Romance Slap (16)
Ara kembali berdagang ketika bel istirahat kedua berbunyi. Dengan ulet ia menawarkan kue ke setiap siswa yang ia temui. Dicemooh itu sesuatu yang pasti, namun Ara tidak terlalu memikirkan masalah itu. Toh, ia melakukan sesuatu yang halal, tak ada yang salah dengan itu.
Anak-anak yang hobinya foya-foya dan menghambur-hamburkan uang hasil jerih payah orang tua-lah yang harusnya merasa malu. Sudah diberi kesempatan untuk menjadi orang sukses, malah berperilaku hedon.
"Kuenya, Kak."
"Mangga, kuenya, Kak."
Ara terus menjajakan jajanannya kepada siapapun yang sedang lalu lalang di koridor sekolah. Sepertinya, nasib gadis itu kurang mujur hari ini. Berkali-kali dagangannya ditolak, apalagi dagangannya masih banyak yang tersisa.
"Beli, Teh," ucap salah seorang siswa laki-laki.
"Iya." Ara agak terkejut ketika menolehkan kepala. Anak yang berada di depannya sangat tinggi, bahkan Ara harus mendongakkan kepalanya untuk menatap anak itu.
"Iya, mangga." Ara menyodorkan keranjang di genggamannya.
Anak itu terkekeh geli melihat ekspresi Ara yang tampak kebingungan. "Bingung, ya? Saya murid pindahan di sini," balas cowok itu sambil tersenyum simpul.
"Eh, iya."
"Deandra Raiden, dari kelas XII IPS 4." Dean mengulurkan tangan dan disambut dengan jabatan lembut dari gadis itu.
"Semuanya lima ribu, Mas"
Cowok itu menyerahkan uang pas. Senyumnya di wajahnya masih tertahan, menimbulkan kesan misterius. Ara merasa merinding ketika kedua netra mereka berpapasan.
"Oh, iya. Nama kamu siapa?"
"Ara."
"Kalau gitu, saya duluan. Mau jualan lagi. Permisi, Mas."
Jadi itu cewek yang lagi deket sama Dimas? Lumayan. Kita lihat, seberapa kuat lu bisa tahan kalau gue usik dia. Sama kayak apa yang lu udah lakuin ke Kinal, batinny sambil mengepalkan tangannya.
~~~
Seperti biasa, keempat anak laki-laki dari kelas XII IPS 1 tengah berjalan menuju kantin Bi Inem. Maklum saja, siang-siang begini perut pasti sudah demo minta diisi. Kalau perut kosong, otak tak akan fokus menangkap pelajaran. Ah, itu hanya alibi. Sebenarnya mereka (terkecuali buat Risang) juga jarang memperhatikan apa yang guru terangkan.
Di tengah perjalanan, Ricky melihat seorang anak kelas sebelah yang menjadi gebetannya. Perempuan yang ia idam-idam itu merupakan anggota ekskul yang sama dengannya, yaitu English Discussing Club. Benar-benar buaya darat. Punya satu orang pacar tidak membuat matanya berhenti jumpalitan. Saking khusyuknya memperhatikan si pujaan hati, Ricky tak sadar kalau Dimas memanggilnya sejak tadi.
"Rick."
"Ricky!"
"RICKY LAZUARDI FIRMANSYAH!" Dimas berteriak tepat di sebelah daun telinga Ricky, membuat gendang telinga anak itu serasa mau melarikan diri.
"KENAPA SIH LU?!!" bentak Ricky yang keburu kesal.
"Elu yang kenapa, Setan. Gue panggil daritadi kaga di-notice. Dimas mah apa atuh, Rick."
Dimas yang kesal karena diabaikan memilih berbalik menuju kelas, membuat ketiga temannya melongo heran.
"Dasar ngambekan," gumam Ricky.
"Lagi pms kali," sahut Syukron.
Risang menyentuh pangkal dagunya, mencoba mencerna apa yang Syukron katakan.
"Kok kamu tahu, Kron? Jangan-jangan kamu punya Indra Herlambang, ya?"
"Udah-udah, lu berdua malah bikin semuanya tambah ruwet," lerai Ricky. "Mending kita susul tuh anak."
~~~
Dimas berjalan melintasi koridor dengan langkah dongkol. Entah kenapa hari ini mood-nya tidak enak. Ia jadi mudah tersinggung dengan perilaku orang lain terhadapnya. Langkahnya terhenti ketika seorang anak menabrak bahunya dengan sengaja.
BUKK
"Wey, maksudnya apa, nih?" tanya Dimas seraya merapikan kerah seragamnya. Ia memicingkan mata, mencoba mengenali siswa yang berhadapan dengannya.
Melihat siapa anak itu membuat Dimas terkejut. Berkali-kali cowok itu mengucek mata, mencoba memastikan kembali. Namun, penglihatannya tidak berbohong.
"Rai? Kok, lu bisa ada di sini?"
"Kenapa? Kaget lihat gue bisa ada di sini?"
Dimas berdiri mematung. Gara-gara tekanan yang ia terima, suhu telapak tangannya menurun drastis. Bagaimana mungkin ia tidak merasa ketakutan, sedangkan orang yang ada di hadapannya adalah keberadaan yang mengancam.
"Jangan berharap buat melarikan diri dari kesalahan, setelah apa yang lu perbuat 2 tahun lalu sama Kinal." Ucapan setengah berdesis itu membuat bibir Dimas terkatup rapat.
Setelah mengatakan kalimat itu, tanpa ragu ia melempar bogem mentahnya, membuat Dimas terhuyung kehilangan keseimbangan. Anak-anak perempuan yang menonton perkelahian itu hanya bisa meringis ngeri.
Belum puas sampai situ, anak yang bernama Rai itu menendang tubuh Dimas—membuatnya tersungkur tak berdaya.
Ara yang posisinya masih berada di koridor, terkejut ketika melihat kerumunan siswa sedang menyaksikan keributan. Samar-samar matanya menangkap sosok yang ia kenal tengah terkapar di lantai.
"DIMAS!" Spontan Ara langsung berlari menerobos keramaian yang ada. Tetapi langkahnya tertahan ketika mendengar teriakan dari arah belakang.
"WOI, ANJING!" teriak seseorang yang tak terima temannya dihajar.
Semua melongo mendengar teriakannya yang begitu keras, termasuk Dimas sendiri.
"Astaghfirullah, Syukron khilaf. Ampuni hambamu ini Ya Allah, Syukron janji gak bakal ngomong kasar lagi."
Tindakan Syukron yang konyol tersebut mengundang gelak tawa. Suasana sedikit mereda setelah sebelumnya begitu tegang.
Risang membantu Dimas berdiri, sementara Ricky tidak bergeming.
"Raiden...." desis Ricky.
"Wah, wah ... dimana ada majikan, disitu ada babunya," caci Rai memanas-manasi. "Enggak bosen lu jadi anjingnya si Dimas?"
Ricky mengepalkan tinjunya kuat-kuat. Ia benar-benar ingin menghajar cowok itu detik ini juga. Namun, sama seperti Dimas, kedua tangannya membeku. Ikatan yang pernah mereka buat seakan menahan tubuhnya agar tidak bergeming.
"Kenapa? Gak jadi mukul? PENGECUT LO!" sentak Dean. Kali ini ia mengarahkan tinjunya ke arah kepala Ricky, akan tetapi tangannya terpental ketika seorang anak menepis pukulannya.
"Jangan coba-coba sentuh temen gue kalau nggak mau celaka." Syukron melindungi Ricky yang ada di belakangnya.
Belum sempat Rai membalas tindakan Syukron, sebuah tangan yang begitu kekar hinggap di pundaknya, mencengkram, dan meremas tanpa ampun. Cowok itu sampai meringis kesakitan dibuatnya.
"Saya nggak tahu apa permasalahan di antara kalian bertiga, yang jelas saya tidak akan tinggal diam kalau kamu bertindak lebih jauh," ucap Risang dengan tatapan dingin. Tingkahnya membuat ketiga sahabatnya melongo. Pasalnya, baru kali ini mereka melihat Risang begitu menakutkan ketika serius.
Rai merasa tidak berguna apabila tindakannya diteruskan. Ia memilih mundur daripada bunuh diri.
"Kamu nggak pa-pa, Dim?" Risang memastikan.
Dimas hanya mengangguk pelan sambil tersenyum kecil.
"Sebenernya ada masalah apa kalian sama si Rai Rai itu?" Syukron bertanya pada Ricky.
Ricky menghela napas sejenak. Ia tidak bisa menutupi masalah itu dari sahabatnya.
"Dia itu—"
"Rick, cukup!" sentak Dimas sambil melempar tatapan tajam.
"Gue bakal ceritain ke kalian berdua, tapi nggak sekarang."
"Tenang aja, gak usah terburu-buru. Ngomong aja kapanpun kamu mau, oke?" Risang mencoba menetralkan suasana yang mulai tegang.
Dimas mengangguk pelan. Beruntung ia memiliki teman yang pengertian seperti itu.
Keramaian yang memenuhi koridor perlahan memudar. Ara yang melihat peristiwa itu sebenarnya agak ragu untuk menemui Dimas, tetapi ia merasa anak itu sudah banyak membantunya. Ia tidak ingin menjadi orang yang tak tahu balas budi.
Ara mengumpulkan keberanian dan mendekati mereka perlahan.
"Dimas, kamu gak pa-pa?" tanya Ara sedikit ragu.
"Ciee, udah mulai di-notice. Sikat langsung, Dim!" dukung Syukron.
"Duh, Dimas doang, nih, yang diperhatiin? Kok aku enggak?" canda Ricky.
Ara hanya tersipu malu mendengar kelakar dari anak-anak itu. Ia kembali menatap Dimas yang daritadi tidak bergeming.
"Dim, aku anter ke UKS, ya?"
Namun, respon Dimas diluar dugaan. Tanpa mempedulikan ucapan Ara dan ketiga temannya, ia langsung melengos pergi. Membuat teman-temannya bingung sendiri dengan tingkah lakunya.
~~~
"ADUH, SAKIT!" teriak Dimas.
"Udah tau sakit, tadi sok nggak mau diobatin," sindir Ara. Dengan telaten gadis itu mengobati luka Dimas dengan kapas dan obat merah. "Kalau nggak mau sakit jangan belagak sok jagoan!"
"Bisa nggak sih lu lebih halus jadi cewek? Nggak kasihan apa sama gue?"
"Makanya, tahan sebentar! Jangan buat aku punya niat buat bikin luka kamu makin lebar, ya!"
Dimas meringis, menahan rasa perih tatkala obat merah itu membasahi lukanya yang terbuka. Entah apa yang membuat Ara kembali ke sifat awalnya yang judes, seperti saat mereka bertemu. Tapi Dimas teringat, Ara begitu panik saat tubuhnya tersungkur ke lantai. Apa gadis itu benar-benar khawatir dengan keadaannya?
Memikirkan itu membuat Dimas mesam-mesem tidak jelas.
"Ngapain ketawa-ketawa?" ucap Ara sambil meneteskan kembali cairan antiseptik langsung ke pelipis Dimas.
"Enggak."
Walau anak itu sempat menolak dibawa ke UKS, dengan berani Ara menyeret kerah anak itu hingga menuju tempat ini. Dimas hanya bisa menurut tanpa melakukan perlawanan.
"Kamu ada masalah apa, sih? Sampe berantem gitu?" selidik Ara penasaran. Gara-gara hanya berfokus dengan Dimas, gadis itu lupa kalau anak yang menyebabkan Dimas jadi seperti ini adalah cowok yang membeli dagangannya tadi.
"Itu bukan urusan lu!"
Ara memandang Dimas jengkel. Dengan sengaja telunjuknya menekan luka Dimas keras-keras.
"SAKIT BEGO!"
Ara membuang napas malas. "Udah diobatin, nggak tahu bilang makasih. Ya udah terserah kamu aja, aku mau ke luar." Gadis itu beranjak dari kursi UKS.
"Mau kemana, lu?"
"Kelas."
"Lu mau ke kelas dengan rok yang tembus itu?"
Pertanyaan frontal itu sukses membuat pipi Ara merah padam. Ia mencoba mengecek belakang roknya. Benar saja, sebuah bercak merah telah hinggap di rok abu-abu yang ia kenakan. Tidak ada sebuah kata yang bisa mendeskripsikan perasaan gadis itu selain malu, semalu-malunya.
"Ya Allah, gimana ini ... aku nggak bisa kemana-mana kalo kaya gini."
Dimas hanya tersenyum kecil melihat tingkah Ara yang polos. Ia melepas jaket bomber yang menutup tubuhnya.
Tanpa aba-aba, ia melempar jaket tersebut—membuat Ara jadi kehilangan pandangan.
"Pake! buat nutupin rok. Tunggu di sini. Gue mau cariin lu pembalut," ucap Dimas sambil menoyor pelan kepala Ara.
Tindakannya yang mudah berubah benar-benar membuat Ara bingung. Kadang anak itu membuatnya naik darah dengan tingkah cueknya. Tapi di sisi lain, ia bisa menjadi hangat, dengan segala tindak-tanduknya. Ara mencetak senyum di kedua sudut bibirnya. Ia merasa bahagia bisa diperhatikan oleh seseorang.
~~~
To be continued
17 Maret 2019
Berikan vote dan comment kalian, netijen yang budiman
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top