Romance Slap (13)
Hari ini langit terlihat amat damai, tidak panas pun tidak menampakkan gelagat akan turun hujan. Ara melangkahkan kakinya keluar gerbang setelah melaksanakan tugas piket hari ini. Hanya tinggal beberapa orang saja yang masih berlalu lalang disekolah.
"Ara." Seseorang memanggil namanya. Tentu saja gadis itu menoleh dan mendapati anak itu yang sedang berlari kecil mecoba menyamakan langkahnya.
"Eh, Dimas."
"Lu kenapa baru pulang, Ra?"
"Iya, abis piket. Kalo Dimas? Kok belum pulang juga?" Ara menoleh pada Dimas.
"Kena hukuman gara-gara ninggalin kelas tadi. Alhasil, gue disuruh bikin surat permohonan maaf," terang Dimas. Berkali-kali menerima hukuman tidak membuat Dimas jera. Malah itu sudah menjadi sebuah budaya baginya. Ia sampai merasa ada yang kurang kalau menjalani satu hari tanpa hukuman.
"Lu jalan kaki? Kenapa nggak naik angkot? Kan jauh dari rumah?"
"Aku belum mau pulang Dim. Mau beli bahan-bahan buat jualan di pasar depan sana," kata Ara. Telunjuknya terarah ke pasar di seberang jalan yang berjarak tidak terlalu jauh.
Dimas mengangguk mengerti. Cowok itu tetap membututi Ara, walaupun sudah berada di seberang jalan.
Merasa terganggu, Ara membalikkan badan. "Kamu bukannya bawa motor? Kok ngikutin aku sampai ke sini?"
"Gue mau ikut ke pasar. Boleh, ya?"
Ara mengernyitkan dahi. Ia merasa agak risi. Apa, sih yang membuat cowok ini sibuk dengan aktivitas orang lain? Memang dia tidak punya kesibukan?
"Terserah kamu," jawab Ara pasrah. Yah, itu tidak jadi masalah selama cowok itu tidak memberikan gangguan.
Tatkala hampir memasuki area pasar tradisional itu, Dimas menahan langkah gadis itu.
"Lu tunggu di sini aja, biar gue yang cari bahan-bahannya." Tadinya Ara kurang yakin, tapi setelah berkali-kali dipaksa, gadis itu luluh juga. Raut wajah Dimas berseri ketika mendapat list bahan yang Ara butuhkan.
Ara menunggu di luar. Sesekali gadis itu memainkan ponsel sambil menunggu.
Gadis itu memperhatikan kondisi sekelilingnya. Nampak ada seorang ibu-ibu yang berselisih dengan penjual sayuran, manakala merasa harga sayur itu terlalu mahal. Penjual itu tidak memiliki pilhan selain menurut, sebab ibu-ibu itu mengancam tidak akan belanja di lapaknya lagi.
Bisa ia lihat raut wajah si penjual sayur itu nampak lesu. Jelas ia tidak bisa menolak, sebab dagangannya masih banyak dan akan cepat membusuk bila dibiarkan terlalu lama.
Ara mendesah pelan. Sungguh ia tidak tega. Padahal harga pangan di pasar tradisional relatif murah ketimbang di supermarket, tapi mengapa orang-orang suka menawar dengan harga yang tidak wajar?
"Ra!" Panggilan itu membuat lamunan Ara buyar. Dimas sudah berdiri menunjukkan keranjang belanjaan. Ara mengangguk, tapi ia mengecek terlebih dahulu barang-barang yang Dimas beli sesuai atau tidak.
"Dim, aku minta jahe kenapa kamu kasih lengkuas?"
"Dimas, aku minta kunyit. Kenapa malah kamu belinya kencur?"
Dimas meremas rambut jengkel. Daritadi ia terus mondar-mandir keluar masuk pasar. Ia tidak keberatan, tapi rayuan dari emak-emak yang tengah belanja membuatnya ngeri sendiri. Beberapa di antara mereka bahkan berani mencolek pundaknya.
"Aku minta minyak sayur, kenapa kamu malah bawa tukang sayurnya?" omel Ara sambil mengernyit. Dimas mengajak tukang sayur yang Ara lihat tadi untuk menghadapnya. Di pikiran cowok itu, lebih baik begini daripada terus mondar-mandir. Lebih praktis.
"A-ampun, Dek ... jangan apa-apakan saya," ucap tukang sayur itu dengan takut. Mungkin di pikirannya, Dimas terlihat seperti penjahat kelamin.
"Ngapain juga saya ngapa-ngapain Bapak. Kayak nggak ada betina aja di dunia ini," dengkus Dimas yang merasa jijik.
"Dimas, ih! Jangan kasar-kasar kalau sama orang tua!" tangan Ara sukses mencubit pinggang cowok berwajah oriental itu dan membuatnya mengaduh kesakitan. Teriakan Dimas sontak mengundang perhatian para ibu-ibu yang sedang berbelanja.
"Bu, liat deh anak-anak itu. Lucu ya mereka, yang satu teriak-teriak heboh, satunya marah-marah gitu."
"Bener-bener darah muda ya, Bu. Saya kalo liat mereka jadi inget masa muda hihihi."
Ara dan Dimas sama-sama memancarkan semburat kemerahan dari raut muka. Terlebih-lebih Ara. Niatnya pergi berbelanja tapi malah jadi bahan perbincangan ibu-ibu. Jika tidak sabar, ingin sekali rasanya ia melubangi kepala Dimas dengan paku payung.
"Saya cuma mau beli sayur sama bahan-bahan buat bikin kue, kok, Pak. Maaf kalau teman saya kelihatan jahat begini."
Wajah tukang sayur itu langsung berubah 180º. Muka-muka yang tadinya lesu dan suram layaknya kuburan, kini cerah berseri-seri, walau masih kaku tatkala mendapati Dimas sedang melotot. Tidak tahu mengapa ia bisa segembira ini, mungkin karena sejak tadi lapak bapak itu hanya dikunjungi oleh ibu-ibu yang suka menawar dengan tidak logis.
Ara menyodorkan selembar uang bernominal lima puluh ribu setelah belanjaannya dirasa lengkap.
"Maaf, Non, saya nggak ada kembaliannya. Tunggu sebentar, ya. Saya keliling dulu buat nukar—"
"Nggak usah, Pak!" potong Ara cepat.
Pak tukang sayur itu terlihat panik. Apa gadis itu berubah pikiran dan tidak jadi berbelanja? Sungguh, ia membutuhkan uang untuk bisa menafkahi keluarga hari ini. Mungkin nasib baik sedang tidak ingin berkoalisi hari ini.
"Ambil saja kembaliannya, Pak." Ara tersenyum tipis.
"Tapi, Non ...."
"Nggak pa-pa. Hitung-hitung, buat jajan anak-anak di rumah."
Rasa haru menyeruak dan membuat bapak sayur itu berdesir merinding. Baru kali ini ia menemukan pelanggan mulia. Tidak menawar dengan drastis, malah dengan entengnya memberi kelebihan uang. Setelah mendapat ucapan beribu-ribu terima kasih, Ara dan Dimas beranjak pamit dari tempat itu.
"Gue bener-bener nggak nyangka ada orang kayak elu di dunia nyata," celetuk Dimas. hanya gadis di sampingnya lah yang tidak malu-malu menjajakan dagangan di sekolah. Pasti rasa gengsi itu terusir karena kekurangan masalah finansial. Walaupun begitu, ia masih sempat berbagi untuk sesama.
"Biasa aja. Masih banyak orang-orang yang lebih baik dari aku."
"Kirain, orang-orang kayak lu cuma ada di ftv yang nyokap gue sering tonton. Jujur, gue masih punya pikiran buat nikmatin duit yang gue punya ketimbang ngasih ke orang lain. Kalau ada kembalian gope di Indomaret aja ogah gue tukar pake dua biji permen." Dimas kembali berceloteh.
"Nenek sering bilang sama aku biar nggak pelit sama orang lain. Harta yang kita punya itu bukan milik kita sepenuhnya. Ada hak-hak orang lain. Aku juga tahu gimana rasanya putus asa waktu kekurangan. Simple, itu doang yang bikin aku pengen berbagi."
Biarpun galak dan suka marah-marah, ada sisi lain yang membuat Dimas merasa simpati dengan Ara. Sudah kali kedua gadis itu mengeluarkan kata-kata sederhana bermakna dalam. Kata-kata Ara membuat Dimas serasa jadi pecundang.
"Ra." Gadis itu menoleh. Kerutan-kerutan kecil tercetak di dahinya, pertanda isi kepala gadis itu dihujami sejuta tanya. Siapa juga yang tidak heran ketika disapa lawan jenis dan si penyapa hanya diam mengamati dari ujung kaki hingga rambut.
"A-apa?" Salah tingkah, gadis itu memilih buang muka.
"Nanti malam lu ada waktu nggak?" Dimas tidak berubah, masih bertahan dengan wajah datar yang makin lama bisa membuat Ara gila. Bagaimana tidak? Semilir angin yang menerpa, membuat rambut tebal cowok itu berkibas. Menambah tingkat ketampanan, mungkin?
"Emang kenapa, sih?" Ara berusaha menetralkan gelagat.
"Gue mau ngajak lu jalan. Lu bisa?"
Sederhana, tapi menimbulkan pergolakan batin. Terasa seperti ada sesuatu sedang menelisik batin, kemudian meletup secara tiba-tiba. Untuk pertama kali dalam hidup, Ara diam membeku dan mendadak bisu.
~~~
Sebesar apapun kejahatan seseorang, janganlah tergerak untuk langsung membalas. Sekecil apapun kebaikan seseorang, balaslah segera dengan kebaikan yang lebih besar. Itu nilai-nilai dari guru agama yang Dimas usahakan agar terlaksana.
Jadi, jangan harap gue melakukan hal ini karena ada perasaan khusus. Dimas terus menyangkal, walau ada setitik rasa yang mungkin belum bisa ia jawab dengan jujur.
Dimas mengenakan kaus oblong berwarna putih ketat, dipadukan dengan jaket denim yang ukurannya sengaja dipilih kebesaran. Bawahannya adalah celana jeans robek yang sengaja ia lubangi dengan air aki. Cowok itu memilih sepatu converse berwarna biru dongker untuk membalut kaki. Terkesan layaknya bad boy.
Cowok itu menatap jam dinding. Sekitar 15 menit lagi, ia harus keluar dari tempat ini. Masalahnya, Sadewa sudah ada di rumah dan sedang berbincang bersama Drupadi di lantai bawah. Tentu bukan hal mudah, mengingat orang tua itu selalu memberi aturan serba ketat.
Dimas menyerah, apapun yang terjadi ia akan tetap turun. Terdengar lucu bila ia membuat janji, ia juga yang mengingkari. Sambil terus berpikir, cowok itu menuruni tangga. Derap langkah kakinya menggema cukup keras.
Benar saja, wajah Sadewa yang terlihat datar menyambutnya di bawah. Namun, Drupadi berada tepat di belakangnya. Setidaknya remaja itu bisa lega. Orang yang ia panggil "mama" pasti akan memihaknya. Ia yakin itu.
"Mau kemana?" hardik Sadewa.
"Aku mau keluar sama temen. Ada janji buat makan di luar."
"Sudah belajar?" tanya Sadewa. Tanpa basa-basi seperti biasanya.
"Itu ...." Dimas terdiam. Mendadak panik.
"Mas—" Drupadi menyela.
Sadewa mengerjap. Laki-laki itu menimang-nimang keputusan, kemudian ia mengeluarkan sebuah jawaban yang cukup mengejutkan. "Ya sudah, Papa kasih izin. Ingat, cuma malam ini!"
"Mas, kamu." Netra kecoklatan milik Drupadi berbinar.
"Aku lakuin ini biar kamu senang," bisik Sadewa dan berhasil membuat istrinya tersipu.
Dimas memperdalam kerutan di dahinya. Orang di hadapannya sekarang benar-benar Sadewa, 'kan?
Setelah sekian lama, senyum gembira ini bisa Dimas pamerkan pada ayahnya.
"Makasih, Pa!" Sadewa berdeham. Ia berjalan ke kamar selepas Dimas mencium punggung tangannya. Tidak lupa pula cowok itu mencium tangan Drupadi dan memberikan kecupan gemas di pipi wanita cantik itu.
"Kamu mau pergi sama siapa? Temen-temen cowok kamu?" Drupadi menanya tepat sebelum Dimas hilang dari ambang pintu.
"Bukan, Ma. Aku mau keluar sama anak perempuan."
"Astaga! Jangan bilang kalau Ricky tiba-tiba transgender?"
Dimas memutar bola mata malas. "Jangan mulai, deh, Ma. Temen aku mana ada yang ngelakuin begituan?" sungut cowok itu.
"Terus, bencong mana yang kamu ajak buat jalan?" tanya Drupadi makin menjadi-jadi.
Agak kesal memang. Untung ibu sendiri. Cowok itu hanya meraup wajah frustasi, dan merasa pusing karena ibunya tak kunjung paham.
"Aku keluar sama cewek tulen, Ma. Bukan bencong atau cewek transgender."
"Jadi, anak Mama ada yang naksir? Kamu punya pacar sekarang?" selidik Drupadi.
Masalah Dimas yang selalu didekati beberapa siswi di sekolah tentu saja tidak pernah ia ceritakan pada Drupadi. Cowok tidak mau repot-repot memberikan penjelasan bila ditanya lebih jauh nantinya.
"Bukan pacar juga, sih," ujar Dimas kikuk. Ia menggaruk rambut pelan.
"Mama bakal kasih izin, asal kamu penuhi syarat dari Mama."
Dimas menautkan alis. "Apa syaratnya?"
"Kamu harus kasih Mama foto bareng cewek itu. Mama belum bisa percaya. Bisa aja, 'kan, kamu ngaku keluar sama cewek, tapi malah berkeliaran sama om-om di luar?"
Astaga, ibu macam apa yang tega menuduh anaknya sendiri memiliki kelainan orientasi. Rasa-rasanya, Dimas bisa gila kalau lama-lama di sini. Antara sifat Sadewa yang dingin dan Drupadi yang kelewat menyebalkan, Dimas tidak tahu mana yang terburuk.
"Ma, jangan mulai, deh. Aku beneran keluar sama temen cewek aku!"
"Pokoknya, Mama minta bukti! Awas aja kalau kamu ngelanggar. Mama bakal tahan uang jajan kamu selama sebulan."
Dengan desahan pasrah Dimas mengangguk. Memang tidak ada pilihan lain. Untuk pertama kalinya Dimas berharap diretur kembali menjadi janin.
~~~
To be Continued
15 Maret 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top