Chapter 19 : Tiga Sekte Besar

Seketika duel cepat itu terjadi. Mo Lushe dan Hei Luna adalah dua murid kebanggaan terkuat didikan Hei Lixu. Raja Iblis dan penguasa Tanah Iblis sepuluh ribu tahun yang lalu. Sosok Hei Lixu sudah lebih dari sebuah legenda. Ia adalah Raja yang selamanya menjadi ajaran, ideologi dan anutan semua makhluk di Tanah Iblis. Kekejaman dan rencana untuk mengekspansi wilayah serta dendam yang Hei Lixu tanamkan dalam pesan-pesan masa lalunya adalah bekal yang terus disimpan kedua murid itu.

Mo Lushe mengeluarkan seberkas cahaya hitam lalu sebuah tongkat hitam pekat dengan dua kepala ular melingkar di ujungnya muncul. Hei Luna tidak kalah. Ia mengayunkan tongkat kepala ularnya lalu tongkat itu berubah menjadi ular putih yang meliuk dan dengan cepat melata ke arah kaki Mo Lushe.

Dengan satu entakan, Mo Lushe terbang ke udara dan menggunakan kedua tangan, ia melucutkan kekuatannya untuk menepis ular putih itu. Dari tempatnya berdiri, Hei Luna mengendalikan ular itu. Menggunakan satu tangan, Hei Luna membawa ular itu meliuk lalu ujung ekornya berubah perak dengan pinggiran tajam seperti pedang. Mo Lushe melihat di ujung ekor ular putih itu terdapat aura-aura racun berwarna ungu.

Mo Lushe berdiri dengan tangan kanan memegang tongkat dan satu tangan menghadang ke depan. Ia tersenyum miring. "Memakai senjata Guru yang paling lemah, ya? Tidak berguna."

Gerakan Mo Lushe secepat kilat. Ia mengentakkan cahaya hitam ke arah ular. Namun kekuatan itu mengenai tanah kosong. Mo Lushe tidak menduga serangan berikutnya. Ular putih itu berderik panjang, membuka mulutnya hingga dua taring kecil terlihat. Lalu dengan liukan yang lincah, ular itu menarik ke kakinya dan melingkar di sekitar badan.

Giliran Hei Luna yang tersenyum. Jari telunjuk dan tengah mengendalikan ular. Ia mengangkat ekor ular, kepala ular putih itu menatap ke muka Mo Lushe yang terjepit. Para pengawal di belakangnya bertahan. Mereka tahu Mo Lushe tidak akan suka jika duelnya di interupsi. Mereka semua mengerut cemas dan mencengkeram senjata erat-erat seolah siap jika disuruh menyerang sekarang juga.

Namun mulut Mo Lushe terkatup rapat. Ini belum saatnya. Ia menatap ular putih yang berderik sementara badan ular yang melingkar di tubuhnya mulai mengimpit jantungnya.

"Meminta prajurit Sekte Ular sementara kau masih tidak kapok dengan melanggar aturan Guru? Apa kau tidak malu?" sahut Hei Luna.

"Cih, melanggar aturan apa?"

"Kalau kau bilang aku yang berkhianat padamu, justru kaulah yang berkhianat pada Guru! Kau menyimpan siluman berdarah dewa cahaya dan membesarkannya dengan Pusaka Iblis! Kau pikir itu bisa diterima Guru?"

Mo Lushe tertawa kecil. Tawa mencibir. "Lalu kenapa? Apa sekarang kau akan mengadili aku untuk hal itu? Semua orang sudah tahu kalau dia memang punya darah aneh. Namun aku justru hanya akan memanfaatkannya untuk membiarkan energi cahaya menopang Pusaka Iblis. Menyatukan kekuatanku supaya aku bisa menggunakannya untuk membunuh Shanqi. Kau tentu tidak akan pernah berpikir begitu, bukan? Kau pikir hukum dua energi ini omong kosong?

"Siapapun yang dapat menaklukan energi menggunakan kekuatan yang lebih besar, maka mereka yang memiliki kendali. Kau sama sekali tidak paham masalah ini, bukan?" sahut Mo Lushe menaikkan kedua alisnya. Diam-diam, jarinya bergerak membentuk lekuk dan formasi kecil untuk melepaskan diri. Hei Luna mengerutkan dahinya.

"Apa? Jadi kau menggunakan pusaka itu untuk menarik energi cahaya?" seolah baru paham rencana Mo Lushe selama ini menjaga Bai Suzhen.

"Benar. Apa kau percaya padaku sekarang?"

Hei Luna bergeming. Ia menahan kekuatannya lalu dua detik berikutnya ia menarik tangan dan cengkeraman ular putih melonggar. Ular itu kembali tertarik dan berubah menjadi tongkat kepala ular.

Mo Lushe menepuk-nepuk bajunya seolah terkena debu. Ia menatap Hei Luna puas.

"Kenapa kau tidak pernah menjelaskan ini secara langsung?" ujar Hei Luna sedikit keras.

"Kau sendiri tahu, sejak dua ribu tahun yang lalu aku memberikan setengah kekuatanku dan menjadikannya Pusaka Iblis yang kemudian ditanamkan pada jantung kedua muridku, aku kehilangan banyak tenaga. Aku mana sempat memberikanmu kabar selama kultivasi tertutupku? Hingga kau dan dua sekte lainnya beranggapan hal lain."

Hei Luna melengos. "Walaupun kau berhasil menyimpan rahasia bahwa ia keturunan dewa, tidak memungkinkan jika ia tidak beralih. Kau jelas tahu bahwa kau sendiri tidak bisa mengendalikan energi cahayanya."

"Aku bisa," sambar Mo Lushe cepat.

"Kalau begitu, kenapa masih butuh prajurit Sekte Ular? Aku memang ingin mengalahkanmu dan melakukan kudeta untuk menyingkirkanmu dari tahta. Namun aku masih sadar kalau kesalahanmu terhadap Bai Suzhen masih kunantikan."

"Kau nantikan?" Mo Lushe mencibir, "Bai Suzhen bukan kesalahan. Dan dia akan mematuhi perintahku."

"Sadarlah. Semua orang tahu kalau Bai Suzhen terjatuh entah kenapa. Kau mengirim Hei Suzhen berharap mendapat kabar. Coba kau lihat sekarang? Apa kau sudah mendapat jawabannya? Ketika kau mengirimkanku surat untuk meminta prajurit Sekte Ular untuk berperang, aku berpikir kalau rencana bodohmu ini pasti hanya akan sia-sia. Terlebih, kau masih belum mendapatkan Cahaya Roh."

Mo Lushe bersedekap, "kalau begitu, apa kau bisa mendapatkan Cahaya Roh? Kau utus prajurit terbaikmu. Kalau kau bisa merebut Cahaya Roh lebih dulu daripada aku, mungkin aku akan mengakuimu."

"Lalu memberikan tahta?" sebelah alis Hei Luna menaik.

"Apa yang kau dambakan dari sebuah tahta selain membuat Guru bangga, Luna? Kau sama sekali bukan pilihannya."

"Apalagi selain kemakmuran untuk Sekte Ular? Kau melarang anak-anak Sekte Ular berlatih di akademi di istana. Bahkan semua sekte dilarang berlatih di sana! Kau takut apa? Takut kami mencuri ilmu kultivasimu itu?"

"Aku sudah bilang kalau aku takut kalian semua membocorkan keberadaan Bai Suzhen! Apa kau sadar betapa pentingnya dia? Ketika aku menemukannya dua ribu tahun yang lalu, di Hutan Iblis, aku mencium aroma hangat yang begitu menggiurkan. Ingin sekali aku menguras darahnya dan membawanya untuk kultivasi kekuatanku sendiri. Tapi ketika aku sadar kalau dia bukanlah jiwa biasa, aku tahu kalau ini adalah kesempatanku untuk meramu beragam penangkal untuk Shanqi." Mata Mo Lushe menatap jauh ke atas awan seolah ia sedang menyaksikan peristiwa lampau itu kembali di depan matanya.

"Kalau tujuanmu Shanqi, maka itu sia-sia. Terakhir kali kau menyerangnya, Dewa Matahari membantunya. Apa kau tidak berpikir itu sia-sia?"

"Tidak jika aku memiliki Cahaya Roh," sela Mo Lushe dingin. Ia menatap Hei Luna yang bergeming. Para pengikutnya memasang ekspresi kosong. Seolah alasan kenapa mereka tidak diizinkan mengikuti akademi di istana terdengar konyol sekaligus masuk akal.

Selama ini Akademi Hei hanya untuk orang-orang di dalam istana dan di sekitar hutan. Mereka mengetahui kenyataan soal Bai Suzhen. Nanun siapapun yang membocorkan itu, ia akan terkena hukuman. Tak ada yang berani menyinggungnya dan mereka semua berpura-pura tidak tahu. Hanya saja, para dua sekte lain malah ingin memanfaatkan ini dan Mo Lushe menutup istana dari pelajar umum demi melindungi Bai Suzhen dan rencana busuk kedua sekte tersebut.

"Apa yang akan kau lakukan dengan Cahaya Roh itu?" tanya Hei Luna.

Mo Lushe berbalik sambil mengangkat tangan. Menyuruh para prajurit yang tadi hendak mengawalnya untuk kembali.

"Kau mau tahu? Aku bisa memberitahumu. Asal kau tidak lagi berkudeta dan memahami posisiku sekarang," ujar Mo Lushe sambil berputar lagi menghadapnya. Tatapan Hei Luna melunak beberapa saat. Mo Lushe tahu kalau teman masa kecilnya itu bukan tipe pendendam.

Selama memimpin Sekte Ular, Hei Luna cenderung adil dan merakyat. Ia mendidik banyak jiwa-jiwa dan melatih mereka kultivasi sambil tetap meneruskan reputasi Gurunya.

Dua sekte lainnya; Sekte Tulang Putih dan Sekte Kesesatan selalu punya cara sendiri untuk memasuki Istana Hei. Mereka juga sama menginginkan kekuatan besar. Namun selama ini Mo Luse dan pengawalnya tahu kalau mereka hanya ingin nama sekte mereka tidak kalah dari Sekte Ular. Pertikaian dan perebutan harga diri atas nama sekte sampai sekarang membuat ketiga sekte besar itu perang dingin.

Membuat Mo Lushe selalu berjuang sendiri dalam usahanya untuk membunuh Dewa Shanqi. Namun, setelah ia melihat keyakinan Hei Luna—sang ketua Sekte Ular mulai berpihak padanya, ia tidak ingin menyia-nyiakan itu. Terlebih, sampai hari ini ia belum mendapat informasi baru dari Hei Suzhen. Entah apa yang terjadi dengannya di Langit Giok, namun Mo Lushe yakin kalau anak muridnya itu tidak akan sebodoh Bai Suzhen.

Sampai sekarang, Mo Lushe tidak bohong kalau ia tidak cemas terhadap Bai Suzhen. Pusaka Iblis menjadi kunci utama untuk menemukan Cahaya Roh. Kalau bukan karena ketidaksengajaannya membuka Ruang Terlarang, mungkin Mo Lushe masih sempat menarik Pusaka Iblisnya lebih dulu tanpa memberitahu energi cahaya dalam tubuhnya.

Dengan begitu setidaknya Bai Suzhen tidak menolak mati demi dia.

"Aku setuju. Namun, berikanlah kesempatan untuk anak-anak di Sekte Ular masuk ke Akademi Hei. Dengan begitu, aku akan percaya padamu dan membantumu. Dan tentu saja, asal kau mendapatkan Cahaya Roh."

Mo Lushe tersenyum manis. "Tentu saja. Ketika Bai Suzhen ditemukan, maka Cahaya Roh akan ada di tanganku. Dan Shanqi, akan hancur bagai debu. Sama seperti apa yang ia lakukan terhadap Guru sepuluh ribu tahun yang lalu."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top