Romance Slap (6)

Waktu menunjukkan pukul setengah satu siang. Ara baru saja sampai di depan rumahnya. Berhubung pelajaran belum dimulai, ia bisa pulang lebih awal. Gadis itu cukup senang mengingat dagangannya laris manis. Ia jadi makin bersemangat untuk berdagang.

Namun, cukup kesal juga mengingat serangkaian kejadian di sekolah tadi. Kehidupan sekolah yang tenang jadi terusik gara-gara cowok bernama Adimas itu.

Tangan Ara terulur, kemudian mengetuk pintu panel minimalis berwarna cokelat tua.

"Assalamu'alaikum . . ."

Tak lama kemudian, pintu itu terbuka. Seorang wanita dengan uban lebat di kepalanya muncul. Keriput tercetak di pahatan kulitnya yang sudah terasa kendor. Kalau ditaksir, ia mungkin sudah berumur 65 tahun.

"Wa'alaikumsalam . . . Ara? Kok sudah pulang?" Ara menyalimi tangan mungil yang terasa kasar itu.

"Belum mulai pelajaran, Nek. Tadi baru perkenalan sama bersih-bersih," tutur Ara. Gadis itu melepas sepatu hitam dan kaus kaki putih yang membalut kaki dan meletakkan benda itu di rak sepatu.

"Ya sudah, Ara sekarang ganti baju dulu, ya. Habis itu makan. Nenek sudah masakin sop buntut kesukaan kamu."

"Iya, Nek." Ara melangkah masuk dan berhenti di depan kamarnya. Beberapa detik kemudian, gadis itu melempar tubuh ke ranjang karena punggungnya terasa pegal. Netra gadis itu menjelajah tiap sudut ruangan.

Rumah ini adalah bukti kerja keras sang ibu yang membanting tulang di negara tetangga. Kalau saja Herman—mendiang ayah tidak meninggalkan hutang yang menumpuk, tentu saja Ara tidak merestui ibunya pergi.

Pikiran gadis itu menjelajah ke masa lalu. Dulu, kehidupannya tidak terasa seberat ini. Semenjak ayahnya tiada, semua menjadi serba sulit. Mulai dari dikejar debt collector, berpindah-pindah kontrakan, cemoohan dari tetangga, dan kekhawatiran bagaimana menjalani hari esok terus berpendar setiap saat.

Beruntung, semenjak Asih berangkat ke Malaysia, perlahan-lahan cobaan ini mulai berkurang. Ibu Ara rajin mengirim penghasilan tiap bulan, tetapi masalah kembali hadir tatkala kabar mengenai Asih tidak terdengar.

Ara menghela napas pelan. Perasaannya kacau tiap mengenang semua itu. Ia merindu saat dimana semua masih baik-baik saja. Benar-benar rindu ...

Sampai merasa sendu.

Ara tidak mau berlarut-larut dalam kesedihan. Ia harus bangkit. Bersyukur masih memiliki nenek dan Bu Yuli yang begitu menyayanginya. Gadis itu janji. Suatu saat nanti, ia pasti akan membalas kebaikan mereka.

~~~

Rumah itu begitu megah, namun berbanding terbalik dengan suasananya. Sepi, mirip-mirip rumah kosong yang mau dikontrakkan, tapi belum ada peminat.

Anak laki-laki itu menghela napas berat. Ia melangkahkan kaki menuju kediamannya. Matanya menyipit ketika melihat seorang wanita yang masih terlihat muda sedang menyirami tanaman di sudut halaman rumah. Wanita itu mematikan air yang mengucur dari selang dan melempar senyum pada Dimas.

Dia Drupadi, mamanya Dimas.

"Mama!" panggil Dimas girang, lantas anak itu langsung memberikan wanita itu pelukan erat.

"Eh, anak Mama udah pulang." jawab Drupadi.

"Tumben Mama udah ada di rumah." Dimas mencium punggung tangan sambil menatap heran mamahnya itu.

"Iya. Mama cuma nerima tamu yang mau investasi pagi tadi. Nanti sore Mama juga mau pergi lagi. Ada janjian sama nasabah." terang Drupadi. Dimas hanya membalas anggukan paham.

Leher Dimas berputar ke kanan dan kiri. Celingukan, tetapi ia tidak menemukan mobil yang biasa Sadewa bawa ke sekolah.

"Papa mana, Mah?"

"Papa mau ngisi acara seminar kependidikan di luar kota selama dua hari. Kamu tahu sendiri, 'kan Papa kamu kayak gimana." Drupadi mengerucutkan bibir. Sebagai seorang istri, kadang ia merasa kesal lantaran Sadewa terlampau sibuk. Biar begitu, ia berusaha menjadi pasangan yang baik dengan selalu mendukung apapun keputusan Sadewa.

Dimas terbelalak. "DEMI APA! Mama serius?"

"Iya."

Cowok itu menggerutu. "Kenapa cuma dua hari coba?"

"Huss! Kamu ini." Drupadi mencubit pangkal hidung Dimas agak keras, membuat anak itu mengaduh kesakitan.

"Berarti habis ini aku boleh ke rumah Risang, ya, Ma? Pengen main ps," pinta anak itu dengan wajah yang dibuat memelas.

"Iya nggak-papa. Tapi jam tujuh udah harus ada di rumah, ya. Nggak ada Papa bukan berarti kamu bisa seenaknya. Harus tetap belajar, oke?"

"Siap, Bos!" seru Dimas sambil menaruh hormat, berlagak seperti peserta upacara.

~~~

Waktu menunjukkan pukul 04.00 sore. Ara baru saja selesai membaca buku , menyicil belajar untuk hari esok. Ia segera keluar kamar menuju dapur. Selepas belajar, bukan berarti Ara bisa terus bersantai-santai bermain gadget seperti remaja pada umumnya.

Ara harus membantu nenek membuat bakpau dan susu kedelai untuk besok dititipkan di warung-warung dekat rumah dan dibawa ke sekolah.

Ara merasa bersyukur masih mendapatkan kasih sayang dari neneknya. Setidaknya masih ada alasan untuk Ara berjuang di dunia ini, yaitu membahagiakan nenek.

"Nek, sini Ara bantu uleni adonannya," ucap Ara ketika sampai di dapur dan melihat nenek sedang menguleni adonan bakpau.

"Ini biar Nenek saja, Ara cuci tempat bakpaunya dulu."

"Oh iya, Nek! Lupa belum Ara cuci!"

"Yaudah sana cuci." Ara bergegas mengambil kotak jinjingan yang ia taruh di dekat pintu dapur sepulang sekolah tadi.

Setelah mencuci, gadis itu membantu nenek membungkus bakpau yang sudah matang dengan plastik. Nenek terlihat sangat cekatan, Ia bisa membungkus 3 sekaligus disaat Ara masih berkutat dengan satu bungkusan. Namun, Ara pantang menyerah. Ia tak ingin kalah oleh nenek yang sudah berumur.

"Nenek istirahat aja dulu. Biar Ara lanjutkan. Toh, tinggal ngerebus susu dan menunggu matang saja 'kan, nek."

"Nenek belum ngantuk Ra, dan—memangnya kamu tahu tanda susu kedelai sudah matang dari mana?" Nenek agak ragu dengan ucapan Ara. Pasalnya, ia belum pernah mengajari Ara cara membuat susu. "Dan lagi, memang kamu tahu cara nyaring susunya kalau sudah matang?"

"Hmm ... tahu dong nek," jawab Ara sedikit ragu. Gadis itu percaya kalau artikel di internet akan membantu.

"Sudah, biar Nenek saja."

"Kalau gitu, Ara juga ikut tunggu."

Ara tahu nenek pasti sudah lelah, terlihat dari gerakannya yang sudah mulai melemah. Ara tidak tega melihatnya. Namun, bagaimana lagi? Perkataan nenek terkadang tidak bisa dibantah. Jika beliau mengatakan masih kuat, maka tidak ada yang bisa memaksanya beristirahat.

Ara mengantar nenek ke kamar setelah pekerjaan di dapur selesai, merebahkan orang tua itu dan mengambilkan selimut sebagai penutup tubuh nenek supaya tidak kedinginan. Ia menatap wajah keriput nenek yang mulai memejamkan mata. Pasti sangat lelah sampai langsung tertidur lelap begini, batin Ara dalam hati.

Ara duduk di tepi ranjang, meraih tangan sang nenek dan mulai memijitnya. Tangan ini sudah kurus nan keriput. Namun, dari tangan inilah Ara bisa bertahan hidup.

Ara tidak pernah membayangkan apa jadinya bila tidak ada nenek disisinya. Akankah ia mampu melalui hari-hari yang terus berjalan? Tidak, Ara paling benci membayangkan hal itu. Nenek harus tetap sehat dan berada disisinya. Sebab Ara belajar dan berjuang selama ini adalah hanya untuk sang nenek tercinta.

Ara merasakan bahwa nenek sudah mulai pulas. Tatkala Ara hendak bangkit dan keluar, pintu kamar terbuka mendadak dan sesosok gadis muncul tiba-tiba.

"ASSALAMU'ALAIKUM ARA!" teriak Naya dari ambang pintu.

Ara tercekat kaget. Ia merasa jantungnya akan berpindah. Buru-buru gadis itu meletakkan telunjuk di bibir, memberi isyarat agar Naya tenang.

"Sorry, Ra, aku ketuk pintu daritadi nggak ada jawaban," bisik Naya.

"Jadi ke toko buku?" lanjut Naya lagi.

Dua gadis itu berencana pergi ke gramedia sore ini. Ada bazaar buku besar-besaran di sana. Tentu saja ini kesempatan bagus. Sudah lama Ara ingin membeli buku-buku SBMPTN, tapi terkendala biaya.

"Jadi. Aku ganti baju dulu, ya."

~~~

Seperti hari-hari biasa, Kota Bandung selalu dingin meski tidak turun hujan. Jalanan kota dipenuhi lautan manusia yang berlalu lalang, baik berjalan kaki, membawa motor, maupun kendaraan beroda empat.

Dua gadis itu berjalan memasuki toko buku yang berada di kawasan jalan merdeka. Ara berjalan ke barisan rak yang berisikan buku-buku pelajaran, sementara Naya tampak memilih-milih di rak novel remaja.

Walau gadis itu pesimis soal asmara, Ara sebenarnya sangat menyukai novel-novel bergenre teenfiction, tentang percintaan anak SMA alias abg labil.

Ada dua alasan kenapa dia tidak memiliki novel di rumahnya. Satu, ingin berhemat. Dua, gengsi.

Iya, gadis itu selalu meminjam koleksi pribadi Naya dan menyelesaikan hanya dalam waktu semalaman. Namun, jika Naya bertanya bagaimana, hanya satu kata yang Ara lontarkan. Biasa.

Padahal, ia pernah menangis sesenggukan gara-gara membaca novel berjudul Dear Tantan.

Gadis yang mengenakan hoodie bertudung panda itu terus mengitari rak-rak buku pelajaran, masih mencari kira-kira buku mana yang menarik perhatian.

Saat kepala Ara menoleh ke rak di seberang, secara tidak sengaja matanya tertuju pada dua orang cowok sedang berdiri di sana. Mereka terlihat sedang mendebat sesuatu dan Ara mengenal keduanya.

"Gimana kalau buku ini?" Risang menunjukkan buku berjudul Menjadi Dewa Gitar Dalam Dua Minggu. "Sepupu saya ngebet banget bisa belajar gitar. Pasti dia langsung jago kalau saya kasih ini di ulang tahunnya."

Dimas mengamati benda itu. Dari tatapannya saja sudah menyiratkan kalau dia tidak suka. "Gue yakin ini yang ngarang pasti dewa mabok."

"Kok bisa?"

"Lu nggak tahu? Jimmy Hendrix butuh waktu hampir seumur hidup buat benar-benar jadi gitaris terbaik dunia. Gue yakin kalau dia tahu ada buku ini dia bakal hidup lagi. Ngapain dia susah-susah belajar. Mending beli buku ini aja," dumel Dimas.

"Yah, masuk akal juga, sih," ucap Risang agak kecewa. Cowok itu meletakkan kembali buku tadi di rak. Kata-kata Dimas memang terdengar masuk akal sampai bisa mempengaruhinya.

Dari kejauhan, Ara terkikik geli mendengar penjelasan Dimas. Gadis itu menyipitkan mata, berusaha mengamati lebih saksama. Bila tidak mengingat kejadian di sekolah tadi, wajah cowok itu begitu menawan. Ia memiliki rambut bergelombang dan wajah seorang babyface.

Ara mengambil satu buku di rak. Ia pura-pura membaca sambil terus mengamati.

Ganteng, sih. Tapi ....

Seketika, lamunan Ara terpotong ketika seorang wanita di belakangnya memanggil.

"Mbak, permisi."

Ara bergeser untuk memberikan jalan. Namun, wanita itu tetap diam di tempat sambil menatap bingung.

"Maaf, Mbak. Permisi," ulang wanita itu lagi. Kali ini dengan nada lebih keras.

"Apa, sih, Mbak? Kan saya udah minggir," omel Ara dengan berbisik. Ia takut mengundang perhatian. Bisa-bisa, Dimas mengetahui keberadaannya.

"Nggak lihat saya lagi baca? Ganggu aja!" gerutu Ara sebal.

"Iya, tahu." Wanita itu menggaruk kepala pelan. "Tapi itu buku kasir, Mbak."

Ara membelalak tidak percaya. Ia memastikan kembali buku yang ia pegang dan mendapati buku bercorak batik itu memang tengah ia genggam tanpa sadar.

Setelah mengembalikan dan meminta maaf pada karyawan tadi, Ara bergeser ke rak lain. Demi apapun, ia hanya ingin cepat pulang ke rumah gara-gara serentetan kejadian tadi.

"Hey!"

Ara menoleh. Didapatinya Dimas tengah melambaikan tangan ke arah gadis itu. Ara mengernyit bingung. Apa jangan-jangan cowok itu sudah sadar akan keberadaannya?

~~~

To Be Continued

23 February 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top