Lima - Sweetest Lie
"Begitu ceritanya, Rik. Makanya gue malu banget gara-gara ketahuan sama Mba Ega, padahal kan gue nggak ngapa-ngapain, si Jarvis aja yang lagi curhat sama gue, kenapa gue semalu itu? Karena katanya Lusi, sekarang ini hampir seluruh kantor berspekulasi kalau Jarvis dan gue lagi PDKT, padahal kan selama ini yang mereka tahu gue dan Jarvis lebih sering ribut daripada kerja samanya," Wina menjelaskan sambil mengunyah pizza.
"Lho, mereka tahu dari mana kalau lo sama Jarvis sering ribut?"
"Tante Ika, siapa lagi? Waktu itu gue kan sempat curhat sama dia, gue emang nggak bilang sama dia untuk nggak kasih tahu siapa-siapa. Waktu itu gue cuma bilang jangan marahin si Jarvis, ya iya sih dia emang nggak marahin Jarvis, tapi dia ngegodain gue sama Jarvis dan sekarang semua orang dapat gosip gue dan Jarvis saling suka, mau pingsan nggak lo?"
Riki tertawa renyah. "Yang gue dengar juga begitu, dan memang benar makin santer pas lo kecelakaan itu! Gue harap lo maklum lah, kan si Jarvis udah lama nggak punya cewek, jadi dia sok cool gitu. Sudah sering dijodohin tapi nggak ada yang pas, Jarvis kan termasuk anak emas di kantor. Begitulah..."
"Udah lama nggak punya cewek? Dua bulan putus lo bilang lama? Itu sih baru...,"
"Dua bulan? Apanya yang dua bulan? Dia itu udah ngejomblo selama satu tahun setengah!"
DUAARR! Wina langsung terperanjat dan membelalakkan matanya. "Maksud lo Jarvis putus dari ceweknya satu setengah tahun yang lalu, begitu!?"
"Iya! Kenapa sih lo dibulak-balik gitu ucapan gue?" jawab Riki sambil geleng-geleng kepala. Wina terdiam beberapa saat dengan mimik menahan emosi.
"Nama mantannya Lola. Dia putus sama Lola gara-gara diduain, yah.., mungkin gara-gara long distance jadi jarang ketemu, dan jadinya begitu deh." Riki menjelaskan lebih lanjut. "Eh, kenapa sih lo diam gitu?"
"Sialan!! Tu anak udah bohongin gue! Maksud dia apaan coba?"
"Bohongin siapa?"
"Gue! Uuuhh! Tadi si Jarvis tuh curhat tentang mantannya yang ngeduain dia itu, tapi dia bilang putusnya baru dua bulan yang lalu!"
"Hahaha..., kena tipu lo!"
"Tapi maksud dia apaan!?"
Mendengar itu, Riki malah semakin menggoda Wina. "Ciee.., gue rasa gosip lo dan Jarvis saling suka itu bukan cuma gosip deh, tapi beneran nih,"
"Enak aja, siapa yang mau sama laki-laki moody, iseng, dan sok cool gitu!?"
Riki tertawa melihat Wina.
Suara telepon genggam milik Wina berbunyi memotong pembicaraan. Dari Ibu. Wina pun mengangkatnya, "Assalamualaikum, Bu."
"Waalaikumsalam. Win, kamu dimana?" tanya Ibu.
"Lagi makan pizza sama teman, kenapa Bu?"
"Tadi Ibu sudah telepon Tante Ika dan menanyakan berapa yang harus Ibu bayar untuk administrasi klinik berobat kamu, tapi kata dia, dia nggak tahu apa-apa tuh. Dia memang sempat datang, tapi dia nggak bayar apa-apa, cuma tengokin kamu, gimana sih kamu? Ibu kan jadi bingung. Kamu kata siapa sih dibayarin Tante Ika?" tanya Ibu kebingungan.
Semakin menjadilah kemarahan Wina setelah mendengar penjelasan dari Ibu karena dirinya sudah bisa menebak siapa yang berbohong dan siapa yang sebenarnya membayar pengobatan Wina di klinik.
"Win? Kamu masih ada di situ kan?"
"Masih, Bu." ucap Wina sambil menahan emosi.
"Itu kata siapa sih?"
"Teman aku, mungkin dia salah kali, ya udah nanti aku tanya dia lagi, Ibu tenang aja, nanti begitu aku tahu siapa yang membayar, aku telepon Ibu, pasti aku langsung bayar hutang aku, kan masih ada uang di tabungan,"
"Ya udah, kamu jangan pulang malam-malam ya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Wina langsung menutup telepon dan menarik Riki pergi dari situ. "Eeehh.., mau kemana lagi nih kita?"
"Ke klinik dekat kantor."
"Emangnya kepala lo kenapa lagi? Berasa sakit lagi ya?"
"Udah, buruan. Gue ceritain di jalan, nanti bensin motor lo gue yang isiin,"
Sesampainya di klinik, Wina langsung turun dari motornya Riki yang serasa sedang mengerti perasaan Wina, meski motor belum berhenti total, Wina tetap turun dan langsung berjalan terburu-buru, "Win, sabar Win...! Lo jangan emosi gitu dong, maksudnya si Jarvis kan baik..., lagipula belum tentu Jarvis yang bayar," ucap Riki berusaha menenangkan sembari memarkirkan motor. Pria setia kawan itu buru-buru menaruh helem dan secepat mungkin menyusul Wina.
"Makanya kita cari tahu sekarang."
"Ayolah Win, lo pikir dengan emosi lo sekarang semua masalah bakalan beres? Belum tentu kan? Lebih baik kita pulang sekarang, tenangin emosi lo, kita bicara baik-baik, "
"Nggak bisa! Gue tetap harus tahu siapa yang bayarin gue?"
"Kan bisa tenang sedikit..., "
"Udah deh! Lo nggak usah ikut campur!"
"Ya udah, kalau gitu gue pulang," Riki membalikkan badannya. Wina pun berhenti berjalan begitu melihat Riki membalikkan badannya.
"Eeeehh..eh, tungguuu, kok lo malah ninggalin gueee??"
"Oke gue temani, tapi gue minta lo calm down aja..., deal?"
Wina menghela napasnya. "Deal." Wina mengangguk setuju.
Mereka berdua kembali berjalan menuju ke dalam klinik. Wina langsung mendatangi meja kasir begitu sampai di dalam, usai berbasa-basi dengan petugas kasir akhirnya sampailah mereka pada bagian negosiasi.
"Tepat! Itu saya, Wina Andhary Savantha. Saya cuma mau lihat bukti pembayarannya lagi,"
"Tapi Mba, itu sudah menjadi arsip kami."
"Saya nggak minta, cuma mau lihat,"
"Memangnya, bukti pembayaran yang waktu itu dikasih ke Mba kemana?"
"Hilang sama saya," timpal Riki membantu.
Wanita setengah baya itu terdiam. "Ayolah Mba..., akan menjadi lebih gawat kalau sampai saya nggak bisa menunjukkan bukti pembayaran itu sama Ibu saya. Please...," Wina memohon.
"Tapi, jangan Mba bawa pergi ya, dan jangan sampai ketahuan,"
"Janji...,"
"Sebentar saya ambil dulu,"
"Terima Kasih ya...," jawab Wina, Wina menoleh ke arah Riki dan tersenyum puas. Mereka berdua akhirnya menunggu, 10 menit..15 menit...20 menit..si petugas itu tak kunjung datang.
"Duh, mana sih?"
"Jangan-jangan dia ketahuan lagi..., tanggung jawab lo, Win." ucap Riki diikuti dengan senyuman maksa.
"Mba..., " panggil petugas itu akhirnya.
"Aduh, Mba..., kemana aja? Nggak ketahuan kan?"
"Nggak, cuma tadi agak susah carinya, maklum... saya orang baru disini." jawabnya sambil cengar cengir.
"Ooohh...," ucap Wina dan Riki bersamaan, lalu mereka melirik satu sama lain.
"Ini bukti pembayaran yang Mba minta."
Wina dan Riki langsung semangat melihatnya. "Benar kan? Ini tanda tangan siapa gue tanya? Jarvis Pramesti," ucap Wina dengan penuh kemenangan.
"Yah.., ya udah, lo boleh deh marah-marah, tapi nanti pas ngomong sama dia pakai kepala dingin,"
"Ini bakalan gue tunjukkin ke dia sebagai tanda bukti."
Muka si Mba panik. "Eh, Mba. Itu kan nggak boleh dibawa pulang, tadi Mba janji nggak dibawa..., saya bisa kena masalah,"
"Nggak, tenang aja, saya mau cari tukang fotokopi dulu."
"Tapi..., bagaimana saya bisa percaya Mba?" tanya petugas itu.
"Dia jaminan saya. Lo tunggu sini, Rik." Wina pun langsung beranjak pergi dari mata Riki sebelum Riki sempat protes.
"Enak aja tuh anak, gue pake dijadiin jaminan segala..., emang gue rumah apa?" sungut Riki. Petugas tersebut menahan tawa melihat Riki. Riki pun menatapnya tanda tidak suka, petugas itu pun pura-pura batuk dan meneruskan pekerjaannya.
"Jangan kabur ya, Mas." ledeknya. Riki hanya tersenyum maksa kepadanya.
Sudah 15 menit Riki menunggu Wina yang akhirnya datang dengan keringat bercucuran. "Hhh..., capeekk...!" ucap Wina.
"Heh monyong. Kalau gue bukan jaminan elo, gue udah tinggal lo dari kapan tau!" ujar Riki disertai toyoran di kepala Wina.
"Aduuh.., luka gue tuh."
"Eh, mana? Maaf deh maaf." Riki langsung panik dan memeriksa luka kepala Wina. Wina tertawa kecil. "Pura-pura lo ya?"
"Mba, ini bukti aslinya. Terima kasih banyak lho, Mba. Selamat malam dan selamat bertugas,"
"Sama-sama." jawab petugas itu.
"Lo kemana aja sih lama amat?"
"Gue cari tukang fotokopi, ini kan dah malam Rik, gue jalan jauh banget lagi."
"Motor gue kek yang lo jadiin jaminan, jangan gue. Kan gue juga bisa temanin lo, lo cewek jalan malam sendirian, kan rawan."
"Iya deehh, tadi kan nggak kepikiran."
"Sekarang pulang kan?"
Wina berpikir sejenak.
"Jangan bilang lo mau nyamperin Jarvis sekarang kan? Lo gila ya? Udah malam nih. Muka gue sudah penuh dengan debu-debu intan," ucap Riki yang sudah kecapekan
"Ya deh, besok aja. Kita pulang yuk. Terima kasih ya Riki sayang...,"
"Terima kasih, Ya Tuhan...," ucap Riki lega.
***
'Woi, besok lo datang pagi-pagi ya, ada yang perlu gue bicarakan Okeh..awas lo telat..:) . Good Night. Wina'
Wina tersenyum melihat isi SMS yang akan dia kirim ke Jarvis. Lalu ia menekan tombol SEND.
"Sampai besok, Jarvis...," ujarnya dengan muka menyeringai.
Di lain tempat, Jarvis yang sudah setengah tidur karena sedikit tidak enak badan pun terbangun mendengar bunyi SMS masuk, sambil mencari-cari dimana handphonenya berada, dia mengucek-ngucek mata.
"Siapa sih..?" ucapnya parau. Jarvis membacanya. "Mau tanya apaan ya dia? Ah udah ah, yang penting gue tidur dulu."
***
Besok pagi, Wina sudah berada di kantor lebih dulu dari Jarvis dan bahkan orang kantor yang lainnya. Seraya menyantap sarapan nasi kuning, Wina kembali mengirim SMS pada Jarvis.
'Gw udah nyampe, buruan nggak pake lama.'
Sekitar 15 menit kemudian, Jarvis pun datang. "Lama amat sih lo." ucap Wina.
"Lo aja yang nggak sabaran, dasar bawel. Gue semalam sedikit nggak enak badan, untung sms dari elo sempet gue baca. Emang ada apaan sih?" tanya Jarvis sembari berjalan menuju meja dan menaruh tas di atasnya, lalu setelah itu, Jarvis mengambil gelas dan membuat kopi.
"Nih, ada dokumen yang gue nggak ngerti, mungkin lo bisa jelasin sedetail-detailnya biar gue nggak kayak orang bego disana kalau ditanyain," Wina melempar map yang berisi dokumen ke meja Jarvis. "Terutama yang lembar ke-empat, gue udah coba pelajarin, tapi tetap nggak ngerti, kalau lo pasti ngerti...,"
"Bisa aja lo..., yang mana sih?" sambil mengaduk-aduk kopi, Jarvis membaca semua lembar di map itu sampai akhirnya di lembar yang ke-4.
"Nah, yang ini gue nggak ngerti, coba lo jelasin ke gue maksudnya apa ya?"
Yang Jarvis baca adalah bukti pembayaran pengobatan Wina dari klinik. Dia langsung terdiam tak berkutik.
"Kok lo diam sih? Ini tanda tangan lo kan?" tanya Wina.
"Iya, emang kenapa?"
"Gue nggak ngerti aja, lo bilang kan yang bayarin itu Tante Ika, tapi kenapa ada tanda tangan lo di sana, mungkin lo bisa jelasin ke gue,"
"Gue yang wakilin Tante Ika," jawab Jarvis cuek. Dia kembali mengaduk kopi.
"Kayaknya salah deh. Soalnya gue tanya Tante Ika, dia bilang dia cuma jenguk gue tapi...nggak merasa membayar apa-apa tuh ke klinik. Jadi gimana?"
"....,"
"Vis, jelasin ke gue, kenapa lo bohong ma gue? Gue nggak suka,"
Jarvis menghela napas. "Gue nggak bermaksud bohong sama lo, tapi gue cuma berniat baik,"
"Dengan bohong? Lo pikir gue suka dibayarin diam-diam begini? Lo mau jadi pahlawan?" tanya Wina sedikit keras.
"Kenapa lo ngomong kayak gitu?" Jarvis balik bertanya sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Wina dengan mimik kesal. "Asal lo tau ya, nggak pernah ada di otak gue buat jadi sok pahlawan kayak lo bilang, yang gue tahu gue ngelakuin itu karena gue peduli sama lo!"
"Yang lo lakukan ke gue itu cuma bisa buat gue tersinggung, tau!"
"Bisa nggak sih lo nggak keras kepala kayak begini? Lagipula gue kan udah bilang nggak usah tanya Tante Ika."
Wina menyentak. "Kalaupun Tante Ika yang bayarin, gue tetap akan bayar! Gue bukan cewek matre! Nyokap gue masih bisa bayarin semua biaya itu!"
"Kenapa sih lo selalu melihat semua hanya dari kacamata lo!? Kenapa lo nggak ngelihat ini adalah sebuah rasa...," ucapan Jarvis terhenti.
"Rasa apa!?"
Pria ganteng itu tidak menjawab. "Vis, rasa apa gue tanya!?"
"Sebuah rasa sayang gue sama lo!"
Sebuah pengakuan itu membuat Wina langsung terdim. Dia kaget bukan main.
"Puas gue ngucap itu!?" seru Jarvis. Kali ini Wina yang tidak menjawab. "Gue cuma mau tolong lo, mau memberikan apa yang bisa gue berikan, dengan harapan ini bisa ngebuktiin perasaan gue ke elo." Jarvis melanjutkan bicara.
"Lo salah Mam, bukan dengan cara kayak begini, asal lo tahu, gue nggak akan marah kalau lo mau tolong gue. Bukan dengan berbohong. Itu sama saja lo tidak menghargai gue. Lo nggak sayang. Terima kasih lo udah bikin gue kecewa, Jarvis!" Wina beranjak pergi dari tempat itu.
"Win!" Jarvis menarik tangan Wina. "Kenapa sih lo begitu keras kepala!? Apa pengakuan gue nggak buat lo senang!?"
"Keras kepala lo bilang!? Vis, apa yang selama ini lo lakuin ke gue nggak pernah jelas membuktikan lo sayang sama gue, lo semena-mena sama gue, jalan sama Vera, sering ngebentak gue, jadiin gue kayak babu dengan pekerjaan-pekerjaan itu, kadang lo cuekin gue seharian, dan kita lebih sering berantem daripada damai-nya. Kalau lo pikir itu semua udah bisa ngebuktiin lo sayang sama gue, buat gue nggak!"
"Terserah lo! Kayaknya gue juga salah menilai perasaan gue ke elo! Gue nggak jadi mau sama cewek gengsian, egois dan keras kepala kayak lo!" bentak Jarvis. Wina menahan emosinya.
"Gue benci lo, Jarvis! Lo tega!"
Jarvis menarik napas dalam-dalam, "Gue nggak ngerti sama lo!" teriak Jarvis.
"Gue juga!!"
Tiba-tiba Mba Ega datang bersama Tante Ika, Pak Agus supir kantor, Riki, dan Cherry. "Ada apa ini? Pagi-pagi sudah ribut?" tanya Tante Ika.
"Dia, Tante!"
"Dia, Mba!" ucapan itu diucapkan bersamaan oleh Wina dan Jarvis.
"Kenapa?" tanya Tante Ika lagi.
"Mba Ega, gue mengundurkan diri dari pekerjaan ini! Gue nggak mau kerja sama dengan orang yang jalan pikirannya nggak bisa diatur!" kata Jarvis.
"Apa lo bilang!? Gue juga nggak mau kerja sama dengan lo!" teriak Wina, Riki langsung menarik lengan Wina yang sudah mulai maju mendekati Jarvis.
"Win, sabar!"
Cherry yang tidak nyaman melihat situasi ini langsung masuk ke dalam ruang siaran.
"Stop! Kalian ini kenapa sih!? Kalian itu rekanan, seharusnya kalian bisa ngomongin baik-baik semua masalah yang menimpa kalian. Sekarang coba kalian ceritakan masalah yang sekarang terjadi kepada Tante dan Mba Ega," seru Tante Ika melerai.
"Pokoknya saya mengundurkan diri," ucap Jarvis.
"Saya juga!" seru Wina. Jarvis beranjak pergi dan mengambil tasnya.
"STOP!" teriak Mba Ega kali ini sehingga membuat kaget semua orang. "Jarvis, lo balik lagi kesini! Cepat!"
Jarvis pelan-pelan berjalan mendekati Mba Ega.
"Dengar ya! Gue minta lo semua profesional, gue sengaja kasih pekerjaan ini buat lo berdua, dan jangan harap gue akan merubah keputusan gue dan mengganti dengan orang lain untuk pekerjaan ini. Gue nggak peduli dengan masalah lo berdua, yang gue minta lo harus profesional menghadapi pekerjaan yang gue kasih ini. Nggak ada perubahan! Titik!" ucap Mba Ega ketus.
"Tapi, Mba...," ucap Wina memotong.
"Gue nggak mau dengar tapi-tapian! Gue nggak mau dengar alasan apapun dari lo berdua! Pokoknya hari ini lo tetap kerja berdua, pergi ke Radio Ria Raya berdua, dan selesaikan pekerjaan ini berdua! Ngerti lo!?"
Wina dan Jarvis terdiam. "Benar, kalian harus profesional biarpun kerja sama dengan orang yang kalian nggak suka. Saya nggak tahu ya apa masalahnya, tapi kalian harus melupakan masalah kalian sejenak dan selesaikan masalah kalian berdua secepatnya," ucap Tante Ika menambahkan.
"Oke, tapi saya nggak pergi dengan Wina, saya pergi pakai mobil saya sendiri," ujar Jarvis.
"Nggak bisa! Apapun permintaan lo, kita harus menunjukkan kalau kita kompak, lo ngewakilin kantor kita dan harus membawa nama baik radio ini, kalau lo datang terpisah apa nanti kata mereka? Gue nggak mau tahu pokoknya kalian berdua tetap naik mobil operasional diantar Pak Agus. Ngerti!? Dan jangan ketemu gue sebelum lo beresin pekerjaan ini!" bentak Mba Ega. Mba Ega lalu berjalan menuju ruangannya.
Tante Ika pun mengikuti Mba Ega ke ruangannya.
"Kan gue udah bilang, ngomongin baik-baik, sekarang malah jadi kacau lo berdua," Riki berbisik ke telinga Wina.
"Bodo," jawab Wina acuh.
"Terserah lo ah..," Riki meninggalkan Wina.
"Riki," panggil Tante Ika.
"Ya, Mba?"
"Bisa tolong ke sini?" Tante Ike meminta Riki untuk datang ke ruangannya Mba Ega.
"Ada apa, Mba?" tanya Riki, dan pintu langsung ditutup begitu Riki sudah masuk ke dalam ruangannya Mba Ega.
Sedangkan Wina, Jarvis, dan Pak Agus masih tidak bergerak, sampai akhirnya Pak Agus yang angkat bicara.
"Mau berangkat sekarang, Mba Wina?" tanya Pak Agus.
"Nanti saya ke mobil Pak, Pak Agus duluan saja." jawab Wina.
"Saya ke mobil sekarang, ayo Pak Agus." ucap Jarvis sambil menarik tangan Pak Agus. Wina membuang muka pura-pura tidak melihat Jarvis.
"Sialaaann....!" Wina mengucapkan kata itu dengan setengah berteriak.
***
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top