa itu saja yang kuingat, pikir Stella.
Namanya mirip namaku, Nathaniel.
Stella membongkar tas besar itu dan menemukan botol beserta sekaleng susu yang isinya sudah setengah. Sementara si Kumis, eh, Nathaniel masuk ke kamar dan berusaha menenangkan si bayi.
Stella menemukan termos air panas yang berisi air panas tapi ia tidak yakin kalau airnya masih panas maka ia memasak air lagi. Untung baginya karena ia menemukan panci kecil dalam keadaan bersih. Pria menjengkelkan itu pasti baru pindah rumah dan belum terbiasa memasak. Stella tahu pasti kalau kemarin, rumah ini masih rumah kosong. Laki-laki itu pasti pindah ketika Stella kerja tadi pagi.
Air yang dimasaknya baru saja mendidih ketika Nathaniel ke luar dari kamar sambil menggendong bayi yang masih saja menangis. Celana jogger yang dipakai pria itu sekarang juga ditarik sampai ke betis hingga memamerkan kaki panjang dihiasi bulu-bulu kaki kasar tapi kaki panjang itu tetap saja terlihat seksi. Ehem...
Fokussss, Stella!!!
"Aku tidak tahu mengapa ia masih saja terus merengek," gerutu pria itu putus asa.
Stella menatap bayi dalam gendongannya. Si bayi dari wajahnya Stella menebak kalau berjenis kelamin laki-laki, matanya bulat besar, bengkak karena terlalu lama menangis, hidungnya merah sedang memakan kepalan tangannya sendiri, kelihatan sekali sedang kelaparan. Pipinya temben seperti tomat matang, tangannya montok, dalam keadaan normal pasti Stella akan sangat menyukai bayi itu. Umurnya kira-kira empat bulan atau lebih.
"Ung..."
Indera penciuman Stella mendengus sesuatu yang tidak enak. Ia mendekati Nathaniel. Mendengus lagi. Nathaniel curiga lalu mundur, tapi Stella maju lagi dan mendengus lagi.
Jangan sekarang, pikir Niel dengan otak mesumnya.
Ada bayi nih!
"Berikan bayinya padaku!" pinta Stella.
"Kenapa?" tanya Niel was-was. Matanya melebar ketika pandangannya jatuh pada dada cewek di depannya ini. Dadanya sama sekali tak terlindungi oleh jas kaku lagi memberi Niel akses bebas memandang ke arah sana.
"Berikan! Popoknya berat. Dia buang air besar!"
"Apaaaa!"
Tanpa menunggu lagi cowok itu menyodorkan bayinya kepada Stella. Dan bayinya langsung dibawa Stella ke sofa di ruang tamu. Ia tidak menemukan tempat tidur bayi, ia juga tidak bisa masuk ke kamar Nathaniel untuk mengganti popok si bayi, jadi bayi itu ia tidurkan ke atas sofa.
"Bawakan tasnya!"
Enak saja ia memerintah!
Tapi Nathaniel tidak bisa berbuat apa-apa. Ia tidak tahu cara membuat susu, ia tidak tahu mengganti popok bayi, ia tidak tahu apa-apa soal mengurus bayi. Jadi ia hanya bisa menurut.
"Jangan lupa matikan gasnya!"
"Iya, Nyonya!"
Sial!
Ini gara-gara Dahayu! Ish, Nathaniel benar-benar ingin mencekik cewek sial itu. Awas saja!!!
Dengan langkah gontai, Niel berjalan menuju kompor gas dan mematikannya sebelum menyusul ke ruang tamu. Begitu sampai di ruang tamu, hidungnya langsung diserbu oleh bau menyengat yang sangat mengganggu.
"Bau apa ini?" tanya Niel sambil menutup hidungnya dengan tangan.
Tangan Stella dengan cekatan membuka popok bayi dengan cara merobeknya lalu melemparnya ke lantai. Lalu memakaikan popok yang baru yang sudah disediakannya sebelumnya.
"Ini namanya eek, masa nggak tau?"
Orang tua apa yang tidak tahu cara mengganti popok, membuat susu?
Niel duduk di karpet sambil memperhatikan bayi yang sekarang ini anehnya tampak lebih tenang.
"Kau makan apa sih, kok baunya ampun begitu?"
"Seumurnya masih belum bisa makan. Hanya minum susu."
Stella menggendong bayi itu lalu menepuk-nepuk punggungnya.
"Kita buat susu ya, Sayang," bisiknya lembut. Si bayi mengeluarkan suara tapi bukan suara rengekan seolah ia sedang menjawab ya pada Stella.
Tanpa memperdulikan Niel yang bengong memikirkan mengapa bayi itu tampak bisa nyaman dengan Stella, cewek itu berjalan menuju dapur dan menyiapkan susu. Niel masih tetap di tempatnya ketika Stella muncul kembali dengan sebotol susu. Bayi itu ditidurkan ke sofa dan diberikan botol susunya dan minum dengan lahapnya.
"Lapar ya? Kasihan... Orang tua macam apa sih yang nggak bisa mengurus bayi selucu ini?"
Apa dia sedang menyindirku?
Niel memicingkan matanya menatap Stella dengan tatapan tajam.
"Aku bilang aku..."
"Siapa namamu, Sayang?"
"Namanya Joshua Kusuma. Dipanggil Jo," jawab Niel.
"Di mana ibunya?" tanya Stella ketika Jo sudah menghabiskan susunya. Stella memberikan botol berisi air putih.
"Pergi. Apa perutnya tak akan meledak setelah menghabiskan sebotol susu lalu ditambah air putih?"
Stella geram mendengar jawaban Niel yang dengan santainya menjawab kalo ibu Jo pergi. Selain itu dia juga geram kenapa Niel bisa sebodoh itu.
"Sehabis minum susu memang harus diberi air putih seperti setiap kau makan, kan harus minum air kan?"
"Oh!"
"Ibunya pergi katamu? Kabur?"
Niel mengangguk beberapa kali dengan bibir cemberut. Lagi-lagi ia teringat Dahayu yang lagi enak-enak ke Hong Kong dan niat Niel kembali untuk mencekik cewek itu. Pasti cewek itu sekarang lagi shopping atau party di atas kapal.
Grgrgrgr!
Sementara Stella menatap curiga pada Niel sambil memikirkan apa yang menjadi alasan ibunya Jo sampai harus kabur. Apa pria yang menjadi suaminya melakukan kekerasan dalam rumah tangga? Dilihat dari wajah Niel ya mungkin-mungkin saja. Wajah sang pembunuh! Wajah psikopad! Wajah pembunuh berantai!
Stopppppp!!!!
Jangan berpikir lagi!
"Aa..ku.. mau pulang dulu," tukas Stella takut-takut.
Dia takut. Dia kuatir kalau terlalu di sini bersama pria ini, besok-besok ia sudah jadi mayat. Oh tidak!
Dia masih mau pacaran. Dia masih mau menikah. Dia masih mau membuktikan kepada Ariyo kalau masih ada laki-laki yang mau dengannya, yang lebih baik dari dirinya. Dan tidak harus menjadi pelakor.
Stella berdiri dan berniat meninggalkan rumah itu secepatnya. Tapi... tangan pria itu menahannya.
Cewek itu pucat. Sambil menelan ludah ia menoleh. Dalam hati ia berdoa.
"Setelah Jo tenang, kurasa sebaiknya kita bicara tentang alasan kau mengundangku datang dan mengaku-aku kalo aku pacarmu di media sosial."
Jantung Stella hampir copot.
Tidak!!!!
Juned!
Sumpah! Mulai detik ini, Jun tak boleh lagi memegang ponselnya. Cowok itu terlalu kepo untuk ukuran laki-laki. Terus sekarang gimana?
Dan apaan itu tadi? Niel bilang dirinya mengaku-aku cowok itu adalah pacarnya.
Mati aku!
Mungkin ia mengaku saja kalau ia terkena penyakit demensia? Atau dia bisa berbohong kalau ia geger otak saja sekalian. Tapi itu kan terlalu ekstrim.
Nathaniel masih menatapnya sambil menyeringai tajam.
♥ Romeo Pinjaman ♥
"Bro, buka pintunya!"
Suara ketukan pintu itu menyelamatkan Stella, ia menarik nafas lega ketika Niel melepaskan tangannya dan bangkit untuk membukakan pintu untuk tamunya, yang bagi Stella bagai penyelamat nyawanya.
Stella menggendong bayi Jo mengikuti langkah Niel, ia tidak bisa meninggalkan Jo karena takut Jo bisa terjatuh dari sofa tapi ia memutuskan akan langsung menyerahkan Jo ketika Niel sudah membuka pintu rumahnya dan ia akan kembali ke rumahnya dan persetan jika Niel masih menyandera Po. Biar saja kalau memang kucing itu nggak mau pulang. Nanti kalau lapar pasti deh, Po kembali.
"Bro, maaf aku lama. Tadi banyak pasien jadi nggak bisa langsung datang. Gimana Jo?"
Seorang pria dengan tinggi sama seperti Niel, berkulit gelap dan bermata sipit muncul di depan rumah Niel. Pria itu terkejut dengan kehadiran Stella yang sedang menggendong Jo.
"Eh, ada tamu. Pacar barumu, Niel?"
"Bukan!!!"
"Jangan sembarangan, Bro!"
Si pria berkulit gelap nyengir.
"Kalau aku tahu Jo sudah ada yang ngurus, aku nggak akan buru-buru datang tadi," tukasnya. Niel menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Adikmu itu memang selalu menimbulkan masalah. Masa dia meninggalkan bayinya padamu. Kalau aku jadi kau pasti akan kelabakan. Seumur hidup nggak pernah ngurus bayi," cerocos cowok berkulit gelap itu.
Stella melongo mendengarnya.
Anak adiknya? Ditinggalkan?
Mengapa cowok brengsek itu membiarkanku berpikir seolah-olah bayi ini anaknya? Brengsek!!!
Stella merasa ditipu habis-habisan.
Sudah begitu mimik wajah Niel sama sekali tak menunjukkan penyesalan karena membiarkan Stella berpikir kalau Jo adalah anaknya. Dengan wajah kesal Stella menyodorkan Jo kepada Niel dan terpaksa diterima Niel.
"Tidak usah mengucapkan terima kasih. Bye!" ketus Stella.
Tanpa menoleh lagi cewek itu meninggalkan rumah Niel.
"Tunggu! Kucingnya...."
Stella sama sekali tidak berbalik. Ia pun tidak repot-repot melewati pagar depan. Sama seperti waktu ia datang, ia melompati pagar sebatas lututnya itu.
"Cewek aneh!"
"Dia? Bukannya kau bilang ada cewek yang mengundangmu ke Brastagi dan butuh pertolonganmu. Kukira dia orangnya."
Niel mengangguk.
"Memang dia, tapi dia memang aneh. Sudah mengundangku datang tapi judes dan ketus. Aneh kan?"
"Menurutku dia normal dan seksi."
Niel menaikkan alisnya sambil menatap sahabatnya.
Andromeda Candra.
Seorang dokter umum di rumah sakit swasta di Medan, sahabat Niel sejak SMU. Ah, bukan sahabat sih, melainkan musuh. Niel bengal, Andromeda kesayangan guru, ketua tim badminton, ketua OSIS. Niel benci tipe murid sok-sok kayak si Andro ini jadi suka cari gara-gara supaya bisa berhadapan langsung. Niel nantang Andro main basket, Andro menyanggupi dengan syarat kalau Andro menang, Niel mau masuk klub bulu tangkis di mana pengurusnya adalah Andro.
Niel kalah.
Meskipun Andro tidak menang mudah. Namun janji tetaplah janji. Niel harus masuk klub badminton. Niel benci main beregu, dari kecil dia nggak suka terlibat dalam olah raga yang mengharuskannya main beregu. Tapi ia harus menepati janjinya. Dia ogah disebut banci karena ingkar. Pantang baginya.
Jadilah ia teman setim Andro. Tapi setim dengan Andro juga nggak seburuk yang dibayangkan kok. Andro memang kesayangan guru tapi bukan berarti ia nggak bisa diajak bolos sekolah, bolos latihan. Andro sama asiknya diajak ngomong soal cewek. Andro tahu kegilaan Niel soal kapal juga mendukung Niel waktu Niel melanjutkan kuliah di fakultas pertanian (padahal ayahnya sendiri tidak memberi ijin).
Andro juga mau-mau aja waktu kuliah diajak bikin passpor, kerja sambilan jadi pegawai restoran cepat saji supaya bisa menemui ibunya Niel di Singapura. Mereka berdua kabur ke Singapura dengan uang pas-pasan pada tahun kedua mereka di universitas. Disebut kabur karena orang tua masing-masing nggak tahu. Ibunya Niel terkejut dan hampir pingsan ketika tahu anaknya ada di depan pintu apartemennya di Singapura. Memang sih, Niel selalu menemui ibunya setahun sekali tapi waktu itu baru berselang enam bulan. Niel diomelin ibunya karena membuat orang tua Andro kuatir. Niel hanya bisa mengatakan maaf kepada orang tua Andro lewat telepon sambil mengedipkan sebelah matanya pada Andro. Besoknya mereka jalan-jalan ke Geylang. Siapa sih yang nggak tahu tempat apa itu?
Singkatnya, Andro adalah orang yang lebih dekat dengan Niel ketimbang ayah kandung Niel sendiri.
Dan kalau menurut Andro, Stella itu cewek normal dan seksi artinya....
"Kau yakin ia bukan pacar barumu selanjutnya?"
"Bro, cukup! Aku lelah sekali hari ini. Jangan bicara lagi soal cewek dulu. Setelah apa yang dilakukan oleh Dahayu, adikku, kurasa aku nggak ingin dekat-dekat dengan cewek lagi selama beberapa lama," gumam Niel dengan nada lelah.
Jo merengek.
"Ada apa, Nak? Kangen ibumu? Ibumu lagi shopping di HK," cetus Niel jutek.
"Ge...."
"Aku tidak tahu bahasa bayi. Jangan bicara padaku!" raung Niel.
"Gugu..."
Niel meringis melihat si bayi malah tersenyum.
"Dia tersenyum? Apa bayi umur 4 bulan bisa tersenyum, Bro?" tanya Niel pada Andro. Andro terkekeh geli lalu masuk ke dalam rumah Niel yang berantakan tanpa menjawab pertanyaan Niel.
Ia menghempaskan dirinya ke sofa namun sebelumnya ia meminggirkan semua barang-barang keperluan bayi yang berantakan yang tidak sempat dibereskan Stella.
Niel mengambil iphonenya dan memeriksa apakah ada chat masuk dari Dahayu, adiknya. Tapi jangankan membalas pesan, pesan yang dikirim oleh Niel saja tidak ada tanda dibaca. Dahayu memang adik perempuan brengsek. Sama brengseknya dengan ayah mereka. Mau nikah, mau punya anak tapi malas ngurus.
"Bro, tolong carikan baby sitter, bisa?" tanya Niel sambil mengibaskan tangan bayi yang memegangi wajahnya.
"Lho bukannya tadi kau bilang adikmu itu menitipkan bayinya berikut baby sitternya?" tanya Andro dengan nada heran.
"Ya iya tadinya begitu. Tapi baby sitternya kemudian pamit pulang karena orang tuanya sakit. Uang pun tak bisa menahannya untuk tinggal," jawab Niel putus asa membuat Andro ngakak.
"Dia takut padamu! Mukamu itu mesum dan jahat!"
"Bangsat!!!"
Andro masih saja tertawa sampai Niel berniat melempar popok basah yang berisi eek Jo yang belum sempat dibuang ke wajah sahabatnya itu.
"Bro, cewek yang tadi..."
Andro menarik nafas panjang. Dia cukup lelah sore ini, ia baru saja melarikan mobilnya dari Medan ke Berastagi, dua jam, hanya untuk membantu keruwetan sahabatnya, dan sekarang ia diberi tugas untuk mencari baby sitter pengganti sementara dia sendiri belum pernah punya anak dan lucunya Niel seperti nggak ngerti kalau baby sitter yang sangat dibutuhkannya itu ada di dekatnya sekarang.
"Bro, dengar! Kalau kau butuh baby sitter dari yayasan, jujur kau nggak akan secepat itu mendapatkannya. Waiting list! Kau tahu kan kalau sekarang susah cari baby sitter yang bisa dipercaya. Kau tahu kan kasus-kasus penculikan bayi. Kau baca berita kan?"
Niel mengusap-ngusap tengkuknya. Kayaknya ia bakal kena stroke ini.
"Terus, aku harus bagaimana?"
"Cewek yang tadi. Tawari saja dia jadi baby sitter. Lagian tadi kulihat Jo nyaman banget digendong sama dia. Kenapa nggak?"
"Ah.... setan!!!" maki Niel.
Dari seluruh cewek di Berastagi, di seluruh Sumatera Utara, seluruh Indonesia, berikut Thailand, mengapa harus dia yang harus dimintai jadi baby sitter Jo?
"Kenapa dengan dia? Ap ia terlalu seksi buat ngurus bayi?"
Seratus!!! Perfecto!!!
Iyaaaa, dia terlalu seksi untuk jadi baby sitter! Kakinya panjang dan kencang kalau kau pernah melihatnya memakai bikini berwarna putih. Bahunya terlalu mulus dan dadanya terlalu montok untuk ukuran pinggang semungil itu. Dan aku penasaran dengan rasa bibirnya.
Keparat!!!
Mana bisa dia merayu cewek itu kalau ia sedang menggendong Jo?
Hati nurani? Oh, tidak! Dia sama sekali nggak punya hati. Yang dipikirkannya adalah bagaimana kalau ternyata dia sudah bosan terus Jo gimana? Siapa yang ngurus Jo? Apa ia harus cari cewek lain sebagai baby sitter lagi?
"Nggak perlu kau jawab, Bro. Mukamu sudah menjawab semua pertanyaanku!"
Niel menaikkan sebelah alisnya. Dengan tatapan membunuhnya ia menatap Andro.
"Kau anggap muka tampanku ini lembar jawaban ujian ya. Sial kau!"
Andro menyeringai memamerkan giginya yang rapi.
"Kau nggak punya pilihan, Bro!"
Niel pura-pura mengorek telinganya dengan telunjuknya pura-pura tak mendengar pernyataan Andro barusan.
"Apa kau bilang?"
"Aku bilang kau tak punya pilihan!"
"Oh ya?"
Andro mengangguk beberapa kali sambil membuka dua kancing kemeja putihnya yang paling atas. Ia menggerak-gerakkan tubuhnya yang penat akibat mengendarai mobil seperti kesetanan karena telepon dari Niel yang memintanya datang ke rumahnya. Dan jarak tempat praktek Andro dan rumahnya Niel itu bukan sekedar jarak dalam kota.
Sial!!!
Harusnya Niel sadar itu!!!
Bangke!!!
"Kecuali kau mau menghubungi Amelia Susanti dan memintanya menjaga bayi ini selama beberapa minggu," tukas Andro.
"Dalam mimpi!" sembur Niel sebal.
"So, kali ini putusnya untuk berapa lama?" sindir Andro pedas. Niel menjawabnya dengan seringai tajam.
♥ Romeo Pinjaman ♥
Stella terbangun pada malam harinya, yah, apalagi alasannya terbangun kalau bukan karena....
Suara bayi.
Grgrgrgrg!!!
Stella mengambil dua bantal sekaligus untuk menutup telinganya.
Diamlah...
Semenit, masih saja menangis.
Dua menit, masih juga.
Tiga menit, wajah Jo yang bikin gemes itu terbayang di pelupuk mata Stella.
Empat menit, masih menangis, tatapan mata Jo memelas, membuat Stella ingin mencekik Oom yang nggak bisa ngurus keponakan dengan baik.
Sial!!!
Salahkan dirinya yang terlalu peduli. Stella membuang dua bantal, menendang selimut, lalu bangkit. Diambilnya sport branya yang biasa diletakkan di atas nakas tempat tidur. Lalu dipakainya. Stella memang nggak suka mengenakan bra sewaktu tidur. Sesak nafas, menurutnya.
Secepatnya Stella keluar dari rumahnya dan menuju rumah Niel. Ia mengetuk pintu rumah Niel beberapa kali sebelum akhirnya pria itu muncul sambil menggendong Jo yang masih menangis.
Pria itu tampak sangat bahagia melihat Stella muncul, tergambar jelas di matanya kalau ia bisa saja memeluk Stella sebagai ucapan terima kasih tapi tidak bisa karena ia sedang menggendong Jo.
"Tolong..."
"Kenapa dia?"
Niel menggeleng tak berdaya.
"Tidak tahu. Dia menangis terus. Tadi aku bikin susu, mungkin ia tidak suka rasanya," tukas Niel sambil menyodorkan botol susu yang ada di tangannya pada Stella. Stella menerima botol susu dan aw... panasnya.
"Kau gila ya, bikin susu sepanas ini. Pantas saja Jo nangis! Sinting!!!" omel Stella tak menyembunyikan rasa sebalnya. Niel menjadi serba salah. Tapi kan bukan salahnya kalo dia nggak bisa mengurus bayi. Dia sendiri belum pernah punya anak.
"Aku tidak tau! Mana kutau kalau susunya terlalu panas!" tukasnya membela diri.
Stella menarik tangan Niel lalu menuangkan beberapa tetes di tangan Niel, Niel memekik.
"Nah, panas kan? Lain kali kalau bikin susu tuangkan dulu di tanganmu. Kalau kau saja bilang panas, Jo juga merasa panas," ketus Stella.
"Terus bagaimana?" tanya Niel putus asa. Stella menarik nafas panjang. Daripada mendengar Jo menangis terus sepanjang malam karena pria yang tak becus ini, mending ia yang bikin susu lalu mencoba membuat Jo tertidur, lalu ia bisa balik ke kamarnya dan tidur dengan tenang.
"Tenangkan Jo. Aku bikin susu lagi."
"Kay Mam. As your wish, Mam."
Mulanya hanya berniat menolong karena kasihan pada Jo, lalu mencoba menidurkan Jo tapi Jonya malah ngajak ngomong bahasa bayi sementara si brengsek Niel tertidur di sofa. Mendengkur pula. Akhirnya Stella bukannya bisa balik ke kamarnya dan istirahat, malah kecapekan dan ketiduran di rumah Niel dengan Jo dalam pangkuannya.
♥ Romeo Pinjaman ♥
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top