Romance Slap (2)

"Bangun, Bang!" teriak Fian yang sudah mengenakan seragam rapi. Ia terus mengguncang tubuh berlapis selimut itu. Akan tetapi sama sekali tidak mendapat respons.

Dimas adalah satu-satunya saudara yang ia miliki, walau kadang ia malas untuk mengakui. Cowok itu hanya bisa geleng-geleng kepala menghadapi kelakuan kakaknya.

Dimas membuka mata perlahan. Ia merubah posisi dari berbaring ke duduk seperti tengah sedang mengumpulkan nyawa, melirik jam dinding sejenak, kemudian merebahkan kembali raganya.

"Bang, ini tahun ajaran baru. Lu mau terlambat di hari pertama sekolah? Jam segini masih males-malesan pula." Fian kembali membuat tubuh itu terguncang. Menyadarkan Dimas dari bunga tidur.

Kata-kata yang diucapkan Fian membuat Dimas terusik. Dengan setengah malas ia bangkit dari tempat tidur.

"Nggak usah sok peduli lu!" ketus Dimas dengan sengaknya.

"Gue ada salah sama lu? Kalau memang ada, gue minta-"

"BACOT!" potong Dimas.

Fian tercekat kaget. Baru kali ini dirinya melihat Dimas semarah itu. Padahal, Fian tidak merasa melakukan suatu hal yang bisa membuat kakaknya naik darah.

"Kalau mau pencitraan jangan di sini. Di depan Papa sono!" Dimas melangkah maju. Diambilnya handuk yang tergantung di pintu.

Fian mengernyitkan dahi. "Gue nggak ngerti kenapa lu semarah ini. Kita bisa omongin baik-baik, 'kan?"

Dimas menepis kasar tangan yang berusaha merangkul pundaknya. Ia melempar tatapan tajam.

"Nggak usah peduliin gue. Urus aja urusan lu sendiri." Dimas meninggalkan Fian sendiri di tempat itu. Memberikan sebuah tanda tanya sekaligus mencetak raut kesedihan untuk Fian.

~~~

Dimas berjalan ke meja makan. Cukup terkejut saat melihat tudung saji yang kosong.

"Mama nggak sempat buat sarapan. Dia harus berangkat pagi-pagi buat persiapan ulang tahun kantor."

Dimas menoleh dan menemukan Sadewa sedang berdiri di depan cermin. Sebuah dasi hitam mengikat pangkal leher laki-laki berumur 48 tahun itu. Ia mengenakan kemeja putih berbalut jas hitam.

Drupadi yang dipanggil dengan sebutan 'Mama' itu memang seorang wanita karir. Ia menjabat sebagai kepala cabang salah satu bank swasta.

Dimas mengangguk sambil mendesah pelan. Tubuh cowok itu sudah rapi terbalut seragam osis. Sengaja ia melewatkan mandi karena pagi itu udara masih dingin hingga menembus masuk ke tulang.

"Perlu Papa kasih uang buat beli makan?"

"Nggak. Uang dari Mama masih lebih dari cukup."

Dimas bersiap berangkat dengan sepeda motor hitam yang terletak di garasi samping rumah. Namun, masalah kembali terjadi.

Motor itu tidak mau menyala meskipun mesinnya sudah di-starter beberapa kali. Dengan kesal, ia memaki benda mati yang ada di hadapannya, "Kenapa kudu mati sekarang, sih? Gue siap nuntun kalau lu mogok di tengah jalan. Asal jangan di sini, Berengsek!"

"Motor kamu mati?" tanya Sadewa yang tiba-tiba muncul di belakang Dimas.

"Kayaknya," jawab cowok itu dengan nada ketus.

"Mau berangkat bareng Papa naik mobil?"

Dimas menggeleng cepat. Ia tidak ingin berada dekat Sadewa, sekalipun untuk waktu yang singkat. Cowok itu lebih memilih naik kendaraan umum, ketimbang berada satu mobil dengan ayahnya.

"Nggak usah. Aku bisa naik angkot." Setelah menolak tawaran itu, cowok itu berjalan pergi tanpa menoleh ke ayahnya sedikit pun.

~~~

Awal tahun seperti ini menjadi bulan tersibuk bagi siswa-siswi SMA.

Kelas X akan sibuk beradaptasi dengan lingkungan baru mereka.

Kelas XI tergolong lebih santai. Mereka sudah mengenal lingkungan sekolah luar dalam, dan apa yang menjadi beban mereka tak seberat kelas XII.

Kelas XII akan disibukkan dengan beraneka macam tugas dan ujian, sebab tidak lama lagi mereka akan mengakhiri masa SMA, dan beralih ke jenjang yang lebih tinggi.

Tidak seperti murid biasa yang hanya disibukkan dengan belajar, Ara harus menjalankan dua peran sekaligus. Sebagai pelajar, sekaligus pencari nafkah.

Hari ini seperti biasa, ia berangkat ke sekolah ditemani kotak jinjingan berisi aneka kue dan susu kedelai buatan nenek.

Setiap hari ia berjualan di sekolah demi menyambung hidup. Bukan hal yang mudah bagi Ara melalui hidup tanpa kedua orangtua.

Ayahnya sudah meninggal sejak ia duduk di bangku sekolah dasar. Sekitar lima bulan lalu, ibunya menjadi TKW di negara tetangga, dan tak ada kabar hingga saat ini.

Hari ini tidak seperti biasa, pikirnya. Sudah beberapa bulan lalu kota ini selalu basah diguyur hujan. Namun, hari ini matahari bersinar begitu terik. Berulang kali ia mengusap peluh bercucuran dari dahi, tapi gadis itu selalu tersenyum dalam setiap keadaan yang ia lalui. Masih bagus hari ini tidak turun hujan.

Ara memberhentikan angkutan umum di ujung gang rumahnya. Jarak dari rumah ke sekolahnya memang lumayan jauh dan akan memakan waktu yang lama bila berjalan kaki. Ia duduk di pinggir jendela memandangi jalan yang sudah mulai ramai oleh hiruk pikuk kendaraan yang berlalu lalang.

Seorang cowok berseragam putih abu-abu terlihat memandanginya. Ketika ia menoleh lelaki itu memalingkan pandangan.

Ara merasa bingung, apakah penampilannya hari ini terlihat aneh, sampai ia mendapat pandangan sangat lekat seperti tadi? Ara segera becermin dengan ponselnya. Namun, dandanannya terlihat normal. Gadis itu beralih merapikan seragamnya.

Lagi, cowok itu memandangnya kembali. Ara mulai risi dan ingin segera turun dari angkutan umum itu. Berlari dan menjauh. Jujur, ia memang tidak biasa dilihat seperti itu. Hal ini benar-benar membuat gadis itu resah.

Ternyata, cowok itu turun di tempat yang sama dengannya. Ia mulai melangkah masuk ke bangunan tempatnya menuntut ilmu, melewati koridor sekolah menuju kelas XII IPA 2. Namun, ia sadar bahwa cowok itu terus mengikutinya, bahkan sampai ke ruang kelas. Ara menghentikan langkah dan berbalik.

"Ada apa, ya? Kamu siapa? Mengapa mengikuti saya? Dari tadi saya lihat kamu terus-terusan memandangi saya. Ada perlu apa? Ada kepentingan sama saya? Masih saya lihatin nih," cerocosnya panjang lebar seakan ia menumpahkan segala kekesalan pada cowok itu.

"Emm ... saya mau beli daganganmu. Soalnya belum sarapan," balas Dimas yang dicap sebagai penguntit itu.

"Hah?!" Ara membelalakkan matanya kaget mendengar pengakuan Dimas.

"Kenapa nggak bilang dari tadi? Nggak perlu sampai mengikuti saya sampai ke dalam kelas juga. Saya jadi mikir jelek akhirnya," sambung Ara terus mengomel.

Dimas makin salah tingkah. Saking gugupnya, bulir-bulir keringat meluap lewat telapak tangan.

Ini cewek cablak bener, deh

. "Eee ... Nggak pa-pa. Kebetulan kelas saya juga dekat sini. Saya mau bilang pas turun dari angkot, tapi kamu buru-buru masuk kelas." Dimas meremas rambut, berusaha memikirkan cara untuk mengalihkan perhatian.

"Bakpau itu berapa harganya?" tanya Dimas. Telunjuknya menuding makanan berbentuk bulat yang menyembul di keranjang yang Ara bawa.

"Seribu rupiah saja. Kamu mau beli berapa?"

"Sepuluh."

Ara mengangguk paham. Ia mengambil kresek hitam di dalam ranselnya, kemudian membungkus pesanan tadi dengan rapi. Setelah membayar, Dimas berlalu tanpa mengucap apa-apa.

"Mas!" Ara agak jengkel dengan perilaku Dimas. Cowok itu nyelonong begitu saja usai mendapat apa yang ia mau. Memang pembeli adalah raja, tapi setidaknya, ucapkan salam atau terima kasih, kek.

Dimas menoleh. Salah satu alisnya terangkat. Perasaan, ia tadi membayar dengan uang pas. "Ada apa?"

"Salam dulu."

Dimas terdiam. Untuk sepersekian detik, indera penglihatannya terus menatap Ara tanpa berkedip. Bersitatap, keduanya saling memandang tanpa berucap.

"Kamu bilang apa?" tanya Dimas, berusaha memastikan apa yang telinganya tangkap.

"Salam dulu," sahut Ara dengan suara yang lebih dikeraskan.

Dimas mengernyitkan dahi, merasa aneh dengan permintaan Ara. Ia tidak ingin ambil pusing. Buru-buru diraihnya tangan Ara dan ia kecup tanpa rasa ragu. Sontak, kejadian itu mengundang perhatian dari siswa yang ada di dalam kelas.

Ara pun terkejut oleh tingkah Dimas yang dinilai sangat kurang ajar. Tanpa rasa ragu, tangan kirinya bergerak melesat secara spontan.

PLAKK

Tamparan itu mengenai pipi Dimas. Cukup keras, sehingga membuat seisi kelas kaget dan membuat cowok tadi mengaduh kesakitan.

"Lu apa-apaan, sih? Kok gue tiba-tiba ditampar?" Dimas yang daritadi bersikap kalem itu mendadak naik pitam, tak terima dengan reaksi yang ia dapat.

"Kamu teh yang apa-apaan, main cium-cium tangan saya saja. Dikira teh tangan saya itu batu hajar aswad? Saya hajar juga kamu lama-lama, yah!" balas Ara tak mau kalah. Ia menjinjing keranjangnya kembali. Seperti bersiap akan menimpuk kepala Dimas.

"Tadi gue disuruh salam sama lu. Udah gue salamin malah salah lagi. Serba salah gue kayak makan buah simalakorma," dengkus Dimas sambil meraba wajah. Sensasi panas masih menjalar di pipinya.. "Memang, kelakuan cowok nggak pernah bener di mata cewek!"

"Idihh, malah curhat. Eh, saya tuh suruh kamu buat ucapin salam sebelum pergi. Jangan asal nyelonong aja! Kok malah salamin saya? Emang saya ibu kamu apa?" Ara tak mau kalah menentang. Dengan nada tinggi dia terus mengintimidasi.

"Makanya kalo ngomong itu yang jelas. Ambigu jadinya, 'kan."

"Heh, saya itu udah jelas banget ya ngomongnya. Pikiran kamu aja yang nggak bener. Dasar penjahat kelamin! Serigala berbulu undur-undur! Lelaki hidung pesek!"

Gadis itu buru-buru menutup mulutnya karena merasa kata-kata yang terucap agaklah kasar. Walau kesal, Dimas memilih diam. Bisa-bisa ia mati muda kalau terus mendengar komentar Ara yang makin lama makin ngawur.

"Nah, saya jadi keceplosan. Sudah, cepat pergi ke kelas kamu! Kalau di sini terus bisa-bisa dosa saya bertambah," tukas Ara bertubi-tubi.

Seisi kelas XII IPA 2 menonton pertengkaran kecil mereka bak anjing dan kucing.

Ada yang bersorak heboh, ada yang pasang taruhan untuk lihat siapa yang menang. Sampai-sampai ada yang melakukan siaran live di akun instagram. Kebosanan dan rasa jenuh mereka akibat hari pertama kembali ke sekolah seakan sirna karena hiburan kala pagi itu.

Dimas menyerah. Dia menenteng kresek berisi pesanannya tadi, kemudian beranjak keluar kelas. Namun, telinga cowok itu kembali dibuat panas.

"Aduh, gimana ini? Masa saya belum menikah tangan saya sudah main disosor saja. Kayaknya pulang nanti saya harus mandi besar terus basuh tangan tujuh kali dengan air dan tanah."

Dimas menggeram pelan. Rahangnya yang kokoh terasa keras, bersamaan dengan tangan kanan yang ia kepalkan. Cowok itu merasa dipermalukan, namun tetap berusaha meredam emosi walau harga dirinya merasa diinjak-injak.

Dasar cewek kurang ajar, dikira gue chihuahua apa ya. Ia berusaha melupakan kejadian memalukan tersebut dan beranjak menuju kelasnya, takut masalah akan semakin panjang.

-Bersambung

Btw, ini Ara ya gaess. Gimana? Apakah aura kejutekan sudah tercetak di wajahnya? (๑¯∀¯๑)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top