Sembilan - SkenaRadio Wina
"Vis, teman gue bilang nggak ada anak baru di radio tempat dia kerja. Kemana lagi nih kita harus tanya?" tanya Riki.
Mereka kini sedang menuju ke Bandung dengan mobil Jarvis. Sedari tadi, mereka berdua berusaha mencari informasi tentang Wina dengan menelepon ke para kolega yang bekerja di stasiun radio di Bandung.
"Tenang dong.., sebanyak-banyaknya radio di Bandung, kan nggak semuanya radio anak muda. Hmm..., coba lo telepon Dhani deh,"
"Oh, teman kuliah lo yang dulu lo pernah ceritain ke gue ya?"
"Iya."
"Tapi, lo aja ya yang ngomong."
"Gue kan lagi nyetir..., sebentar lagi mau nyampe pintu tol Padalarang, kita harus udah tahu tujuan, udah sana telepon."
Riki pun menelepon Dhani, cewek berhijab teman kuliah Jarvis sewaktu di Bandung. Dhani bekerja sebagai seorang penyiar di Bandung.
"Dhani is speaking!" jawab suara cewek dari seberang sana.
Bukannya menjawab Riki malah langsung memberikan teleponnya ke Jarvis, "Yee, gimana sih lo, Rik?"
"Halo?" tanya Dhani.
"Dhan, gue nih, Jarvis."
"Hei Jarvis! Apa kabar lo? Kapan ke Bandung?" tanya Dhani seraya merapikan meja kerjanya.
"Lagi menuju ke sana nih,"
"Wah, kok dadakan banget! Jangan lupa main ke kantor atau ke rumah gue ya,"
"Gue ada perlu nih, mau minta tolong."
Dhani berhenti beraktivitas dan memilih mendengarkan temannya itu. "Apa? Apa? Apa? Dhani siap membantu, itu juga kalau bisa..,hehe."
"Di tempat lo ada anak baru nggak?"
"Hah? Apaan? Suara lo keputus-putus,"
"Anak baru di kantor lo, ada nggak?"
"Baru? Oh.., anak baru..? Ada! Ada! Ada dua orang gitu deh, kenapa emang?"
"Cewek apa cowok?" tanya Jarvis semangat.
"Cewek dan cowok, kenapa sih?"
"Namanya siapa?"
Dhani memutar bola matanya. Mencoba mengingat. "Waduh, gue belum kenal banget, lupa, sebentar gue ambil file CV mereka dulu, lo sekarang dimana?" tanya Dhani sambil mencari-cari file di lemari.
"Sebentar lagi pintu tol, sekarang masih di Cipularang."
"Apa? Padalarang?"
"Cipularang!"
"Suara lo nggak jelas, tahu..., nih dia filenya."
"Eh, ada yang namanya Wina nggak?"
"Ina? Nggak ada, ada juga yang namanya Wina."
Jarvis berusaha mendengar jawaban Dhani yang tersendat. "Apa!? Dhan, lo masih disitu kan?"
"Nggak ada yang namanya Ina!"
"Tapi gue cari yang namanya Wina."
Dhani menggoyang-goyangkan handphone. "Apaan?"
"Wina." jawab Jarvis, sayangnya suara Jarvis terputus-putus.
"Iya, nggak ada. Sorry gue nggak bisa bantu say..,"
Jarvis langsung kecewa.
"Vis, udah dulu ya, gue dipanggil sama Bu Rika nih, nanti lo ke kantor ya, gue tunggu, udah lama nggak ketemu nih!"
"Ya udah deh..., nanti gue ke kantor lo, daahh."
"Gimana? Ada nggak?" tanya Riki.
"Anak baru sih ada, tapi yang namanya Wina nggak ada."
"Yaaahhh...,"
***
"Jarviiis! Akhirnya lo sampai juga, eh tahu nggak kemaren anak-anak pada kumpul di rumah gue, lumayan banyak, ada dua puluh orang gitu, eh, kok lo ke Bandung mendadak begini sih? Aya naon?" sapa Dhani saat sahabatnya itu mampir datang ke kantor.
"Lo ya, nggak berubah, bawel,"
Dhani mendengus. "Ih, biarin aja, eh ini teh si Riki ya?"
"Iya, apa kabar, Dhan? Masih inget aja,"
"Iya dong, nggak mungkin gue melupakan orang yang pernah terkencing-kencing dikejar orang gila," jawab Dhani sambil tertawa.
Jarvis ikut tertawa mendengarnya. Riki langsung cemberut. "Ayo masuk," ajak Dhani. "Kantor gue mah open public, biar orang tahu gimana cara kerja kita. Itu ruang siaran kita, tapi jangan masuk ke dalam ya. Ngomong-ngomong, lo cari yang namanya Ina emang ada apaan?"
Begitu Jarvis melihat siapa yang lagi siaran, dia langsung berjalan menuju ke dalam. Tak mendengar larangan Dhani sebelumnya.
"Bukan Ina, Dhan. Tapi Wina." ucap Riki.
"Kalau nama itu sih ada, tuh yang lagi siaran," kata Dhani sambil menunjuk ke ruang siaran. "Lho, Vis, lo mau ngapain ke dalam? Nggak boleh,"
Wina yang sedang siaran begitu melihat sosok Jarvis langsung kaget.
"Oke guys.., Wina langsung putarkan satu lagu yang keren ini buat kamu!" ucap Wina terburu-buru. Lalu Wina secepat mungkin melompat ke pintu ruang siaran."Pia, tolong bantu gue tahan pintunya." pinta Wina ke Pia, sang operator yang menemaninya.
Pia langsung membantu Wina menahan pintu ruang siaran. "Kenapa sih?" tanya Pia.
Jarvis mengetuk pintu dengan semangat. "Win, buka Win. Gue Jarvis, akhirnya gue ketemu lo juga,"
"Mau ngapain lo kesini?"
"Gue udah muterin Bandung ke sana kesini cuma buat mencari elo. Gue mau ketemu dan menjelaskan semua,"
"Jarvis, lo nggak boleh masuk. Kalau ketahuan bos gue gawaaat," tanya Dhani sambil menarik-narik Jarvis.
"Ini anak baru yang gue cari, si Wina. Please Dhaan, gue pengen ketemu Wina sebentaaar aja.. Win, buka dong pintunya...,"
Wina menolak. "Nggak! Udah lo pergi aja sana, gue nggak mau ketemu lo lagi,"
"Kenapa sih? Kenapa lo kayak begini ke gue?"
"Karena elo yang begitu ke gue."
Riki yang mendengar obrolan Wina dan Jarvis langsung geli sendiri. "Apaan sih lo, begini begitu?"
"Eh, Rik, lo malah senyam-senyum lagi, bantuin gue ajak Jarvis keluar dari sini," Dhani masih menarik Jarvis.
Karena pintu ruang siaran tidak ada kuncinya, maka Wina dan Jarvis saling mendorong dari 2 arah.
"Tahan terus, Pi." pinta Wina.
"Iya, tapi sebentar lagi kan lo on air, gimana dong?"
"Win! Sebentar aja...," bujuk Jarvis.
"Nggaak!!"
"Dhani! Wina! Pia!" teriak Tante Rika tiba-tiba yang menyebabkan Wina dan Pia terjatuh ke depan karena kaget, Jarvis terjungkal ke belakang terkena pintu ruang siaran dan mengenai Dhani yang ikut mental ke belakang, karena bajunya Jarvis yang tadi ia tarik terlepas, sedangkan Riki hanya berdiri dan menyusul tawa begitu melihat adegan mereka ber-4.
"Ngapain kalian semua bikin ribut di sini!?" bentak Tante Rika. Dhani buru-buru berdiri dan menghampiri Tante Rika.
"Aduh, Bu, maaf, ini teman saya yang juga temannya Wina, dia mau ketemu sama Wina, tadi udah saya larang, tapi...," Dhani meminta maaf sambil membungkuk-bungkukkan badannya. Dengan mata yang sesekali memelototi Jarvis.
"Wina, kamu kembali on air, selesai siaran, kamu ke ruangan saya,"
"I..iya, Bu." jawab Wina yang kalau di kantor tidak memanggil Tante. Wina melirik Jarvis sebentar, lalu dia masuk ke ruang siaran, dan siap-siap cuap-cuap lagi depan mic.
Jarvis masih memegangi jidatnya dan Riki membantunya berdiri. "Jangan, Bu, jangan marahin Wina, kita berdua yang salah, yang masuk seenaknya," Riki membela Wina.
"Iya, Bu, maaf, maaf...," tambah Jarvis.
"Siapa sih kalian? Dari mana asalnya?" tanya Tante Rika jutek. Jarvis dan Riki tidak menjawab, malah lihat-lihatan.
"Saya tanya, kalian itu siapa? Punya nama nggak sih!?"
"E.., saya... Riki, teman saya yang ini namanya Jarvis. Kita dari Jakarta, dulu teman sekantor Wina."
"Oohh..," Tante Rika menjawab seakan-akan sudah tahu yang namanya Jarvis. "Ya udah, kalian cepat pergi dari ruang siaran ini, kalau mau bertemu dengan Wina, nanti saja selesai dia siaran. Kalian tunggu di luar saja. Dhan, kamu ikut saya," perintah Tante Rika.
"Ya.., Bu..." Dhani menjawab lemas. 'Pasti gue mau dimarahin, gara-gara dua manusia nekat ini,' gerutu Dhani dalam hati.
"Elo sih!" umpat Dhani kepada Jarvis dan Riki disertai bonus jitakan di atas kepala 2 cowok itu. "Sana keluar,"
"Aw!" rintih Jarvis.
Riki mendorong punggung Jarvis. "Ayo cabut,"
"Gue seneng tau ketemu Wina."
"Iye gue ngerti, tapi sekarang nah lo liat aja sendiri kan? Semuanya kena masalah."
"Iya.. iya gue ngaku salah,"
"Ngomong-ngomong nanti kita nginep dimana nih?" tanya Riki yang lalu menjatuhkan badannya di sofa lobby kantor.
"Gampang... nanti gue telepon teman gue, biar kita nginep di kost-annya dia, atau kita nginep di rumahnya si Dhani aja,"
"Kalo dia nggak ngambek sama kita, kalo ngambek? Dia pasti nggak sudi menerima kita nginep di rumahnya." Ujar Riki.
"Tidur di mobil juga bisa,"
Setengah jam lebih berlalu, Jarvis dan Riki ketiduran di sofa, lalu Dhani mengusik tidur mereka dengan memberikan balsem ke hidung mereka, Riki yang terbatuk duluan.
"Uhuk! Uhuk! Gila! Tukang pijat dari mana nih!?"
"Enak aja lo ngomong! Gue si manis Dhani, peri yang datang membangunkan kalian berdua..."
"Peri apaan senjatanya balsem gitu? Dimana-mana yang namanya peri pake tongkat ajaib!" ledek Jarvis.
"Biarin, sirik aja sih lo, heh..gara-gara lo berdua tuh ya, gue jadi kena marah deh tuh sama bos gue!" Dhani mengambil tempat duduk di samping Jarvis. "Lagian elo.., kan gue udah bilangin dari awal..jangan masuk, apa kurang jelas gue ngomong? Emangnya...ada apa sih sama Wina sampai elo segitu semangatnya mau ketemu dia? Dia siapa elo emang? Terus lo siapanya dia? Cewek lo? Apa gebetan nggak jadi? Tumben lo udah bisa suka sama cewek, berarti lo udah bisa lupa sama si Lola dong? Fiuuhh...akhirnya lo sembuh juga, Vis, setelah sekian lam..."
Jarvis langsung menutup mulut Dhani dengan tangannya sebelum Dhani berspekulasi lebih lanjut. Tapi tangan Jarvis langsung dijilat sama Dhani. "Iuh...! jorok amat sih lo!"
Dhani menyeka lidah dan mulutnya dengan tisu. "Gue juga jijik sama tangan lo, ih.."
"Lo nyerocos mulu sih, bawel amat, pokoknya ceritanya panjang! Nanti gue ceritain, tapi ada syaratnya.."
"Apaan?"
"Kita berdua dibolehin nginep di rumah elo, gimana?" tanya Jarvis yang langsung diiyakan oleh Riki.
"Syarat apaan tuh? Kenapa juga elo yang kasih syarat? Should be kan gue yang kasih lo syarat. Lo boleh nginep dengan syarat lo harus cerita ke gue tentang Wina. Begitu...,"
"Ah, sama aja! Gimana? Boleh nggak?"
"Iya, iya, boleh!"
"Asiikk..., nggak keluar duit buat hotel deh. Hehe..." celetuk Riki.
"Ngomong-ngomong, Wina udah selesai siaran belum?"
"Harusnya sih udah dari...," Dhani melihat jam tangannya. "Dua puluh menit yang lalu."
"Dua puluh menit yang lalu!? Aduuh! Tadi kan kita ketiduran. Jangan-jangan dia udah pulang lagi. Coba Dhan, lo tanya sama teman lo."
"Ih, ngerepotin aja sih." sungut Dhani, tapi tetap saja dia mau menjalankan permintaan Jarvis. Tak lama, Dhani kembali membawa jawaban yang mengecewakan. "Dia udah pulang tuh, mungkin diam-diam ngelewatin elo berdua tadi pas tidur."
"Yaahh!!" keluh Jarvis.
***
Malam hari di rumah Dhani serasa seperti di desa, suasana di Awiligar, komplek yang berada di dataran tinggi, menanjak terus lewat Dago Atas itu terasa menenangkan. Udaranya masih segar, dingin, terus kalau lagi leha-leha di teras yang berada di bagian belakang rumah Dhani, kita bisa melihat pemandangan kota Bandung yang bertaburan dengan lampu-lampu rumah sambil melihat bintang-bintang di langit.
Jarum pendek dan jarum panjang jam mengarah ke angka 12. Tapi tengah malam begini, masih ada 2 makhluk yang belum tidur di rumah Dhani, yaitu Jarvis dan Dhani sendiri yang sedang duduk di sofa teras belakang. Sedangkan Riki sudah menyatu dengan guling dan selimut di depan TV.
"Terus, sekarang lo mau ngapain kalo Wina tetap nggak mau ketemu elo?" tanya Dhani sambil menyeruput bajigur.
"Nggak tau, menurut lo?"
"Gimana ya...? Hmm..., sekarang gue tanya sama elo, sebenarnya elo sayang nggak sih sama Wina?"
"Pertama kali gue ketemu Wina, nggak ada di pikiran gue untuk suka sama dia, dia kan nggak secantik Lola dan mantan gue yang lain, tapi..., gue sempet nyeletuk dalam diri gue sendiri, 'eh, manis juga nih cewek.'. yaah..., gue ngerasa dia menarik aja, ada something yang bikin gue bilang kayak begitu,"
"Terus...?"
"Terus.., gue jadi supervisornya dia deh, ternyata orangnya enak banget diajak ngobrol..., lama-la..,"
"Makanya, don't judge book by its cover, outside look aja sih yang lo pikirin!" Dhani memotong pembicaraan.
"Iya, tau..., tau..., mau gue lanjutin lagi nggak nih?"
"Terus?"
"Lama-lama gue ngerasa nyaman aja kalo lagi bersama dia, habis dia nggak pernah memuji gue, atau bersikap malu-malu di depan gue, apa adanya aja. Kadang gue suka berpikir sendiri, Wina suka apa nggak sih sama gue? Itu juga jadi salah satu faktor gue, Dhan, kenapa gue bersikap samar ke dia, karena gue sendiri nggak yakin sama perasaan dia ke gue. Daann.., tibalah saat keraguan gue yang paling gede, gue takut sakit hati! Gue trauma sama kejadian yang terakhir dalam kehidupan cinta gue, ingat kan lo tragedi sama Lola? Padahal gue bukan cowok macam-macam, tapi ternyata Lola yang brengsek. Karena itu, gue akhirnya memutuskan untuk memberi gap di hati gue ke Wina, gap perasaan gue sendiri ke Wina," Dhani yang mendengarkan cerita Jarvis hanya manggut-manggut. "Padahal sebenernya gue pengeeen banget selalu dekat sama Wina, tapi gue sok-sokan, gue gengsi, gue nggak mau Wina tahu perasaan gue, terus gue bersikap plin-plan gitu deh ke dia, kadang gue baik, kadang gue cueeekk banget sampai-sampai gue sendiri nggak tega ngelihatnya. Habis gimana dong? Gue sendiri takut Wina juga sakit hati sama gue,"
"Lho, kenapa?"
"Kalau gue terus-terusan trauma sama masa lalu gue, nanti Wina ikut-ikutan nggak tenang dong sama gue?"
"Iya sih...,"
"Sekarang gue nyesel, Dhan. Ternyata gue merasa kehilangan dia, gue baru sadar waktu tahu dia nggak lagi kerja sekantor sama gue, dia lari dan hilang dari gue. Benar banget tuh liriknya Sheila on Seven, kau..., takkan pernah tahu apa yang kau miliki..., hingga nanti..., kau kehilangan..., duuhh, jadi bingung!" keluh Jarvis sambil garuk-garuk kepala.
"Hmm.., nggak usah berbelit-belit deh, jadi intinya lo sayang nggak sama Wina?"
"Heh, dari tadi yang gue ceritain, menurut lo itu tandanya gue sayang apa nggak!? Ya iyalah gue sayang sama dia, kalau nggak gue nggak akan bela-belain ke Bandung!?"
"Akhirnya lo ngomong juga!" Dhani tertawa. "Sekarang sih yang udah terjadi ya udah nggak usah diungkit-ungkit terus, nggak usah disesali, percuma..., yang bisa lo lakukan sekarang adalah memperbaikinya! Gaya kan gue ngomongnya? Vis, yang namanya gengsi itu merugikan, percaya deh sama gue. Lo bisa kehilangan segalanya karena gengsi, jujur aja apa adanya, orang akan lebih menghargai kita kalau nggak pake gengsi segala. Mumpung lo masih punya kesempatan, lo tunjukkin deh rasa sayang lo sama Wina,"
"Lo mau bantuin gue nggak?"
"Bisa..., cuma kan gue juga belum kenal banget sama Wina, pelan-pelan deh...,"
"Nggak ada kata pelan, gue cuma dapat izin dari kantor sampai minggu ini, belum tentu minggu depan gue gampang lagi ke Bandung,"
"Terus, gue tiba-tiba aja gitu SKSD sama Wina!?"
Jarvis mencengkeram bahu Dhani. "Harus! Please, Dhan..., lo mau kan menolong cowok yang pernah lo suka ini?"
"Bukannya gue ngg..., eh apa tadi lo bilang? Udah deh! Nggak usah ngomongin yang lalu, hal yang bodoh gue suka sama lo dulu!"
Jarvis memberikan tampang tidak bersalahnya. "Lho, tapi benar kan? Judulnya lo suka sama gue!"
"Biarin! Wajar kan gue demen sama cowok? Wew, rese lo ah, ntar nggak gue bantuin nih." ancam Dhani.
"Hahaha! Nah gitu dong..., makasih ya sayangku...!" ucap Jarvis sambil merangkul dan mengacak-acak jilbabnya Dhani.
"Iye...,"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top