Romance Slap (10)
Serangkaian insiden tadi mengakibatkan Dimas tidak hadir di jam pelajaran pertama dan kedua. Bukannya merasa bersalah, cowok itu malah terus cengengesan. Andai saja bisa bolos seperti ini tiap hari. Dihukum merenovasi sekolah bersama mandor pun ia rela ketimbang belajar dan mendengar omelan guru tentang kenakalannya.
"Lu ngerjain apa?"
Ricky mendongak dan menemukan Dimas berdiri santai persis di depannya. Anak itu terlihat santai dengan ransel yang masih menggantung di pundak.
"Lu mabok lem tikus apa gimana? Jam segini baru masuk kelas."
Dimas tidak menanggapi. Ia melempar tasnya dan sukses mendarat di atas kursi.
Senakal-nakalnya Ricky dan Syukron, mereka masih prihatin dengan kehidupan sekolah mereka. Kedua anak itu sebisa mungkin melengkapi daftar hadir, walau tidak sepenuhnya paham dengan apa yang diterangkan di kelas.
Bandingkan dengan Dimas. Masuk kelas hanya pas ada keinginan saja. Itu pun harus disadarkan dengan video motivasi Mario Teguh. Bahkan saat di kelas, cowok itu hanya tidur menelungkupkan kepala, memandangi luar jendela, atau mengutak-atik layar ponsel.
Serius, deh. Ia selalu berangkat dan pulang dengan kepala kosong.
"Emang ada pr?"
Ricky mengangguk. "Ada pr geografi dari Pak Sofyan." Lantas cowok itu melanjutkan kembali aktivitas menyalin pr. Cowok itu juga tidak mengerjakan tugasnya sendiri. Ia menyalin jawaban yang sudah Risang garap. Bukannya malas, Ricky cuma menyukai dan ahli pada satu pelajaran. Bahasa Inggris.
"Gue lihat, dong!" ujar Dimas sambil merebut paksa catatan itu. Namun, satu tangan Ricky menahannya. Cowok itu melotot angker.
"Gue belum selesai!"
"Seenggaknya, kan, lu udah ngerjain beberapa. Gue belum sama sekali, Njir!"
"Pokoknya enggak!"
"Ricky! Pinjem, nggak?!"
"NGGAK!"
Kedua anak itu saling tarik menarik buku catatan. Tidak ada yang mau mengalah di antara mereka, hingga sebuah kepalan tangan mendarat di kepala keduanya dan mengakibatkan rasa sakit yang luar biasa.
"Aduh!"
Risang melotot sambil berkacak pinggang. "Kalian apa-apaan, sih? Nyontek ya nyontek aja. Nggak usah anarkis gitu," omel Risang.
Dimas dan Ricky saling diam mematung di tempat duduk. Melawan Risang yang sedang marah sama saja membangunkan singa dalam kandang. Bisa-bisa mereka dipiting hidup-hidup oleh cowok bertubuh kekar itu. Mereka sama-sama mengalah, meski masih saja tidak mau bersitatap.
"Selamat siang anak-anak!" Seorang laki-laki kurus berkepala botak dengan kacamata bulat tiba-tiba memasuki ruang kelas. Dimas terkejut setengah hidup. Sontak, cowok itu buru-buru melempar buku Risang ke meja belakang.
"Siang, Pak!"
"Hari ini ulangan, ya! Taruh tas kalian di depan. Tidak ada yang berada di atas meja kecuali selembar kertas dan alat tulis." ucap Pak Sofyan seenak jidat.
Beberapa murid terdiam cengo.
"Loh, Bapak nggak pernah bilang kalau bakal ada ulangan hari ini. Minggu lalu, kan, Bapak ngasih pr," protes Fenti tidak terima.
"Ya sudah kalau begitu. Bapak tinggal kosongkan nilai kalian." Tidak ada yang menyanggah setelah kata-kata itu terucap. Laki-laki itu tidak main-main dalam memberi ancaman. Bukan hal yang salah, toh sejak awal ia sudah memperingatkan murid agar belajar setiap saat agar tidak kaget menemui keadaan seperti ini.
Selain gemar memberikan ulangan dadakan, guru yang dikenal killer itu juga paling anti dengan siswa yang suka nyontek. Untung mengantisipasi hal itu, Pak Sofyan menukar posisi duduk anak-anak, sehingga mereka tidak bisa bekerja sama dengan teman dekatnya.
Keringat Dimas bercucuran. Suhu telapak tangannya mendadak turun. Tentu saja ia panik. Bagaimana tidak? Tiap diadakan ulangan mendadak atau tidak, nilainya tidak pernah sekalipun selamat wal'afiat. Kalau Sadewa dan Drupadi sudah mengomel, inilah dalihan yang sering Dimas pakai.
"Ulangannya mendadak."
"Materi itu belum diajarkan."
"Waktunya mepet."
"Gurunya muter-muter terus. Bikin nggak konsen."
Sebenarnya hanya ada satu sebab. Cowok itu malas belajar dan itu kuncinya.
Dimas menumpu dagu dengan kedua tangan, memandangi soal-soal di layar proyektor dengan tatapan sinis. Setelah itu beralih melirik ke lembar jawaban. Saat kepalanya menemukan sesuatu untuk ditulis, tangannya tertahan, lalu kembali lagi ke aktivitas pertama.
Kepalanya benar-benar terasa dikelilingi uap mendidih. Dari 10 soal yang disediakan, sama sekali tidak ada yang bisa Dimas kerjakan.
Dimas menjelajah posisi duduk kawanannya. Risang ada di bangku paling depan urutan kedua dari pintu. Syukron ada di barisan belakang paling ujung, sementara Ricky berjarak 2 bangku di belakangnya.
Posisi Dimas sendiri terletak di barisan dekat pintu nomor dua. Artinya, posisi Risang saat inilah yang paling menguntungkan. Apalagi cowok itu yang paling menjanjikan di antara ketiganya. Peernya sekarang adalah bagaimana cara membuat Risang menoleh tanpa disadari Pak Sofyan.
"Sang ... Risang." Dimas mencoba berdesis sepelan mungkin sambil memainkan tangan. Tatkala Pak Sofyan berkeliling, cowok itu pura-pura menggores pena di kertas.
Kalau sudah begini tidak ada jalan lain. Dimas mengeluarkan potongan kertas dari saku yang sudah ia siapkan, kemudian membaginya menjadi beberapa lipatan.
Kertas tadi ia tempatkan di jari tengah. Mata Dimas memicing, mengukur bidikan yang ia sasar. Dan ...
TUING
"Aduh!"
"Mampus!" umpat Dimas. Bukannya mengenai Risang, benda itu malah sukses mendarat di kening Pak Sofyan yang tengah melintas.
"SIAPA YANG LEMPAR KERTAS INI?" tanya Pak Sofyan. Nada suara yang frekuensinya bisa bersaing dengan lumba-lumba itu memenuhi seisi ruangan.
Beberapa murid berbisik sambil celingak-celinguk. Tidak ada yang berani menjawab pertanyaan Pak Sofyan. Dimas sendiri terus menunduk ke bawah, mulutnya komat-kamit, berharap tidak ketahuan.
Pak Sofyan tersenyum miring menyadari gelagat cowok itu.
"ADIMAS!"
Dimas menengadah ngeri. Laki-laki itu berdiri tepat di depannya. Kumis hitam terjuntai itu menambah kesan angker.
"Kamu, ya, yang lempar kertas ini?"
"Loh? Darimana Bapak bisa melempar tuduhan kalau itu saya? Memang Bapak punya bukti?" elak Dimas. Sebisa mungkin bersikap tetap tenang agar tidak dicurigai.
Pak Sofyan mengendurkan pandangannya. Mulai terlihat ragu.
Namun, seperti kata pepatah. Sepandai-pandai kelinci melompat, pasti akan disate juga.
Setelah dicermati kembali, Pak Sofyan menemukan kesamaan dari tulisan yang berada di lembar jawaban dan robekan kertas di genggamannya.
"Bukannya ini tulisan kamu?"
"Eee ... itu ...." Dimas tergagap.
"Keluar ke lapangan sekarang juga! Jangan kemana-mana sampai bel istirahat kedua berakhir!"
~~~
Dimas berdiri dengan satu kaki terangkat dan kedua tangan menjewer telinga. Masih ada waktu 15 menit sebelum jam istirahat benar-benar berakhir. Bukannya merasa bersalah atau kapok, cowok itu malah tenang-tenang saja.
Mendapat contekan syukur, dihukum juga tidak apa-apa. Artinya, dia bisa keluar dari kelas lebih cepat, 'kan? Pokoknya, benar-benar berpegang pada prinsip nothing to lose.
Dari kejauhan, Dimas bisa melihat ketiga temannya tengah asyik bermain voli di tengah lapangan. Sesekali mereka menertawakan nasib cowok itu karena harus dijemur di bawah terik matahari.
Kruyuk ....
Lambung Dimas berbunyi. Cacing-cacing di perut mulai berdemo meminta asupan. Cowok itu mendesah pelan. Takutnya kalau ia kabur ke kanting, Pak Sofyan datang tiba-tiba dan malah menambah jatah hukuman. Bisa saja ia dilaporkan ke kepala sekolah yang notabene adalah Sadewa.
"Mending gue ronda di lapangan ketimbang denger omelan papa," dumel Dimas.
Saat indera penglihatannya sedang fokus menjelajahi lapangan, seseorang melabuhkan benda tumpul di leher Dimas. Membuat cowok itu mengerang kesakitan.
"Ya salam! Lu lagi, lu lagi. Bisa nggak, sih tiap nongol jangan pake kekerasan? Emang lu anaknya Undertaker?"
Ara berdecak sebal. Ia masukkan kembali pulpen yang tadi digunakan untuk mencolok leher Dimas. Ia membuang muka, tapi tetap berdiri di tempatnya berpijak.
"Apa kamu?" sengak Ara.
Dimas mengusap wajah frustasi. "Lah, harusnya gue yang nanya begitu. Kenapa lu tiba-tiba dateng terus main tangan begini?"
"Kamu balas dendam sama aku? Sengaja bikin aku terlambat, terus bikin aku celaka? Kamu pengen aku celaka apa gimana?"
Ampun, deh ini cewek.
"Ya namanya orang juga kaga sengaja. Lagian, lu juga salah! Udah tahu lantai basah masih lari-lari aja. Lu itu cuma jatuh, nggak usah semarah itu seakan gue udah pecahin air ketuban lu. Masih untung juga gue tolongin."
"Nolongin?" Ara meraup muka frustasi. "Dengan nyeret kaki aku, terus pikul aku kayak karung panggul, abis itu ditaruh di gerobak sampah? Baju aku kotor dan badan aku sakit semua tahu!"
"Hah? Jadi, lu berharap gue gendong gitu? Heh, Mbak, nyadar diri kali! Lu itu berat. Udah sama kayak kuda nil," elak Dimas tidak mau mengalah.
Ara memandang Dimas dan melempar senyum meremehkan. "Selain cabul dan sksd, ternyata kamu itu cowok lemah, ya. Yah, udah ketahuan, sih. Badan cungkring kayak begitu mana kuat ngangkat beban berat."
Dimas mendelik. "Ini cewek kalau ngomong seenak jidat aja. Gini-gini, gue punya abs kali. Mau lihat?"
"Nggak minat. Tapi ... terlepas dari semua kelakuan kamu tadi, aku ucapin makasih karena kamu mau bantu jualin dagangan aku. Dan aku anggap semua urusan ini impas."
Ara mengeluarkan dua buah bakpau berukuran mini dari sakunya. "Ambil! Aku tahu kamu dihukum di sini daritadi. Pasti lapar, 'kan?"
Dimas merengut. Masa iya, setelah dimaki-maki ia menerima makanan itu begitu saja? Gengsi, dong!
"Lu lagi nyogok gue apa gimana?"
Ara menghela napas pelan. Cowok ini benar-benar keras kepala. "Kalau nggak mau yaudah. Lagian, aku cuma bermaksud baik."
Sebelum Ara beringsut, Dimas dengan cepat meraih tangan gadis itu dengan cengkeraman kuat. Untuk sesaat, mereka saling bertukar pandang. Ara berusaha melepaskan diri, tetapi Dimas malah makin mendekat.
Angin kencang yang berembus, membuat rambut Ara melambai dan menyapu wajah Dimas untuk sesaat. Kilasan itu terasa bagai menghentikan waktu. Jantung Ara terpompa cepat seketika.
"Gue nggak bilang kalau gue nolak, 'kan?" Ara mengangguk. Mendadak wajahnya pucat. Ia benar-benar tidak mengerti dengan dirinya saat ini. Seperti ada suatu perasaan aneh yang tidak bisa dijelaskan.
"Makasih." Dimas menyusuri kepala gadis itu, memberikan belaian lembut sebelum akhirnya ia berlalu meninggalkan Ara yang masih shock di tempat.
Seutas senyum tipis terbentuk di kedua sudut bibir cowok itu. Ternyata Ara memiliki sisi manis tersendiri. Ekspresinya kala itu membuat Dimas benar-benar lupa semua yang telah terjadi.
Coba kalau mulut sama kelakuaannya lebih beraturan. Pasti udah gue gebet.
~~~
To Be Continued
06 February 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top