Romance Slap (12)

Keesokan harinya, kegiatan belajar mengajar kembali terlaksana seperti biasa. Pelajaran pertama anak-anak kelas XII IPS 1 adalah Bahasa Indonesia, yang diampu oleh Bu Ratna. Guru yang masih tergolong cukup muda itu menjelaskan materi mengenai puisi.

Seperti biasa, setelah Bu Ratna memberikan penjelasan sekilas, ia akan memberikan tugas yang nantinya akan dimasukkan sebagai nilai harian.

"Oke anak-anak, Ibu rasa penjelasan tadi sudah cukup. Sekarang, Ibu akan membagi kelas menjadi beberapa kelompok. Tiap kelompok terdiri dari 4 orang, dan masing-masing kelompok akan mendapatkan tugas membedah puisi klasik yang berjumlah 5 buah. Nilai kelompok akan Ibu masukkan sebagai nilai harian."

Salah satu siswa mengacungkan jari, merasa agak keberatan dengan keputusan Bu Ratna. "Bu, saya keberatan kalau Ibu yang membagi kelompoknya. Saya nggak mau kalau nantinya satu kelompok dengan anak yang malas dan numpang nama saja!" protes Devi, salah satu siswa yang kerap kali menjadi korban ketika ada kerja kelompok.

"Heh telinga capung, lo nggak denger tadi Bu Ratna bilang apa? Emang gurunya lo apa Bu Ratna, hah?" omel Syukron tak terima. Menurutnya, kata-kata Devi terlalu mendiskriminasi dan terkesan seperti pilih-pilih teman.

"Santai dong! Gue juga punya hak kali buat berpendapat!" balas Devi tak mau kalah.

"Sudah-sudah, tidak usah ribut. Kalian sudah kelas XII, bukan waktunya lagi bersifat kekanakan begini." Bu Wendy geleng-geleng kepala dengan kelakuan dua muridnya itu. "Nanti kalau ada yang tidak bekerja, laporkan ke Ibu. Biar Ibu kosongkan nilainya." Setelah itu, barulah anak-anak menerima keputusan Bu Ratna.

Dimas tampak bahagia ketika Bu Wendy membacakan anggota kelompoknya. Entah ini kebetulan atau keberuntungan, Risang berada satu kelompok dengan gadis itu. Keduanya saling melakukan toss kegirangan mengetahui mereka sekelompok. Mereka berdua kini berkumpul bersama, dan menyatukan bangku agar bisa saling berdiskusi.

Hasilnya, Dimas dan Risang berkelompok dengan Rangga dan Delvi. Perasaan Dimas kurang enak. Cewek itu sangat jutek, apalagi kalau urusan kelompok. Ia tidak akan segan mencoreng nama temannya kalau tidak bisa diajak bekerja sama. Ia memang ambis untuk jadi yang terbaik.

"Buat kelompok yang sudah lengkap, segera berdiskusi. Berkumpul bersama teman sekelompok dan bentuk meja menjadi lingkaran untuk mempermudah kerja samanya," perintah Bu Ratna.

"Baik, Bu!" ucap murid serentak, sebelum mereka melaksanakan apa yang Bu Ratna perintahkan.

Tugas kali ini adalah membedah puisi klasik. Jadi, mau tidak mau tiap anggota kelompok musti berbagi tugas. Satu atau dua anak harus ke perpustakaan untuk mencari antologi puisi lama, sementara yang lain mencari cara bagaimana membedah puisi sesuai kaidah yang berlaku.

"Siapa yang mau ke perpus?" tanya Devi. Ia mulai gusar melihat tingkah ketiga anak itu yang terus-terusan berkelakar. Mungkin akan lebih baik kalau ini dikerjakan secara individu.

"Saya!"

"Gue!"

Dimas dan Risang menjawab bersamaan.

Gadis itu terlihat berpikir sejenak. Menurutnya, Dimas terlihat meragukan. Terang saja, cowok itu masuk dalam nominasi anak-anak terbodoh di kelas dan salah satu dari beberapa anak yang tidak diharapkan untuk menjadi rekan sekelompok.

"Mendingan Risang sama Rangga yang ke perpus. Biar gue yang nyari cara ngebedah puisi klasik," usul Devi.

Tanpa ada rasa keberatan, ketiganya menyanggupi. Jadilah Dimas dan Devi duduk berdua dalam kelas. Cowok itu merasa canggung. Devi hanya membaca lks dengan saksama, tanpa memberi arahan apa yang harus Dimas kerjakan.

"Dev, gue harus ngapain?" tanya Dimas agak ragu. Setidaknya ia ingin berusaha. Tidak mau berpangku tangan dan membiarkan yang lain bekerja sendiri.

"Tunggu mereka."

"O-oke."

Sepuluh menit sudah berlalu, tetapi Risang dan Rangga belum juga kembali. Devi masih sibuk membaca tanpa ada niatan untuk mengajak berbicara. Ponsel menjadi pelampiasan bagi Dimas untuk menghindari keadaan gabut.

Sumpah ini awkward banget.

"Yuhuu, kami udah dapat antologinya, dong. Maaf kalo lama, ya, ini juga harus rebutan sama kelompok lain. Yuk, kerjain!" ajak Risang.

"Gue juga udah tahu prosedurnya. Kita ada empat orang, sementara tugasnya adalah lima puisi. Jadi, ada anak yang kebagian ngerjain dua puisi," jelas Devi. "Risang ngerjain dua, gue ngerjain dua, dan Rangga ngerjain satu."

Pernyataan itu membuat Dimas terlonjak. Lalu apa gunanya ia dalam kelompok?

"Terus, gue ngerjain apa?"

"Nggak usah ngerjain apa-apa. Numpang nama aja. Gue nggak akan lapor ke Bu Ratna, kok. Enak, 'kan?" tanggap Devi dengan santainya.

"Nggak bisa gitu, Dev. Namanya kerja kelompok berarti semua harus kerja. Bukannya kamu juga protes ke Bu Ratna tadi?" protes Risang.

"Gue setuju apa kata Risang." Rangga mendukung.

"Tadinya, memang gue protes kayak gitu. Tapi setelah gue pikir-pikir lagi, kelompok ini udah menguntungkan karena ada Risang sama Rangga. Gue cuma nggak mau gara-gara Dimas, nilai kita jadi nggak perfect. Lagian Dimas juga jarang kelihatan kerja kalau ada kelompokan. Gue nggak salah, 'kan?"

"DEV!!!" Risang mulai terlihat emosi.

BRAAKK!!!

Dimas memukul meja cukup keras. Tindakan itu mengundang perhatian beberapa siswa.

"Sang, gue nggak-papa. Apa yang Devi bilang bener. Itu pilihan terbaik." Dimas mengangkat senyum palsu.

Cowok itu menarik napas pelan, kemudian bangkit dari tempat duduk. Dari gelagatnya, anak-anak lain bisa mengerti kalau kelompok ini tengah berselisih.

"Gue keluar dulu sebentar, ya." Setelah itu, Dimas pergi begitu saja meninggalkan ketiga anak itu. Mendapati perlakuan itu, hatinya seakan teriris.

~~~

Dimas menyeret kaki dengan langkah gusar. Berjalan di lorong tidak tentu arah. Mulutnya terus-menerus bermonolog mengeluarkan umpatan. Rasanya, ia ingin menghancurkan apapun yang ada di sekelilingnya hingga tak berbentuk.

"Iya, gue emang bego!" Dimas melempar dasi yang mengikat pangkal lehernya.

"Gue minta maaf kalau gue ini bego. Terus kenapa? Ada masalah sama itu, Berengsek?!" Dengan perasaan frustasi, cowok itu menendang tong sampah yang berjejer hingga isinya berserakan di lantai. Ia tidak peduli bila nantinya berpapasan dengan guru dan mendapat hukuman.

Dimas berhenti ketika kedua kakinya sampai di atap sekolah. Sebuah tempat sepi. Tidak ada bising yang terdengar dari mulut anak-anak. Benar-benar tempat yang istimewa untuk menghabiskan waktu.

Sekolah emang nggak berguna. Bocah-bocah sok pintar yang ambis. Kelas yang membosankan. Gue muak sama semua ini.

Seenggaknya gue nggak berdiam diri, 'kan? Kenapa nggak coba kasih kesempatan biar gue bisa? Iya, gue tahu gue ini bego. Kebegoan gue ini alami tanpa pemanis buatan, mengalir kayak pipa rucika. Tapi, memang salah kalau gue mencoba?

Gue emang bego, tapi seenggaknya gue nggak merugikan negara.

Entah mengapa lantai semen itu terasa nyaman digunakan untuk berbaring. Sinar mentari yang biasanya terasa menyengat tiba-tiba berubah hangat. Dimas terus-terusan membatin seraya menatap awan yang berarak di langit.

Beberapa menit berlalu, cuaca yang tadi terik mereda. Embusan angin sepoi-sepoi benar-benar memanjakan raga.

Dimas tersenyum kecil. Kelopaknya terasa begitu berat dan mulutnya menguap. Saat-saat inilah yang paling dinanti. Perlahan tapi pasti, keadaan ini membawanya larut ke alam mimpi.

"Halo!"

Ketika Dimas membuka mata, sosok yang tidak asing itu sudah berdiri membungkuk di sampingnya.

"Eh, lu lagi. Ini kebetulan apa gimana, sih? Kok kita jadi papasan mulu."

Ara tersenyum tipis. Nampaknya cowok itu tidak seburuk bayangannya. "Ngapain di sini? Bolos, ya?" terka Ara.

Dimas bangkit dari posisi berbaringnya. "Nggak ngapa-ngapain. Lu sendiri kenapa bisa ada di sini?"

"Belajar." Ara menunjukkan buku tulis dan buku cetak di tangannya. Gadis itu sudah sering menyendiri di atap untuk membaca buku atau mengerjakan latihan soal. Suasana sunyi di sini bisa meningkatkan daya konsentrasi secara maksimal.

"Bukannya ini masih jam pelajaran?"

"Iya, tadi ada ulangan kimia tertulis. Karena udah selesai, jadi aku ke sini."

"Gila! Lu pinter banget. Gue tadi udah jalan-jalan dan keadaan masih sepi. Berarti lu selesai duluan, 'kan?" celoteh Dimas histeris.

"Ah, biasa aja. Kalau kita udah biasa belajar setiap saat, kita akan selalu siap kapanpun ada tes dadakan. Lagian, kita cuma make presentase kecil dari kinerja otak, kok. Belum ada yang bisa buat manfaatin kemampuan otak kita secara maksimal," jelas Ara mendetail.

"Gue kira otak kita udah dipakai melebihi batas normal. Kepala gue suka ngebul kalau disuruh ngerjain soal matematika," kelakar Dimas. Keduanya tertawa bersama kemudian.

"Ngomong-ngomong, kita belum kenalan."

"Rahmaniar Azahra ... Itu nama lu, 'kan?"

"Panggil aja Ara."

"Ohh, Ara. Oke," sahut Dimas mengiyakan.

"Nama kamu Adimas Putra Satria Anom, 'kan?"

Dimas terkejut karena Ara mengetahui namanya. Kok dia tahu nama gue? Emang gue famous banget ya? Dimas menatap heran perempuan di depannya.

"Gak usah geer! Aku lihat badge nama kamu," tukas Ara, seolah tahu isi pikiran Dimas, membuat laki-laki itu keki sendiri. "Tapi kamu cukup terkenal, loh."

"Terkenal karena kenakalannya?" Lagi-lagi Ara tertawa geli. Tidak tahu kenapa, selera humor cewek itu benar-benar receh.

"Adi, Aku berarti panggil kamu Adi, ya?" Ara memastikan.

"Dimas aja. Semua temen gue manggil gue Dimas," balas Dimas.

"Tapi, kan, aku bukan temen kamu."

Dimas hanya membuang napas kasar mendengar kata-kata yang cukup menyakitkan dari gadis itu. Walaupun kesal, kesabarannya masih terkendali "Iya, terserah deh mau lu panggil apa."

"Tapi, kata nenek kita harus berteman sama siapa aja. Jadi aku panggil kamu Dimas, ya?" ucap Ara dengan mata berbinar-binar.

Ampun, ini cewek boleh enggak sih gue timpuk pake timbangan posyandu.

"Terserah lu aja, Ra." Dimas mengerucutkan bibir.

"Ngomong-ngomong, kamu belum jawab pertanyaan aku. Kenapa bisa ada di sini?" Ara memperpendek jarak di antara mereka. Alisnya bertautan, menandakan gadis itu tengah berada dalam rasa keingintahuan yang besar.

Dimas mendesah pelan. Haruskah ia menceritakan semuanya pada gadis ini? Namun, ia juga sudah lelah terus-terusan menahan beban ini sendirian.

"Gue males masuk ke kelas. Gue bodoh, kepala gue nggak ada isinya. Gara-gara hal itu juga banyak anak memperlakukan gue seenaknya. Memang apa yang salah? Kalau disuruh milih takdir, enggak bakal juga ada manusia yang pengen dilahirin jadi—"

Sebuah tangan mengusap punggung tangan Dimas, seakan menyuruhnya agar diam sejenak. Cowok itu terdiam mematung. Gadis itu tidak mengucapkan sepatah kata pun. Seakan ia membiarkan semua emosi Dimas meluap keluar.

"Ngerasa lebih baik?" tanya Ara ketika cowok itu terlihat lebih tenang.

Dimas mengangguk. Mungkin ini terlalu hiperbolis, tapi ia bisa merasakan pancaran ketulusan dari tatapan Ara.

"Turun, yuk. Kayaknya mau turun hujan," ajak Ara. Memang benar. Langit terlihat gelap. Gumpalan awan hitam menyatu, seakan siap menumpahkan bebannya kapan saja.

Sebelum mereka benar-benar pergi, Ara mengucapkan kalimat yang tidak pernah terpikirkan di kepala Dimas.

"Hidup memang nggak selamanya enak. Apapun yang kita lakukan, sebaik apa pun kita berusaha pasti nggak akan bisa membuat semua orang suka sama kita. Memang sulit. Tapi kita nggak bakal bisa bahagia kalau terus mempedulikan perlakuan buruk orang lain."

~~~

To be continued 

11 February 2019

Vote + Comment

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top