L. Kita [ 2 ]

[ ... ]

31 Mei xxxx

Kontrakan, 19 : 06 Malam.

Artha memetik gitar sesuai dengan chord yang ia temui di situs pencarian. Kepalanya bergerak miring, memperhatikan letak jari jemarinya, guna memastikan sudah berada di tempat yang tepat atau belum. Memakai headset di sebelah kiri, Artha mendengarkan lagu yang berputar di ponselnya, bibirnya bergumam kecil mengikuti lirik lagu, kedua matanya masih fokus pada gitarnya.

Bermain gitar sebetulnya tidak semudah yang orang lain kira. Sewaktu pertama kali bermain gitar, Artha harus bersedia jemarinya terluka. Kakak sepupunya juga memarahi dirinya karena terlalu serius belajar gitar dan sedikit lalai pada tugas sekolahnya. Tetapi itu dulu, orang-orang yang sebelumnya menantang dirinya agar tidak bermain gitar, kini lepas tangan setelah melihat hasil yang di dapatkan oleh Artha.

Wyasa sampai di kontrakannya dengan bahu yang merosot turun, punggungnya sedikit membungkuk bersamaan dengan harapan yang menipis. Ia harus secepatnya menemukan ide, setidaknya dua hari sebelum deadline ia harus sudah selesai dengan lukisan yang di minta oleh bosnya itu. Mengambil kunci dari dalam saku, Wyasa mendengar suara petikan gitar dengan suara gumaman yang terdengar sangat menenangkan. Menoleh kearah belakang, Wyasa menyipitkan kedua matanya untuk melihat siapa yang bermain gitar disaat saat seperti sekarang.

Wyasa berbalik badan, saat ingin mendekat ke arah suara, Wyasa berdecak kecil. "Udahlah, bukan waktunya untuk penasaran." Katanya dengan berbalik badan. memasukkan kunci, memutarnya, mendorong pintu ke dalam, Wyasa melepas sepatu yang di gunakan lalu masuk ke dalam rumah dan menutup pintu.

Setelah meletakkan sepatu di sebelah pintu masuk, Wyasa menyangkutkan tas pada paku yang kemarin ia pasang untuk menyimpan jaket yang habis ia kenakan. Mengambil ponsel dan iPad dari dalam tas, Wyasa mengecek pesan yang masuk pada ponselnya sembari duduk di atas ubin.

Ada satu pesan yang membuat dahinya mengerut dalam. Raut wajahnya berubah tegang saat membaca rentetan kata yang berbaris rapih menyusun sebuah kabar yang kurang mengenakan. Jantungnya berpacu, membuatnya beranjak dari duduk, mengambil kembali tas dan memasukkan kedua benda penting ke dalamnya, memakai sendal jepit lalu pergi berlari menuju jalan raya setelah mengunci pintu kontrakannya.

Mendengar suara pintu yang di banting, Artha reflek berdiri dan melihat siluet seorang laki-laki yang berlari terbirit-birit seperti di kejar oleh anjing tetangga yang sering lepas dari tali. Kepalanya bergerak miring secara perlahan, "Kenapa sih? Dia punya masalah apa sama hidupnya?" tanya Artha pada diri sendiri. Menggedikkan bahu ringan, Artha kembali tenggelam pada permainan gitarnya untuk penampilan besok.

[ ... ]

Keringat membasahi wajah dan kemeja di dalam jaket kulitnya. Saking paniknya ia, Wyasa sampai melupakan yang namanya taksi dan aplikasi berbasis online yang bisa membawanya kemanapun secara cepat. Masuk kedalam rumah sakit yang di sebutkan, Wyasa mengedarkan pandangannya, lalu berlari kearah resepsionis dengan menunjukkan pesan yang ia dapatkan.

Guratan wajah khawatir tercetak jelas di wajah Wyasa. Napas nya menderu dengan menelan saliva, Wyasa mengatakan pada bagian resepsionis agar lebih cepat mencari ruangan yang ia maksud. setelah mendapatkan informasi dari bagian resepsionis, Wyasa berjalan cepat mencari ruangan yang di sebutkan, kepalanya mendongak keatas dengan mata yang mengedarkan pandangan keseluruh tulisan yang terlihat.

Melihat ruangan yang di sebutkan, Wyasa semakin mempercepat jalannya. Menaiki anak tangga, Wyasa berbelok kearah kiri lalu berhenti di depan ruangan yang berisi untuk satu orang. Menarik napas panjang lalu menghembuskan melalui bibir, Wyasa menyentuh knop pintu yang terasa sangat dingin, kemudian masuk kedalam ruangan dan melihat adiknya, Byakta terbaring di atas tempat tidur dengan kaki yang terpasang gips.

Melangkah mendekati tempat tidur, Wyasa melepas tas yang berada di bahu, meletakkan di atas meja, kemudian duduk di sebelah tempat tidur Byakta. "Lo kenapa sih sampai begini?" tanya Wyasa kesal walaupun mendengar menjengkelkan di telinga Byakta, ia tetap tahu jika Kakaknya itu mengkhawatirkan dirinya.

"Musibah Mas, nggak ada yang tahu."

"Tapi seenggaknya lo bisa menghindari hal itu!"

Byakta reflek memejamkan kedua mata saat Wyasa mengatakan hal itu. Didikan dari orang suruhan Ayah mereka benar-benar sudah mendarah daging pada Wyasa sampai tanpa di sadari, Kakaknya itu mengatakan hal yang sama dengan orang suruhan Ayahnya jika mereka mengalami sesuatu seperti yang di alami oleh Byakta saat ini.

"Ayah, sama Ibu tahu?"

"Nggak, gue belum bilang apapun."

"Kenapa?"

Menggedikkan bahu ringan, Byakta tersenyum simpul. "Kadang nggak semua hal harus gue beritahu ke mereka. Selama gue bisa tanganin sendiri," Byakta melirik kearah Wyasa yang menatap lekat kearahnya. "Kenapa nggak, ya 'kan Mas?"

Sudut alisnya berkedut cepat, tangan kanannya terangkat sedikit tinggi lalu mendarat di atas dahi Byakta sampai membuat adiknya itu mengaduh keras. Pintu ruangan terbuka dengan seorang suster yang masuk ke dalam ruangan.

"Apa ada yang harus di bantu Kak?" tanya suster itu lembut.

Wyasa melirik tajam kearah suster lalu menggelengkan kepala. Menyadari hawa tidak enak yang menguar dari tubuh Wyasa, suster itu mengangguk kecil dengan tangan yang menarik pintu keluar.

"Mas, parah lo!"

"Jadi apa kata Dokternya?" tanya Wyasa mengalihkan pembicaraan.

"Pokoknya ada yang geser gitu deh, apalagi ya, gue lupa."

"Otak lo lepas kali dari kepala, coba di cek."

"AMIT AMIT COY!"

"Lagian, udahlah, nanti biar Mas tanya sama Dokternya aja langsung." Menghela napas panjang, "Kok bisa kejadian kayak gini?"

"Nahan motor, jalanan licin pas banget teman gue malah nggak bisa diem duduknya."

"Terus teman lo gimana, patah tangan?"

Mengalihkan pandangan kearah lain, Byakta mendengus sebal. "Nggak tahu, gue harap dia nggak kenapa-napa." Mengingat satu hal, Byakta menoleh ke arah Wyasa, membuat Wyasa menaikan kedua alisnya ke atas secara bersamaan. "Apa? kenapa ngeliatin gue sampai begitu?" tanya Wyasa dengan ketus.

"Besok gue ada penampilan, lo bisa gantiin gue nggak Mas?"

"Ha?"

"Ho!" memutar matanya malas. "Serius gue, besok gue ada acara di tempat yang tadi itu, terus besok gue isi acara juga, tolong gantiin gue."

"Nggak mau!"

"Satu lagu doang Mas, lo nggak akan nyesel sumpah gantiin gue!"

"Ogah! Budeg lo ya?"

"Gue minta tolong sama lo baru kali ini ya!" kata Byakta dengan meninggikan sedikit suaranya. Wyasa mendelik kesal mendengar ucapan adiknya. Baru sekali katanya? Selama ini apa yang minta ini itu sama gue? ujar Wyasa dalam hati. Menghembuskan napas kasar. "Iya! Gue terlalu sering minta tolong sama lo, ih! Bantuin gue besok sekali doang, terakhir sumpah!"

Melipat kedua tangan di depan dada, Wyasa menatap datar Byakta dengan mengepkan tubuh. "Apa?"

"Gantiin gue untuk main gitar, nyanyiin lagu.." kepalanya bergerak ke kanan kiri. "Hape gue dimana ya Mas?" Wyasa menarik laci kecil, lalu mengambil ponsel Byakta, menyerahkan ponsel itu pada adiknya, Wyasa duduk dengan tenang setelah menutup laci. Memperhatikan Byakta yang fokus pada ponsel, Wyasa terkejut saat mendengar suara teriakan Byakta yang tiba-tiba.

"Astaghfirullah."

"Sorry Mas!"

"Lagu apa? gue nggak bisa main gitar, lo tahu sendiri 'kan."

"Yaudah, mainin aja pakai piano!"

"Piano nya siapa sih, di kontrakan gue nggak ada piano."

"Yah terus gimana?"

Meminta ponsel Byakta, Wyasa melihat lagu yang akan dibawakan olehnya besok. "Lagu ini, gue sedikit hafal notenya, lihat besok aja." Mengembalikan ponsel pada Byakta, Wyasa memperhatikan Byakta sesaat. "Lo mau pulang atau gimana?"

"Pulang lah, gue mana betah di rumah sakit."

"Hm.." beranjak dari tempat duduk, Wyasa memasukkan kedua tangannya ke saku celana. "Gue tanya Dokter dulu, nanti lo gue antar pulang."

"Gue pulang ke rumah lo aja Mas."

Langkah kaki Wyasa terhenti saat mendengar ucapan Byakta. Wyasa menoleh lewat bahunya. Yah, sepertinya itu pilihan terakhir, jika pulang anak itu akan di marahi oleh Ayah, pikirnya. "Ya."

[ ... ]

Artha mengecek ponselnya saat sebuah email masuk ke dalam ponsel. Menguap lebar, ia memindahkan gitar yang sebelumnya ada di pangkuan ke atas tempat tidur. Membuka kata sandi, jemarinya bergerak lincah menari di atas layar lalu membuka salah satu email yang berada di paling atas.

Jalada B. B. : Halo, ini gue Byakta. Besok gue nggak bisa satu panggung sama lo karena ada sesuatu yang ngebuat gue nggak bisa datang. Tapi lo tenang aja, ada orang yang gantiin gue namanya Wyasa, besok gue harap kalian ketemu jam 12 di tempat yang kemarin.

Besok jangan kaget sama orangnya, dia memang sedikit cuek tapi bisa kerja sama. Jadi lo tenang aja, maaf sebelum dan sesudahnya, thanks.

Byakta.

Membuat balasan email, Artha mematikan ponselnya lalu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Kedua tangan nya di rentakan dengan wajah yang menghadap langit-langit kamar.

"Apa mungkin aku kualat ya sama anak-anak?" tanya Artha pelan. "Kenapa rasanya ada aja halangan buat acara besok?" bangun dari tidurnya, Artha mengambil gitar yang berada di atas tempat tidur lalu kembali berlatih agar penampilannya tidak buruk. "Padahal tadi aku udah ngantuk banget, tapi pas lihat email dari Byakta kok ngantuknya malah hilang, jantung aku juga kenapa deh kok malah deg deg 'kan gini? Nggak mungkin lah aku suka sama Byakta, apa aku deg deg 'kan karena partner baru aku ya?" Artha memainkan gitarnya asal dengan berteriak. "A...! bodo amat sumpaaah!!!"

Wyasa dan Byakta saling melemparkan tatapan bertanya saat mendengar suara yang benar-benar mengganggu telinga. Wyasa menyuruh Byakta untuk segera tidur sebelum anak itu bertanya-tanya padanya.

"Itu orang gila kali ya Mas, malem-malem gini main gitar genjrang genjreng begitu!"

"Ssstt...! tidur sana, gue mau ngerjain sketsa."

"Tapi berisik Mas, gue mana bisa tidur."

Mengambil ponsel, membuka salah satu aplikasi yang memberikan pilihan lagu penghantar tidur, Wyasa memilih beach dengan suara deburan ombak dan melody yang di hasilkan dari suara gitar yang menenangkan.

Mendengar suara itu, Byakta mencari posisi nyaman. Memeluk guling, kedua mata Byakta perlahan-lahan terpejam, beberapa menit setelahnya terdengar suara dengkuran halus, membuat Wyasa tersenyum kecil melihat Byakta yang masih sama seperti dulu, selalu tertidur saat mendengar suara deburan ombak dan melody dari suara gitar.

Meletakkan ponsel di atas meja kayu miliknya, Wyasa kembali duduk di dekat tempat tidur dan memikirkan sebuah ide yang tidak hanya dapat dijual dengan harga mahal, tetapi juga memiliki keindahan tersendiri bagi pembeli dan penikmat seni.

"Apa ya..?" tanya Wyasa.

Memeluk perut, Wyasa menunduk lesu saat mengingat ia belum mengisi perutnya sejak sore tadi. bergerak malas menuju dapur, Wyasa mengambil panci yang memiliki gagang kayu, mengisinya dengan air, meletakkan diatas kompor, ia menyalakan kompor setelah itu Wyasa mengambil dua bungkus mie rebus beserta mangkuk dan garpu.

Menunggu airnya matang, Wyasa membuka bungkus mie, mengeluarkan bumbu dari dalam lalu memasukkan bumbu yang sebelumnya sudah di buka ke dalam mangkuk yang di bagian bawahnya di berikan piring kecil.

"Nanti habis nggak ya, ah habis pasti! Orang gue lapar banget."

Memasukkan mie ke dalam panci, lalu memasak mie selama tiga menit. Membuang air rebusan lalu menggantinya dengan air baru, Wyasa menunggu sampai air mendidih, lalu menuangkan mie yang ada di panci ke dalam mangkuk. Membawa mangkuk keruang tamu, Wyasa memakan mie dengan khidmat. Beberapa menit kemudian Wyasa terdiam saat merasakan kenyang,

"Makan satu kurang, makan dua kebanyakan." Gumamnya. Melirik mie yang sebentar lagi habis, Wyasa mengangkat mangkuk dan kembali makan. "Masih untung bisa makan, ngeluh mulu kayak orang utan."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top