O. Sebelum
[ ... ]
30 Mei xxxx
ATR Studio, Jakarta.
Perempuan itu berlari dengan semi-hard case yang berada di punggung. Tangannya sesekali membenarkan rambut yang menutupi jarak pandang, sampai membuatnya tersandung kaki sendiri, dan batu-batu yang berada di depan studio musik. Telapak tangan menyentuh knop pintu, kemudian mendorongnya ke dalam. Artha menunjukkan cengiran di wajahnya saat melihat teman-teman dan laki-laki itu tengah berbincang di depan meja panjang berwarna olive green.
Saat pintu terbuka, semua orang yang berada di dalam studio menoleh kearahnya dengan alis yang terangkat. Terdengar suara erangan kesal dari sudut studio, suara decakan kesal, dan juga suara helaan napas berat saat melihat dirinya masuk kedalam studio. Cengiran yang sebelumnya terpasang di wajahnya perlahan surut di gantikan senyum tipis.
"Sorry.."
"It's okay, come." ujar laki-laki itu dengan tangan kiri yang tergerak kedepan menyuruh perempuan itu masuk. "Tutup pintunya."
Perempuan itu mengangguk, menutup pintu menggunakan kaki setelah itu duduk di sebelah laki-laki itu seraya melepas semi-hard case dari punggungnya. Meletakkan benda itu dengan hati-hati, ia duduk memepetkan kursi kayunya pada kursi laki-laki itu setelahnya menyenderkan kepalanya pada lengan laki-laki itu.
Laki-laki itu dan timnya membahas sesuatu yang membuat perempuan itu penasaran. Melirik laki-laki yang berada di sebelahnya, ia memperhatikan raut wajah serius dari wajah itu. ia selalu menyukai semua yang ada pada laki-laki itu, terlebih raut wajahnya yang sedang serius, ia benar-benar menyukainya.
"Jadi setuju ya, tanggal satu nanti kita isi acara di taman kota." Ujar laki-laki itu dengan melingkari sederet kata yang di awali angka satu menggunakan pulpen yang ada di genggaman.
"Ya mau gimana lagi, kemarin 'kan ada yang balas email tanpa di rundingin dulu." Sindir Marko dengan melirik kearahnya, menyadari arah pembahasan rapat hari ini, membuatnya menunduk karena merasa bersalah, benar-benar merasa bersalah.
"Sorry.." ucapnya sekali lagi. "Tapi.., aku setujuin itu karena acaranya punya tujuan baik, jadi.." ucapannya terhenti saat sebuah tangan yang sebelumnya menjadi tempat bersandar beralih fungsi untuk merangkul dirinya dengan tangan laki-laki itu yang mengusap lengannya lembut.
"Elah, bisa nggak sih lo jangan ceroboh? Sumpah deh, udah kesekian kali lo begini masalahnya, kalau ada apa-apa itu di rundingin dulu, lo bukan manager disini, lo sama kayak gue dan yang lain!" ucap Arbani mengeluarkan semua unek-unek yang selama ini Arbani simpan di dalam kepala.
"Udahlah, kalian ini! dia 'kan sudah minta maaf sampai dua kali hari ini." lerai laki-laki itu.
"Bukan gitu Dro, sesekali lo harus tegas lah, dia selalu approve event tanpa diskusi dulu sama kita semua!" kesal Bani dengan jari yang menunjuk kearah perempuan itu. Tangan Andro terangkat menurunkan tangan Arbani yang menunjuk kearah perempuan yang berada di dalam rangkulannya. Raut wajahnya berubah tidak bersahabat saat Arbani menunjuk-tunjuk perempuan yang berada di sebelahnya. "Whatever!! Yang jelas tanggal satu nanti gue sama anak-anak nggak bisa hadir, kita sudah terlanjur approve buat jadi bintang tamu di sekolah yang kemarin, dan itupun dengan persetujuan lo! Lo nggak berpikir untuk membatalkan yang disana karena Artha 'kan?"
"Lah iya, gue baru ingat kalau kita udah terima job disana duluan." Marko menepuk dahi. Melirik Artha dengan mencibir. "Yaudah berarti kita semua nggak ada yang bisa datang gimana tuh? Benar kata Arban, lo gak mungkin membela Artha dan membatalkan yang di sekolah sana 'kan?"
Terdiam sebentar, Andro melepas rangkulan pada Artha, jemarinya bertautan di depan bibir yang menipis. Keningnya berkerut dengan pandangan yang menatap kebawah. "Ya.. gue nggak akan cancel acara itu Ban, Ko, kalian tahu sendiri 'lah gue tipe orang yang profesional sampai ketulang. Tapi...," Andro melirik Artha yang menunduk dengan kedua tangan di depan lutut, menghembuskan napas melalui bibir, tangan kiri Andro terangkat lalu mengusap kepala Artha lembut. "Kita istirahat lima menit dulu deh ya, gue paham kalian sudah pusing banget."
Semua orang keluar dari dalam studio, termasuk Arbani dan Marko yang menatap sinis kearah Artha yang masih setia menundukkan kepala. "Sudah-sudah," ujar Andro dengan menggerakkan tangan mengusir Arbani dan Marko yang masih betah menatap Artha. Keempat jari Andro menyentuh dagu bagian bawah Artha, ibu jarinya yang berada di depan dagu perempuan itu. Andro tersenyum hangat saat pandangan keduanya bertemu. "It's okay, gue 'kan sudah bilang kalau gue bakalan selalu membela lo, tapi, untuk event tanggal satu nanti, maaf, gue dan yang lain nggak bisa datang ke event yang ada di taman kota."
Kedua mata Artha menyendu dengan bibir yang di manyunkan. "Sorry.." menundukkan kepala, Artha meremat kemeja merah maron yang ia gunakan. "Seharusnya aku tanya dulu jadwal kalian."
"Hei," Andro menyentuh kedua bahu Artha bersamaan. "Kalau kami nggak bisa datang, lo masih bisa datang kesana sebagai perwakilan."
"Tapi aku nggak bisa, suara aku nggak bagus Ro."
"Siapa bilang?"
"Arbani yang bilang."
"Nggak Artha, suara lo bagus, bahkan gue selalu ketiduran kalau lo rekaman pas cover lagu."
"Tuh 'kan! Berarti suara aku jelek kalau kamu sampai ketiduran!"
Andro menggeleng dengan senyum gemas. "Bukan, kalau suara lo jelek pasti dari awal kepala lo sudah gue sambit pakai batu nako material depan!" Mendengar itu, sontak Artha tertawa karena Andro mengatakan dengan senyum gemas yang terlihat seperti menahan kesal. Melihat Artha tertawa, Andro pun ikut tertawa dengan telapak tangan yang mengusap rambut perempuan itu lembut. "Hahaha, lo ini!" Andro menggelengkan kepala 'tak habis pikir. "Lihat lo ketawa kayak sekarang benar-benar membuat beban gue terangkat sedikit, lo memang deh vitamin buat gue, Ar!"
[ .. ]
Wyasa mengangkut seluruh barang yang ia beli sendiri ke atas mobil bak terbuka yang sebelumnya ia sewa dari tetangga dekat rumah. Memastikan beberapa barang sudah terangkut, ia mengunci pintu rumah, lalu pergi menuju motornya yang terparkir di luar pagar. Sebelum meninggalkan rumah, ia menengok kembali rumah yang menjadi saksi bisu perjuangannya hampir dua setengah tahun setelah keluarganya meninggalkannya.
Menundukkan kepala, Wyasa mengepalkan tangan di depan dada. "Gue harus yakin kalau gue bisa sukses! Gue harus keluar dari batas yang gue buat, dan membuktikan ke mereka semua kalau gue mampu bertahan hidup dengan kedua kaki dan tangan gue sendiri." Menghembuskan napas kasar, Wyasa melangkah keluar gerbang, lalu menguncinya dari luar.
Memasukkan kunci kedalam saku celana, Wyasa mengambil helm yang berada di atas tangki motor, lalu memakainya. Saat ingin menaiki motor, seseorang menepuk bahunya dari belakang, membuatnya menoleh dan melihat Arbani tengah mengerutkan dahi saat melihat dirinya dan mobil bak terbuka yang berada 'tak jauh dari tempatnya.
"Lah, mau kemana lo?" tanya Arbani.
"Pindah gue Ban," jawab Wyasa dengan kaki yang menaikan standar motor.
"Bukannya ini rumah lo, kenapa lo pindah?"
"Ada sedikit masalah, ya begitu deh, hehe, lagi pula nggak terlalu jauh dari sini, nanti lo main aja kesana." Memasukkan kunci, memutar kunci lalu menekan stater untuk menyalakan motor. Menurunkan kaca helm, "Gue duluan Ran!" pamit Wyasa dengan menekan klakson motor sekali agar pengemudi mobil bak terbuka bisa langsung mengikutinya dari belakang.
Sepanjang perjalanan menuju tempat tinggal baru, Wyasa memikirkan semua hal, termasuk bagaimana caranya bertahan hidup jika ia mengembalikan motor ini pada Ayahnya. Mendengar suara klakson dari arah berlawanan, Wyasa membelokkan arah motornya ke kiri dengan berteriak minta maaf karena menyadari kesalahannya.
"Nggak apa, semua akan ada hasilnya, semua butuh proses, nggak ada orang yang tiba-tiba langsung jadi kaya raya kalau nggak mulai dari sekarang! Kecuali ngepet!" Ucap Wyasa yakin, lalu mempercepat laju motornya agar cepat sampai di kontrakan barunya sebelum semakin malam.
[ ... ]
Artha duduk di depan rumah dengan gitar yang berada di atas pangkuan. Jarinya memetik gitar, suara petikan itu terdengar menyedihkan, di tambah lagi wajah sendu yang terlihat jelas tercetak di wajah perempuan itu.
Menghela napas, tangannya bergerak kebawah bersamaan dengan suara dari gitar. Mengarahkan tangannya ke dekat bibir Artha mengigit kuku ibu jarinya dengan kening yang berkerut sampai kedua alisnya bertemu.
Wajah yang sebelumnya sendu berubah kalut, perasaannya tidak menentu membuat pahanya bergerak kecil karena merasakan resah yang benar-benar menggerogoti hatinya. Memindahkan gitar yang ada di pangkuan ke kursi kayu yang berada di seberangnya, Artha menurunkan kedua kakinya ke atas lantai lalu pergi masuk kedalam rumah, bersamaan dengan sebuah mobil bak terbuka dan sepeda motor yang berhenti di depan rumah perempuan itu.
Turun dari motor, Wyasa melepas helmnya lalu membantu supir mobil bak terbuka untuk meneruni beberapa barang berat seperti lemari, tempat tidur, meja, dan dua kursi kerja ke dalam rumah yang tidak sebesar rumah milik Ayahnya. Beberapa saat kemudian, Wyasa mengeluarkan dompetnya untuk mengambil uang.
Saat ingin memberikan uang itu pada pengemudi mobil bak, uangnya di tolak dengan alasan Wyasa sudah di anggap sebagai anaknya sendiri, dan orang itu menyuruhnya agar menyimpan uang itu takut-takut ada keadaan darurat.
Mobil bak pergi meninggalkan Wyasa setelah keduanya berbincang singkat. Menarik napas panjang kedua tangannya berada di samping pinggang, menghembuskan napas pelan, ia menatap kontrakan yang sudah ia bayar untuk satu bulan kedepan dengan bangga sekaligus miris karena uang yang ada di tabungannya hanya tersisa sedikit karena mantan pacarnya itu.
"Nggak apa lah, semuanya bakalan sesuai harapan gue." tangannya terangkat guna mengusak rambut bagian belakang secara acak. "Yah semoga aja," melirik motor yang menemaninya kemana-mana, Wyasa tersenyum kecut. "Saatnya balikin motor sama kunci ya, kok berat banget. Tahu gitu dulu gue beli kendaraan daripada beli barang nggak berguna buat si mantan."
Melangkah mendekati motor, Wyasa mengambil helm yang ada di atas tangki, memakai helm itu, lalu menaiki motor. "Nggak apa 'kan? Semua harus dimulai dari bawah, fondasi gue belum kokoh kemarin, makanya ke gerus ombak. Sekarang nggak ada lagi jadi budak cinta, gue harus fokus sama karir gue dan tunjukin ke orang tua kolot itu, kalau gue bisa berdiri dengan kedua kaki gue!" memasukkan kunci, memutar kunci motor, Wyasa melajukan motornya meninggalkan tempat tinggal yang akan ia tempati mulai nanti malam.
Artha keluar dari rumah dengan semangkuk mie rebus dan botol air satu liter yang berada di apitan tangan, meletakan mangkuk dan botol air diatas meja, ia melihat rumah kosong di depan rumahnya menyalakan lampu, membuat ia mengerutkan dahi. Tumben, apa ada yang mau nempatin? Kemarin Pak Mamat juga beres-beres 'kan? Tanyanya dalam hati.
"Hm.. biarin deh, bagus kalau rumah itu ada yang nempatin, siapa tahu bisa jadi tetangga yang seru."
[ ... ]
Wyasa sampai di depan rumah Ayahnya yang di jaga super ketat oleh beberapa satpam. Mematikan mesin motor, ia melepas helm saat harus melalui serangkaian pemeriksaan dari satpam utama rumahnya. Menunggu dengan wajah di tekuk, salah seorang satpam berlari menghampiri dirinya dan satpam yang mengecek tasnya sangat lama.
"Berhenti! Berhenti!" seru orang itu dengan aksen Jawa yang kental.
Satpam yang tengah memeriksa tas nya berhenti melakukan pekerjaannya lalu meoleh kearah orang tadi dengan wajah kesal. "Opo toh Pak?" memberikan tas pada Wyasa, orang itu menatap sinis kearah Wyasa yang penampilannya seperti orang-orang yang datang untuk meminta pekerjaan pada tuan rumah yang rumahnya ia jaga.
"Kamu ngapain periksa tasnya Mas Ranjawy?!"
"Apasih Bapak, Mas Ranjawy yang Mahesa kenal nggak seperti ini penampilannya!"
Orang yang di panggil Bapak itu membulatkan mata dengan tangan yang maju ke depan untuk memukul kepala Mahesa menggunakan tangan kanannya, dan membuat Wyasa reflek tertawa di atas penderitaan Mahesa.
"Lambemu!" marah Bapak itu dengan menatap tidak enak kearah Wyasa. Tersenyum kecil, tangan Wyasa terangkat untuk mengatakan tidak apa. "Mas Ranjawy masuk kedalam saja Mas, kebetulan Bapak, Ibu, sama Mas Jalady ada di rumah."
Kedua alisnya terangkat serentak. Ia menaikan standar motor, lalu mendorong motor itu kedalam rumah, meninggalkan dua orang yang masih sibuk bertengkar. Menurunkan standar motor, mengambil helm, ia melepas sepatu di depan pintu masuk lalu masuk ke dalam rumah dengan mengucapkan salam.
Semua orang yang sedang berkumpul di ruang tamu tentu saja terkejut dengan kedatangannya, dalam benak mereka berpikir mungkin Wyasa sudah menyerah dan memilih untuk menikmati fasilitas yang sudah di sediakan, namun pemikiran itu hilang saat Wyasa meletakan kunci rumah, kunci motor, beserta surat-surat motor di atas meja, kecuali helm yang masih menggantung di siku tangan.
"Ranjawy datang untuk mengembalikan ini Yah, Bu."
Semua orang terdiam, termasuk Byakta yang menuruni tangga. "Mas, mau kemana lagi sih?" tanya Byakta dengan menghampiri Wyasa yang masih berdiri di depan meja. Melihat kearah Byakta, Wyasa tersenyum hangat, senyum yang selalu di perlihatkan dan membuat seluruh rumah seperti dijatuhkan salju.
Senyum yang terlihat hangat, namun terasa dingin bagi mereka semua. "Mau mengembalikan itu, kemarin Ayah kirim surat katanya kangen sama anak pertama nya ini, jadi..." mengangkat bahu ringan, Wyasa masih memperlihatkan senyumnya. "... kenapa nggak sekalian aja 'kan balikin semuanya mumpung mampir."
"Mas, tapi nggak gini, Ayah pasti memperbolehkan Mas ambil jalan yang Mas mau kok, iya 'kan Yah?" tanya Byakta.
"Pernah Ayah mengatakan itu ke kamu Jalady?" tanya Ayahnya dengan melirik tajam kearah Byakta. Membuat Byakta geram di tempatnya, sedangkan Wyasa terkekeh kecil melihat hal itu. "Memang apa susahnya kalau kamu tinggal duduk manis lalu menerima semua fasilitas yang ada di rumah seperti Jalady?" tanya Ayahnya dengan menyudutkan Wyasa.
Mendengus, "Lihatkan, yasudah.. sekarang mungkin belum terlihat, tapi suatu saat Ayah dan kalian akan lihat kalau Ranjawy mampu membuktikan semua yang Ranjawy mau, setelahnya Ranjawy akan kembali kesini saat Ayah mengakui jika Ranjawy mampu." Terdiam sebentar, Wyasa menunjuk kearah pintu menggunakan ibu jarinya. "Sudah malam, Ranjawy pamit Yah, Bu, Jalady."
---
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top