Chapter 4 : Laut Awan
Secercah sinar terang menembus kelopak matanya. Di atas tempat Bai Suzhen berbaring, ia merasakan air meresap ke sekitar belakang kepala dan rambutnya. Sebagian bajunya terasa basah, namun yang lebih aneh, tubuhnya merasa hangat sekaligus segar. Perlahan-lahan Bai Suzhen membuka mata, sebuah cahaya menyiram seluruh penglihatannya.
Awalnya cahaya itu nampak putih seluruhnya, namun ketika beberapa detik mengerjap untuk menyesuaikan kondisi, mata Bai Suzhen menangkap pemandangan luas di depannya.
Di tanah tempatnya berbaring, air nampak jernih seperti kaca. Permukaannya bahkan tidak cair. Melainkan beku seolah ada tanah bening di atasnya. Bai Suzhen mendongak, melihat sinar bulat terang di atas kepalanya dengan laut awan putih mengelilingi sinar bulat itu. Ketika Bai Suzhen memandangi sinar bulat itu, perlahan-lahan darah dari dalam jantungnya mendapat kekuatan. Energi cahaya yang selama ini tidur mulai berkumpul di sekitar jantung dan mendesak keluar.
Seketika jantung Bai Suzhen terlonjak, ia terbatuk.
"Ini di mana? Bukankah harusnya aku jatuh ke Langit Giok?" Bai Suzhen bergumam, mempertanyakan situasi asing yang mengitarinya. Ia bangun, baju dan rambutnya memang basah, tapi ia tidak merasa terganggu karena sesekali angin berembus pelan. Membawa kesejukan yang terasa asing.
"Apakah itu... Matahari?" Bai Suzhen masih memandangi sinar bulat di atas kepalanya. Bertanya-tanya sendiri.
Selama tinggal di Tanah Iblis, langit ditutupi oleh awan tebal hitam. Sekalipun tidak berawan, akan ada asap tebal yang membentuk kaca hingga langit di Tanah Iblis hanya berwarna hitam keunguan. Tidak pernah sekalipun makhluk di Tanah Iblis pernah melihat Dewa dan Dewi Suci dari lapis langit suci di dunia. Seberkas cahaya bagi mereka seperti kutukan. Apalagi matahari. Namun ketika Bai Suzhen memandangi matahari, entah kenapa ia seperti mendapat energi baru.
"Kau menggunakan darah dewa cahaya untuk membuka segel ruang terlarang. Di dalam tubuhmu... energi murni cahaya sudah menguasaimu."
Apakah kata-kata Guru benar? Apakah...
Bai Suzhen mengangkat kedua tangannya, merasakan darah di dalam tubuhnya saling menyatu seolah membentuk kekuatan baru.
Tidak mungkin.
Ia mengepalkan tangan dan kembali bertekad. Kalaupun ia memang keturunan dewa, maka ia akan memikirkan cara untuk mengeluarkan energi cahaya ini. Sejak bertemu Mo Lushe, nyawa Bai Suzhen adalah miliknya. 2025 tahun yang lalu, saat Bai Suzhen dan Hei Suzhen masih berupa jiwa roh yang lemah dan kosong, mereka terjebak di Hutan Iblis dan nyaris mati karena tidak bisa mencari makan.
Saat itu hanya Mo Lushe yang datang menolong dan membawanya ke Istana Hei. Mendaftarkannya ke akademi istana dan hidup di bawah pengawasan Mo Lushe secara langsung. Ketika remaja, Bai Suzhen baru tahu kalau Mo Lushe adalah Guru sekaligus Ratu Iblis terkuat di dunia. Bersama-sama Hei Suzhen, ia berlatih dan belajar teknik-teknik bela diri dan menguasai kekuatan.
Dengan segala yang telah ia lewati bersama Mo Lushe, Bai Suzhen tidak akan berkhianat begitu saja. Melainkan...
Bai Suzhen memandang berkeliling. Sejauh mata memandang, hanya ada lantai kaca berair dan matahari menggantung di antara langit kebiruan dan hijau di sekitar laut awan. Ia pasti sudah terjatuh dari laut awan dan selamat dari kehancuran jiwa.
Lantai kaca air ini teksturnya seperti tanah, namun kenapa dirinya masih selamat dan sama sekali tidak terluka? Terlebih, kenapa dia malah jatuh ke sini bukannya ke Langit Giok?
Setahu Bai Suzhen, walaupun dia belum pernah keluar dari Tanah Iblis—setiap orang yang jatuh dari Laut Awan yang tebal, jiwanya akan terdeteksi segel perbatasan alam yang dibuat oleh Tanah Cahaya lalu dirinya akan dibawa ke Langit Giok untuk dieksekusi oleh Hakim Jiwa. Entah akan dimasukkan ke penjara atau dimusnahkan. Mereka memiliki banyak cara untuk memusnahkan iblis, tapi kenapa Bai Suzhen malah selamat dan terjatuh di antah berantah ini?
Dengan langkah ragu, Bai Suzhen berjalan menuju matahari. Walau ia tidak tahu apakah akan menemukan jalan baru di antara lapisan tanah kaca ini, yang penting keluar dari sini dulu.
Beberapa menit berjalan, Bai Suzhen menemukan gulungan awan putih yang menutupi sesuatu. Ia berlari mendekat dan ternyata di balik gulungan awan itu, tersembunyi rimbunan pohon. Itu pasti jalannya. Bai Suzhen menembus awan dan memasuki kabut tipis yang mengantarnya ke tanah rerumputan. Batas tanah kaca tadi terpisah oleh kabut tipis. Bai Suzhen melangkah masuk ke dalam hutan dan menemukan beragam bunyi-bunyi aneh yang belum pernah ia dengar.
Kalau dulu di Hutan Iblis, Bai Suzhen hanya mendengar gumam burung hantu dan kepakan kelelawar melintas di antara hutan. Sesekali desau tipis angin dingin membawa aroma kesepian di mana-mana. Sementara di sini, hutan itu nampak cerah dan berwarna. Semua rantingnya sehat dan cokelat. Daun-daun tumbuh memenuhi rantingnya, menyembulkan bunga-bunga aneka warna. Di sekitar bunga itu ada makhluk aneh yang terbang dan mengitarinya.
"Apakah aku ada di Tanah Cahaya?"
Bai Suzhen teringat catatan yang ia baca dari ruang terlarang.
Tanah Cahaya penuh kehangatan, Tanah Iblis penuh kebekuan. Mereka seperti dua dewa suci yang saling berlawanan.
Seketika ia langsung merasa waspada. Jika ia benar ada di Tanah Cahaya, maka sebentar lagi akan ada dewa yang mendatanginya. Tepat ketika ia berpikir begitu, dari kejauhan, terdengar suara-suara di antara dedaunan. Bai Suzhen merapatkan dirinya ke batang pohon besar lalu bersembunyi sambil menguping.
"Aku heran kenapa Dewa Shanqi tidak memanggil Putra Mahkota saja dan meminta kembali Cahaya Roh yang pernah ia berikan. Dengan begitu kita tidak perlu khawatir dan cemas jika seandainya Mo Lushe datang untuk menyerang istana..." ujar seorang pria dengan suara cempreng.
"Taiyang, kau jangan memihak Dewa Shanqi terus. Memang benar kalau ia mengambil Cahaya Roh kembali dari Putra Mahkota ia bisa pulih cepat. Tapi nasib Putra Mahkota bagaimana? Para manusia di dunia mortal sangatlah lemah. Kaisar Yu Huang juga masih dalam masa tertutup dan belum sepenuhnya pulih dari kesedihan yang mendera dirinya setelah Permaisuri Langit meninggal. Kalau Cahaya Roh diambil, maka Putra Mahkota bisa meninggal juga. Itu malah membuat Kaisar Yu huang semakin sedih," ujar seorang wanita.
Bai Suzhen terus mendengar obrolan mereka semakin dekat dan jelas. Dalam catatan di ruang terlarang, disebutkan bahwa Dewa Shanqi memiliki tiga dewa pelindung terkuat yang selalu bersama-sama. Bai Suzhen menduga kalau wanita yang bicara tadi adalah Xiangshui.
"Tapi ini sudah dua puluh lima tahun. Masa iya kita masih harus menunggu Dewa Shanqi melepas kultivasi tutupnya baru menyiapkan pasukan? Sejak semalam, aku sudah menghidu aroma dingin yang terus-menerus berdatangan dalam mimpiku. Seolah-olah aku bisa tahu kalau akan ada kejadian besar yang menimpa Tanah Cahaya." Kali ini suara berat dari seorang pria.
Dugaan Bai Suzhen benar.
Ini adalah Tanah Cahaya, dan tiga orang yang bicara tadi adalah Santian. Tiga dewa pelindung Shanqi.
"Eh, Dewa Wuxing, kau jangan berlebihan begitu. Aku tahu kau membela para manusia, tapi kita tidak bisa mengemban semua beban kepada Dewa Shanqi. Bagaimana pun, kita tunduk padanya supaya Dewa Suci bisa membantu kita lagi," ujar Taiyang.
"Memangnya kau tahu kapan Dewa Suci membantu kita?" tanya Wuxing setengah meremehkan.
"Aku sebagai Dewa saja tidak tahu, bagaimana kau?" sembur Xiangshui.
Taiyang membela diri. "Loh, memangnya aku ini bukan Dewa?"
"Kau ini pria tua, bukan dewa," ujar Xiangshui diiringi tawa Wuxing yang berbunyi seperti terompet.
"Kalian ini, selalu saja meledek yang lebih tua! Awas ya!'
Bai Suzhen tidak mau kehilangan kesempatan. Di saat ketiga dewa penjaga itu sedang lengah, ini adalah momen yang tepat untuk menyerang mereka. Jika ia bisa mengalahkan Santian, dengan begitu ia bisa langsung menembus ke Istana Shanqi untuk membunuh dewa itu.
"...kemari dewa tua... tunjukkan cahaya petirmu itu dong... wlelele.."
Dari balik pohon, Bai Suzhen melepaskan selendang putih. Ujung kain selendang melesat di udara lalu berubah menjadi pedang ketika tepat ia terbang ke muka Xiangshui—sosok yang paling dekat dengan posisi itu. Wuxing dan Taiyang tidak menyadari, tapi hembusan angin yang membawa pedang membuat Xiangshui langsung menoleh dan dengan gesit melompat menghindar.
Bai Suzhen kembali memutar pedang yang gagal menusuk target, dengan tenaga dalamnya, ia memecah energi dan membuka kelima jarinya untuk melepaskan jurus kedua—transformasi pedang. Taiyang dan Wuxing tidak diam saja. Ia menoleh ke arah Bai Suzhen dan terkejut.
"Siapa kau?!"
Tiga pedang putih Bai Suzhen melesat dari belakang ketiga dewa. Mereka dengan lincah menghindar. Bai Suzhen menyatukan energi dari dalam jantung lalu sisik-sisik putih muncul seirama pedang itu kembali ke bentuk selendang. Selendang putih mengitari tubuh Bai Suzhen dan dalam lingkaran cahaya terang, sosoknya berubah menjadi ular putih.
Ketiga dewa membelalak. Mereka sama-sama berseru. "Bai Suzhen?!"
Bai Suzhen membuka mulutnya lebar, menunjukkan kedua taring ularnya. Matanya yang biru menatap ketiga dewa, sisik putihnya berkilau. Di antara kepalanya terdapat sepuluh tanduk runcing bagai mahkota. Tubuhnya meliuk dan lidah bercabangnya menjulur.
"Bagaimana dia bisa menembus segel alam perbatasan?" seru Xiangshui panik.
"Tidak tahu. Sekarang, kita harus menahannya lebih dulu." Taiyang mengeluarkan lingkaran emas dari tangannya. Sebuah energi besar dan bercahaya mengelilingi mereka. Bai Suzhen bergerak ke samping dan menepis energi berwarna keemasan itu dengan tanduk di kepalanya dan mendesis panjang.
Dalam hati Bai Suzhen, bagaimana pun caranya, ia harus membunuh ketiga dewa ini.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top