Chapter 5 : Pertarungan Tiga Dewa
Bai Suzhen dalam bentuk ular meliuk-liuk menghindar di antara pepohonan. Serangan Dewa Taiyang sangatlah ganas. Ketika Bai Suzhen membuat perlindungan dengan sisik-sisik putihnya, sebuah energi cahaya berbentuk lingkaran formasi keemasan mengitari tubuh ular Bai Suzhen. Lingkaran formasi itu melayang di atas kepalanya lalu dalam detik berikutnya, melesat hujan api bagai bencana. Bai Suzhen sadar kalau ia bisa kalah jika tidak menghindar.
Ia pun segera mengubah dirinya menjadi manusia dan menjatuhkan diri ke tanah. Menggunakan selendang yang berubah jadi pedang, dengan cekatan, Bai Suzhen menepis setiap tetes hujan api yang menjatuhi dirinya dengan ganas. Bai Suzhen melompat keluar dari formasi lingkaran itu susah payah dan menghancurkannya dengan satu ayunan pedang penuh kekuatan.
Dewi Xiangshui tidak diam saja. Ia mengubah tanah yang dipijak Bai Suzhen menjadi lingkaran air. Bai Suzhen menunduk, kakinya hendak terjerat tali air yang dikendalikan Xiangshui. Ia berusaha menangkapnya. Jeratan energi itu cukup kuat. Bai Suzhen melempar pedang dan mengubahnya menjadi selendang untuk membawanya terbang ke atas sambil berputar. Meminjam tenaga dan melepaskan diri dari jerat tali air.
Melihat Bai Suzhen hendak membebaskan diri, Dewa Wuxing juga beraksi. Walau dari antara ketiga dewa, Wuxing adalah dewa yang memiliki kekuatan paling kecil, namun ia mengendalikan tanaman. Dengan sekali gerakan, Wuxing mengangkat tangan dan mengendalikan energi cahaya berwarna hijau untuk mencapai ranting-ranting pohon. Ketika Bai Suzhen hendak terbang menjauhi hutan, akar-akar pohon saling menjerat dan mengikat pinggang Bai Suzhen kembali.
Bai Suzhen menggapai kembali selendang dan mengubahnya menjadi pedang. Dengan cepat, ia menebas ranting di sekitar pinggangnya. Ranting-ranting itu tidak hanya satu. Bai Suzhen bertarung di udara, dengan kasar dan cepat menghalau seluruh batang ranting yang berusaha menangkapnya. Sesekali ia merasa kelelahan tapi ia tahu ia tidak boleh kalah.
Ketika melihat Bai Suzhen juga sedang kewalahan, Dewa Taiyang menggunakan kesempatan ini untuk mengeluarkan pedang matahari. Dari tangannya, sebilah pedang panjang yang bersinar kekuningan tergenggam apik.
"Kita tidak boleh membiarkan siluman ini melintasi Hutan Langit. Jika begitu, dia bisa saja mengacaukan Tanah Cahaya," sahut Wuxing yang terus mengendalikan ranting-ranting. Bai Suzhen terus menebas mereka dengan pedang secara brutal.
"Energi iblis itu rasanya aneh. Dia juga sebentar lagi kewalahan harusnya," kata Xiangshui.
Taiyang tidak berpikir begitu. Dalam sepengetahuannya, Bai Suzhen adalah siluman ular putih yang selama ini menjadi pelindung Mo Lushe di Tanah Iblis. Walaupun Mo Lushe belum mengibarkan bendera perang secara resmi, hanya dengan menurunkan Bai Suzhen si siluman ular putih, ucapan Dewa Wuxing tadi ternyata benar.
Mo Lushe pasti sudah memikirkan rencana untuk menyerang Istana Shanqi maka itu ia menurunkan Bai Suzhen sekarang. Hanya saja, Bai Suzhen adalah keturunan Iblis. Dia memiliki darah energi hitam. Bagaimana caranya bisa menembus Alam Perbatasan? Kalau Dewi Xiangshsui mengira siluman ini kewalahan, maka ia salah.
Justru siluman ini pasti sangat kuat dan ia menyiapkan basis kultivasi tinggi hingga mampu menembus Alam Perbatasan dan siap melawan mereka.
Sementara Bai Suzhen masih bertarung dengan ranting-ranting, ia mengeluarkan bola energi yang mengelilingi tubuhnya lalu meledakkan kekuatan itu untuk menghancurkan serangan ranting. Ia cukup berhasil. Ranting-ranting sudah banyak yang patah dan hancur. Namun dari tempat Dewa Taiyang, secercah sinar terang seperti meteor sedang melesat ke arahnya. Bai Suzhen menoleh, ia tidak sempat menghindar.
Energi itu menghantam punggungnya dan ia terjatuh. Terjerembab ke atas tanah. Bai Suzhen mengerang kesakitan. Sedetik, ia langsung bangkit karena ketiga dewa sudah terbang menuju ke arahnya. Dengan masing-masing kekuatan mereka—yang ternyata sangat di luar dugaan, Bai Suzhen harus mundur.
Ia terluka dan tenaga dalamnya tidak cukup untuk bertarung lagi.
Dengan segera ia memanggil selendangnya lalu mengubah dirinya menjadi ular besar. Menggunakan derik panjangnya, Bai Suzhen mengeluarkan suara melengking dan memekakkan telinga. Para dewa terjatuh sambil menutup kedua telinga mereka. Seiring Bai Suzhen berbalik, sepuluh tanduk di atas kepalanya ikut bergetar dan mengeluarkan cahaya kebiruan yang kemudian menembak ke arah ketiga dewa. Api meledak di depan mereka. Bai Suzhen segera berbalik dan berlari pergi.
Ketika Bai Suzhen menoleh, ketiga dewa masih mengejar. Walau mereka kelelahan, tapi tenaga mereka banyak. Bai Suzhen menatap ke depan, menembus ke dalam hutan semakin jauh. Tidak tahu arahnya ke mana, yang penting Bai Suzhen harus pergi menjauh lebih dulu.
Hanya saja, tenaganya sudah terkuras habis. Matanya sedikit kunang-kunang dan ia merasa ingin pingsan. Ular Bai Suzhen melata dengan gerak cepat. Melintas di antara semak-semak dan daun. Derik sisik menggesek di setiap ujung daun yang bergoyang. Sinar matahari masih menerangi permukaan sisik putih Bai Suzhen yang berkilau.
Dalam sisa tenaga, Bai Suzhen berlari sejauh mungkin, semampu mungkin
*
Sambil mengejar, tiga dewa terus mengeluarkan kekuatan. Bai Suzhen dengan lincah meliuk menghindar. Dari rimbunan pohon, tebing tanpa tumbuhan, langit biru dan kehijauan tanpa awan, Bai Suzhen sudah melewatinya lebih dari dua jam. Bai Suzhen sudah hampir kehabisan napas kalau ia tidak bisa menemukan tempat persembunyian juga. Otaknya selagi melarikan diri selalu berpikir. Dengan mata birunya, ia menjangkau penglihatan lebih jauh untuk menemukan tempat memungkinkan untuk bersembunyi. Bai Suzhen bisa saja berubah menjadi ular lagi, tapi transformasi itu butuh satu detik dan ia tidak mau risiko tertangkap menjadi lebih besar. Bai Suzhen hanya bisa memanfaatkan tanaman rindang dan besar untuk menutupi jejak.
Ketika ia melintasi dataran tinggi yang tertutup hutan lebat, Bai Suzhen tanpa sengaja melewati sebuah segel Alam Perbatasan lagi. Dari kejauhan, para dewa berhenti dan mengendus aroma ular putih.
"Aneh sekali. Sekarang dia sudah berubah menjadi wujud manusia. Tapi aku kehilangan posisinya," sahut Wuxing. Menggunakan kemampuannya yang mampu mengenali aroma apapun, ia memberi informasi ke kedua teman dewanya.
Dewi Xiangshui terlihat lebih panik. "Kalau begitu kita harus memberi kabar ini kepada Pelayan Chi di Istana. Setidaknya supaya ia memberitahu Dewa Shanqi kalau kita kedatangan penyusup!"
"Tidak bisa," sahut Taiyang tegas. Kalau lagi serius, mau disebut dewa tua pun ia rela. Karena tidak ada yang bisa menepis fokusnya selain iblis. "Kita harus mencari lagi. Tidak mungkin kita dikelabuhi oleh seekor ular saja," kata Taiyang tidak terima. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, berharap menemukan petunjuk di antara hutan lebat di sekitar dataran tinggi.
"Dia bukan ular biasa. Dia penjaga Mo Lushe. Sudah bisa melewati batas alam saja memberitahu kita kalau ia punya basis kultivasi tinggi. Kita harus berhati-hati dan sebaiknya melaporkan ini ke Istana, Taiyang," sahut Wuxing tenang.
Taiyang menghela napas panjang. "Baiklah. Kalau begitu kalian lapor. Aku akan berjaga di sini. Kita sudah mengejarnya hampir dua jam. Dan sekarang sudah tiba di Gunung Kunlun. Seharusnya aku bisa memberitahu Dewa Kunlun untuk berjaga-jaga dan memantau kalau-kalau siluman itu lewat sini."
Saran Taiyang diterima. Wuxing dan Xiangshui pun kembali memanggil awan dan terbang di atas gumpalan itu supaya lebih cepat pergi ke istana.
Di tengah kejaran, Bai Suzhen tidak menyadari kalau dirinya sudah terputus dari petunjuk. Ia berguling di tanah di antara semak-semak rumput dan beristirahat sebentar.
Mereka kehilangan jejak?
Bai Suzhen mengintip dari balik batu besar. Tidak ada petunjuk apa-apa di sekitar hutan. Semuanya hening dan sepi. Setelah ia perhatikan lebih detail, ternyata hutan ini cukup berbeda dari hutan sebelumnya.
Ia mengangkat kepala, melihat ke atas langit kalau langit kebiruan tadi sudah berubah menjadi hitam dan gelap. Matahari berganti menjadi bulan sabit besar menggantung di atas. Bai Suzhen menduga kalau ia pasti tiba di tempat baru.
Ketika ia ingin keluar dari tempat persembunyian, tiba-tiba sebuah cahaya kecil berkumpul mendatangi depan wajahnya. Bai Suzhen terkejut. Ia hendak menepis energi, tapi cahaya kecil seperti peri-peri itu semakin mendekat dan tertawa-tawa.
Bai Suzhen menyipitkan mata. Memandangi cahaya yang adalah peri-peri kecil yang sedang tertawa.
"Eh, eh, lihat dia. Bukankah wajahnya sedikit aneh?"
"Benar, benar. Kenapa... kenapa di wajahnya ada sisik-sisik putih begitu?"
"Eh, bukankah dia..." peri itu mengendus-endus menggunakan hidungnya.
Peri-peri yang lain kemudian melotot. Bai Suzhen tidak ada waktu untuk meladeni mereka. Peri dalam catatan di ruang terlarang adalah makhluk kecil tidak memiliki kekuatan. Mereka hanya 'menumpang' hidup di sebuah tempat. Kadang-kadang mengumpulkan energi murni dari udara untuk di antar ke dewa. Namun, jika ada peri di sekitar sini, itu tandanya ada dewa lain...
Ketika Bai Suzhen mengibaskan tangannya untuk menepis sekumpulan kelompok peri itu, dari kejauhan—tepatnya di dekat tebing yang ada di samping hutan, Bai Suzhen mengintip dan mendengarkan Dewa Taiyan sedang bicara.
Para peri berbisik-bisik lagi sebelum pergi. Karena khawatir para peri itu melaporkan pada dewa, ia pun mengeluarkan kekuatan untuk membuat kabut tipis dan menahan kumpulan peri itu di dalamnya. Para peri protes, tapi Bai Suzhen mendesis menyuruh mereka diam.
Di atas tebing itu, Bai Suzhen bisa melihat dengan jelas Dewa Taiyang yang memakai pakaian putih dengan pinggiran kainnya yang berwarna keemasan, berdiri menunggu seseorang. Rambutnya sudah putih dan ada satu kumis panjang yang menggantung di atas bibirnya. Di tangannya, dewa itu memegang tongkat emas. Di bibir tebing, sebuah bayangan lain muncul.
Sesosok pria bertubuh ramping dan tinggi, memakai pakaian sutra biru dan putih. Rambutnya digulung dan diikat menggunakan tali perak keemasan. Cara berjalannya sedikit elegan dan di atas kepalanya terdapat mahkota giok yang menyatu dengan ikat rambutnya. Di samping pria itu, seekor burung dengan ekor berbulu panjang mengepakkan sayapnya dari udara lalu hinggap di pundaknya.
Pria itu menghampiri Dewa Taiyang. Dari kejauhan, ia bergumam pelan, "Dewa Taiyang, tidak ada siluman putih yang berani masuk ke Gunung Suci. Jika pun ada, aku bisa merasakannya."
"Namun dia berbeda, Xianlong," ujar Taiyang sedikit ragu. "Kami sudah melawannya dan dari tubuhnya ada banyak sekali energi cahaya. Aku rasa, dia bukan sembarang iblis. Melainkan Iblis setengah dewa. Seperti yang pernah Dewi Bulan katakan pada waktu dulu..."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top