Romance Slap (11)

Alfian memasukkan sepeda motornya ke garasi, lalu melepas helm yang ia kenakan. Sambil bersiul-siul kecil, ia melangkah ke dalam rumah.

Saat memasuki ruang tengah, Alfian mendapati Drupadi sedang membaca majalah sambil menikmati segelas teh manis dan sekotak kue.

Alfian memilih duduk di sofa bersama orang tuanya. Ia mengurungkan niat untuk langsung masuk kamar dan beristirahat.

"Udah pulang? Kok sendirian?"

Alfian meraih tangan Drupadi, kemudian menciumnya. "Fian nggak lihat abang. Mungkin dia main dulu sama teman-temannya."

"Ohh ... gitu." Drupadi mengulum bibir sekilas, kemudian lanjut membaca kembali.

"Papa pulang besok?" Drupadi mengangguk pelan.

"Papa kalian sering ngerasa kecapaian akhir-akhir ini." Raut wajah Drupadi berubah saat mengatakan itu. Ia sering mendapati Sadewa baru pulang tengah malam. Apalagi berulang kali laki-laki itu mengeluh kepalanya sering sakit. "Apalagi dia harus bolak-balik ke luar kota sementara ini."

Alfian menganggukkan kepala tanda mengerti.

"Jadi, Mama minta kamu nurut sama papa, ya. Jangan bikin dia terlalu banyak pikiran."

"Harusnya abang yang Mama bilangin kaya gitu," balas Alfian setengah menyindir.

"Iya, Mama cuma kasih nasihat," sahut Drupadi. Tangannya yang berwarna kuning langsat mengangkat pegangan cangkir, kemudian meneguk isinya.

"Kalau gitu, Fian mau ke kamar dulu, ya, Ma. Sekalian mau mandi, udah bau pandan badan aku." Alfian mengecup pipi Drupadi sekilas sebelum meninggalkan Drupadi.

~~~

Malam hari telah tiba. Dimas tengah berada di sebuah ruangan khusus yang biasanya digunakan untuk bersantai. Sadewa memang membangun ruangan itu untuk sekadar melepas penat, sekaligus sebagai penghibur di kala suasana hati tidak membaik.

Ada sebuah kolam ikan yang dibangun di ruang terbuka tersebut, di atasnya terbentang sebuah jembatan buatan yang terbuat dari kayu.

Dimas juga memelihara beberapa ekor kelinci di ruang tersebut. Tentunya ia menaruh mereka di sebuah kandang agar tidak berkeliaran kemana-mana.

Namun, kandang tersebut tidak seperti kandang kayu kecil, dimana si kelinci tidak bisa bergerak bebas. Kandang itu merupakan ruangan dengan luas 4x5x3 m³ yang dibuat dari balok kayu dan diberi kawat galvanis.

Bagian atasnya diberi asbes untuk mempercantik kandang. Di dalam kandang tersebut juga terdapat beberapa rumah-rumahan dari box karton, terowongan dari kayu, dan tumbuh-tumbuhan. Semua itu disediakan untuk kenyamanan si kelinci.

Dimas masuk ke dalam kandang kelincinya. Tangannya menggenggam beberapa buah wortel dan seikat kangkung. Menghadiri kehadiran Dimas, kelinci-kelinci itu berbondong-bondong keluar dari box karton, dan berebut hidangan yang disajikan majikan mereka.

"Satu-satu," ucap Dimas sambil tertawa kecil melihat kelinci-kelinci itu saling berebut makanan.

Puas bermain dengan kelincinya, Dimas beralih ke kolam ikan. Ikan-ikan tampak naik ke permukaan ketika Dimas menyebar makanan ikan ke kolam.

"Gue kirain lu kemana, ternyata di sini," ucapan itu membuat Dimas menoleh ke belakang, ke arah lawan bicaranya.

Dimas terdiam kaku. Matanya menatap anak laki-laki yang kini berbalut dengan setelan baju dan celana berwarna abu-abu.

Alfian mendekat pada Dimas ke atas jembatan kayu di atas kolam. Ia duduk di jembatan dan membiarkan kakinya berayun seolah tertiup angin.

"Jangan diem aja kayak gitu. Gue masih lu anggap saudara, 'kan?" cetus Fian tanpa basa-basi.

"Sorry." Dimas melihat pantulan dirinya di kolam dengan tatapan kosong. Mungkin ia terlalu berlebihan. Tidak terima dengan apa yang Sadewa lakukan, membuatnya menumpahkan seluruh kekesalan pada Alfian. "Nggak seharusnya gue bersikap begini sama lu."

"Santai." Fian melempar pakan ikan ke kolam, menyebabkan suasana yang tadi hening menjadi pecah seketika. "Gara-gara papa, ya?"

"Dia cuma mau lu ada usaha lebih buat jadi lebih baik, Bang. Selama ini juga papa selalu kasih yang terbaik buat kita, kurang apa lagi?" lanjut Fian.

Dimas bungkam. Tetap saja ia merasa sakit hati, ketika ayahnya bisa tersenyum dan tertawa bersama Alfian dan ibunya, tapi hanya mengeluarkan ekspresi datar ketika berinteraksi dengannya.

"Papa sama mama sayang sama kita, walau mungkin cara papa ngasih perhatian ke elu berbeda."

"Masa?"

"Iyap."

"Papa sayang sama gue?"

"Pasti! Mana ada orang tua yang benci sama anaknya sendiri."

"Walau gue susah diatur?"

"Ya."

"Walau gue sering buat masalah?"

Alfian mengangguk mantap.

"Lu, gue, mama, kita semua harta papa yang paling berharga. Itulah yang dinamain keluarga."

"Thanks." Dimas tertawa kecil sambil meninju bahu Alfian pelan.

Alfian memberikan acungan jempol. Tangannya bergerak jahil menarik hidung Dimas keras, membuat anak itu beberapa kali mengaduh kesakitan.

Cowok yang memiliki selisih umur dengan Dimas itu menepuk jidatnya pelan ketika teringat sesuatu. "Oh iya, ngomong-ngomong, gue tadi lihat lu berduaan sama cewek di lapangan pas istirahat. Itu siapa?"

Dimas mengerutkan keningnya. Mengapa sekarang anggota keluarganya tahu dan ingin tahu tentang hal yang jadi ranah pribadinya?

Saat pulang tadi, Drupadi sudah menginterogasinya duluan. Wanita itu penasaran, kapan Dimas akan melepas status single. Menurut Drupadi, memiliki pasangan tidaklah salah karena bisa menjadi penyemangat.

"Kepo!" jawab Dimas singkat.

"Yee, gue kan penasaran." Alfian memukuli lengan Dimas seperti anak yang sedang merajuk. "Cewek lu, ya, Bang?" terka Alfian.

Hampir saja Dimas menceburkan dirinya ke kolam karena kaget dengan kalimat terakhir yang Alfian lontarkan.

"Cewek? Ya, bukanlah! Mana mau gue sama perempuan buluk model begitu," bohong Dimas.

"Ah, yang bener?"

"Iya!"

"Tapi kayaknya dia cakep, kok. Buat gue aja, ya?" Alfian terus menggoda seraya menyikut perut Dimas beberapa kali.

"Apaan buat gue, buat gue. Lu kira seblak," sungut Dimas.

"Ati-ati, loh. Biasanya yang kaya gitu nanti kesengsem sendiri."

Berpacaran dengan Ara? Bisa-bisa ia mati muda karena darah tinggi mendengar mulutnya yang pedas. Kemungkinan lain ia akan mengalami gangguan jiwa menghadapi tingkah Ara yang menurut Dimas dongonya di ambang batas kewajaran umat manusia.

Intinya berpacaran dengan Ara merupakan sesuatu yang mustahil!

~~~

Jam dinding menunjukkan pukul 22.00, tetapi Dimas belum merebahkan diri ke tempat tidur. Ia masih berdiri di balkon kamarnya, membiarkan angin berembus, menerbangkan rambut panjangnya. Mulutnya masih penuh oleh roti yang ia ambil diam-diam dari kulkas.

Tiba-tiba saja bayangan tentang Ara melintas di benaknya. Kira-kira apa yang sedang gadis itu lakukan?

Mengingat kejadian di sekolah tadi membuat cowok itu mesem sendiri, seolah keberadaan gadis itu seperti menjadi hiburan tersendiri buatnya.

Diam-diam, seorang wanita memerhatikan tingkahnya sambil menyenderkan punggungnya ke tembok. Melihat tingkah anaknya itu membuat Drupadi geli sendiri.

Drupadi berdeham, membuat anak itu menghentikan aktivitasnya.

Sadar tengah diperhatikan, Dimas berbalik dan mendapati sosok ibunya sedang tersenyum memandangnya.

"Anak mama yang ganteng ini belum tidur ternyata?"

"Mwamwamwa." Dimas berbicara dengan mulut yang penuh dengan roti.

"Habisin dulu yang ada di mulut," perintah Drupadi, membuat anak itu terdiam sambil terus mengunyah isi mulutnya.

Drupadi berjalan mendekati anak sulungnya. Perempuan yang hampir menginjak kepala empat tersebut turut menikmati pemandangan yang terlihat dari balkon.

"Mama tadi baca berita dari grup WA. Ngeri banget, deh."

Dimas merasa tidak tertarik. Paling-paling juga berita kentang. Kemarin, Drupadi bersorak heboh dan memberi petisi agar Dimas dan Fian tidak makan bakso di luar. Tentu saja penyebabnya ada yang membagikan hoax di grup keluarga.

Kurang lebih, ini judul beritanya: Hati-hati, jangan makan bakso di warung Pak Kumis karena bikinnya pake celana.

"Lah, bikin bakso, kan, memang pake celana. Kalau bikin nggak pake celana, itu bakso pas jadi nambah dua," kelakar Dimas saat itu.

"Katanya, komunitas gay di Bandung tambah banyak, loh. Kamu bukan salah satunya, 'kan?" Dimas mengernyitkan dahi. Cowok itu melongo. Serius, deh, Dimas tidak tahu bagaimana cara pikir Drupadi.

"Ma, tolong. Aku masih normal."

"Ya maaf. Soalnya Mama lihat kamu cuma main sama tiga temen kamu itu. Mama, kan, takut kalau kalian terlibat sama salah satu perkumpulan itu."

Cowok itu mendelik. "Ma, aku memang single, tapi aku masih suka cewek. Cuma saat ini belum ada perempuan yang bikin aku tertarik. Lagian, Ricky itu punya banyak cewek. Syukron lagi jalan ldr. Risang juga dikejar-kejar sama cewek di SMA."

"Jadi, nggak banget kalau Mama ngira aku menyimpang," tukas Dimas menahan kesal. Wajahnya kini berubah masam.

Drupadi terkekeh. Melihat wajah kesal itu, barulah ia percaya.

"Besok papa pulang, loh." Drupadi mengalihkan topik pembicaraan, sekaligus memecah keheningan malam ini yang berhiaskan suara jangkrk.

"Emang kenapa?"

Drupadi tidak paham. "Kok gitu jawabnya?"

"Emang kalau papa pulang apa yang berubah? Dollar naik? Sembako murah? Atau bikin keadaan jadi canggung karena dia ngasih jarak antara aku dan dia?" cecar Dimas. Lirih tapi mengena.

Drupadi menatap lekat kedua mata anak itu. Sudah jelas dari pandangannya, ia mengisyaratkan sedang tidak baik-baik saja.

"Masih marah sama papa?"

"Papa nggak bisa menghargai apa yang udah aku lakukan dan itu kenyataannya, Ma."

"Sayang, papa cuma mau kamu berusaha buat jadi lebih baik. Papa sebenernya sayang sama kamu." Drupadi meyakinkan.

"Sayang? Dengan cara ngebandingin aku sama adik aku itu namanya sayang?!" sinis Dimas.

"Sayang, papa berbuat kayak gitu karena dia peduli sama kamu. Dia khawatir sama masa depan kamu."

"Tapi papa selalu marahin aku, Mah. Dia terus nuntut aku buat jadi yang dia mau." Dimas terus mencari pembelaan.

"Itu karena papa kamu peduli, Sayang. Coba, bayangin kalo papa cuek sama kamu."

"Nyatanya papa tetep cuek kok sama aku," ketus Dimas seraya membuang muka.

"Sayang, papa cuma—"

"CUKUP, MA!!" Drupadi terkesiap ketika Dimas menyentak seperti itu.

"Aku nggak mau berdebat sama mama. Aku sayang Mama. Aku eggak mau kita bertengkar gara-gara masalah ini." Dimas mengecup kening Drupadi sekilas.

"Maaf, Ma. Aku capek. Aku mau tidur dulu." Drupadi mengangguk setelah mendengar permintaan anaknya tersebut.

Drupadi bingung, ia tidak tahu harus berbuat seperti apa dalam situasi seperti ini. Hubungan ayah dan anak yang terus memburuk seperti itu terus mengganjal pikirannya. Sebagai seorang ibu, ia tidak bisa memilih salah satu pihak. Wanita itu menyayangi mereka berdua.

Semoga saja masalah ini segera selesai, harap Drupadi.

~~~

To be continued

07 Maret 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top