J. Berpisah

[ ... ]

Taman Kota

14:30

Setelah puas berkeliling, mengisi perut, dan membeli beberapa barang, Wyasa mengajak Byakta, dan Artha untuk kembali ke tempat acara. Byakta melirik sinis kearah Wyasa menenteng sebuah tas kecil yang berisi iPad dan speaker bluetooth.

"Itu penting nggak sih buat lo beli Mas?" tanya Byakta penasaran. Sejak tadi bibirnya sudah gatal ingin menanyakan hal itu, berbeda dengan Artha yang menggigit jari saat melihat Wyasa dengan mudahnya membeli barang-barang mahal menggunakan kartu debitnya.

"Perlu, jangan mikir gue boros. Nanti iPad yang di rumah mau gue jual."

"Kenapa dijual?" tanya Artha.

"Kenapa ya," tanya Wyasa pada dirinya sendiri. "Mau gue jual aja, soalnya itu pemberian dari seseorang."

"Bukannya itu malah berkesan buat kamu ya?"

"Benar, tapi kalau pakai pemberian orang itu rasanya usaha gue sia-sia."

"Kalau begitu lebih baik di simpan aja, jangan di jual. Walaupun kamu merasa usaha kamu sia-sia, tapi dari benda yang mau kamu jual itu, kamu mulai merintis karir kamu, aku nggak tahu kamu bekerja di bidang apa, tetapi yang jelas jangan mudah melepaskan sesuatu yang sudah lama bersama kamu."

Wyasa langsung terbungkam mendengar hal itu. Artha seseorang yang baru ia kenal beberapa jam lalu namun seolah bisa menjadi penengah di kacaunya lautan ombak yang menerjang kepala dan hatinya. Seolah perempuan itu berdir di tengah-tengah sebagai penghalau agar ia tidak menjual sesuatu yang berharga di mata pemberi, walaupun tidak di dalam matanya.

Byakta menyenggol lengan Wyasa yang tersihir oleh ucapan Artha dengan senyum mengejek. "Tuh Mas dengar, jadi jangan dijual."

"Ah nggak tahu, lihat nanti aja!"

Mereka bertiga masuk kedalam taman kota. Saat mereka sudah dekat dengan panggung, tangan Artha di tarik pelan oleh salah satu kru untuk menyuruh perempuan itu bersiap dan sedikit di rias. Memanggil nama Artha, Byakta menyerahkan satu paperbag sebelum perempuan itu pergi jauh.

"Buat lo, karena nggak bisa tampil berdua, gue rasa ini cukup untuk membayar kekecewaan lo nggak bisa tampil sama gue, semangat!" Byakta mengedipkan sebelah matanya sebelum berjalan ke arah lain, menghampiri Wyasa yang pergi ke depan panggung, saat mendengar suara Maudy Ayunda.

Pipi Artha memerah saat mendapatkan perhatian kecil dari Byakta. Wyasa menoleh lewat bahu kearah Byakta saat merasakan kehadiran adiknya itu. "Sudah di berikan?"

"Sudah, Artha nerimanya dengan senang hati."

"Bagus."

Wyasa melihat penampilan Maudy Ayunda dengan senyum senang, tubuhnya bergerak mengikuti musik yang terputar bersama para penonton. "Rasanya lebih menyenangkan, lepas dari peraturan menyebalkan yang di buat oleh Ayah dan orang itu. rasanya gue seperti menjadi manusia yang benar-benar manusia, nggak seperti dulu."

Melirik Wyasa, Byakta menipiskan bibir seolah ragu menyampaikan sesuatu yang ada di dalam kepalanya. "Tetapi gue lebih suka lo yang dulu Mas, gue merasa kehilangan sosok itu."

"Life must go on, dan gue nggak mau hidup selamanya disana." Terdiam sesaat. "Gue pasti akan ada disana lagi, tetapi gue nggak mau mengekang, dan kalau nanti gue punya keluarga, gue membebaskan anak gue nanti dengan pilihannya, walaupun dalam pemantauan, gue hanya memberikan pemantauan dari jauh, nggak seperti Ayah yang terlalu banyak ikut campur."

Kepalanya bergerak naik saat melihat Artha sudah berdiri di atas panggung dengan gaun putih yang memiliki detail unik di bagian lengan dan pergelangan tangan. Rambut golden brown itu di tata dengan baik, riasan tipis juga menambah cantik penampilan Artha di atas panggung.

"Pilihan lo nggak salah Mas, dia semakin bersinar di atas panggung."

"Ya," seulas senyum menghias wajah tampannya. "Gue nggak pernah salah memilih."

Tanpa terasa waktu semakin cepat berlalu, saat ini Wyasa tengah duduk di balik piano hitam dengan Artha yang duduk tidak terlalu jauh dari tempatnya saat ini. Sebelum naik ke atas panggung, Wyasa harus rela wajahnya di poles terlebih dahulu dan mengganti kemeja hitamnya dengan kemeja putih yang ia beli sebelum datang ke tempat ini agar pakaiannya sama dengan Artha. Sebelum di make up, Wyasa mengatakan pada bagian make up untuk tidak terlalu merubah wajahnya karena ia sudah merasa cukup tampan sebelum wajahnya di poles, dan membuat semua orang tertawa, termasuk Artha yang berada di sebelahnya.

Warna langit semakin menggelap, Wyasa melihat masih banyak penonton yang melihat penampilan mereka, bukan semakin berkurang, tetapi semakin bertambah banyak dan membuatnya sedikit gugup. Menyadari hal itu, Artha menyentuh lengan Wyasa dengan senyuman yang menghias wajah cantiknya.

"Nggak apa, rileks okay?"

Menarik napas dalam, Wyasa dan Artha tersenyum menghadap ke arah depan bersamaan dengan salah satu crew yang menghitung mundur agar mereka bersiap untuk membawakan lagu. Artha memainkan gitarnya, Wyasa menyanyikan lirik dengan suara beratnya, beberapa penonton dari kalangan perempuan berteriak heboh saat merekam penampilan mereka.

"How could I know.. One day I'd wake up feeling more.."

"But I had Already reached the shore, guess we were ships in the night.. night.. night.."

"We were ships in the night.."

Mereka berdua menyanyikan bagian itu dengan serasi, beberapa penonton sampai bertiak mengatakan betapa serasinya mereka berdua, membuat Wyasa diam-diam mendengus geli mendengar semua yang di teriakan. Wyasa mulai menyentuh tuts yang terasa dingin menggunakan jari jemarinya. Menoleh kearah Artha yang menyanyikan lirik selanjutnya, Wyasa tersenyum kecil.

"I'm wondering,"

"Are you my best friend, feel's like a river's rushing thorugh my mind, I wanna ask you, if this is all just in my head my heart is pounding tonight I wonder.."

Artha menoleh ke arah depan saat merasakan gugup ketika di tatap oleh Wyasa, tersenyum ramah, Artha melirik Wyasa yang menyanyikan lanjutan dari lirik dengan kedua mata yang masih melihat kearahnya. Menyanyikan lagu itu bersama-sama, Wyasa mengalihkan pandangan kearah depan dengan senyum puas di wajahnya.

Walaupun beberapa penonton tidak terlalu tahu lagu siapa yang mereka nyanyikan, penampilan mereka berdua di atas panggung rupanya mampu menghipnotis seluruh indra penglihatan dan pendengaran semua orang sampai hanyut dalam lagu yang mereka nyanyikan.

Wyasa bersiul dengan kepala yang sedikit menunduk, pertanda lagu yang mereka nyanyikan akan segera selesai. Beranjak dari tempat duduknya, Wyasa mengulurkan tangan kearah Artha, mengetahui hal tersebut sebagai penutupan, Artha tersenyum lembut dengan hati yang berdebar, meletakkan gitar diatas bar stool, Artha menyambut telapak tangan yang terasa dingin itu lalu berdiri di sebelah Wyasa dengan tubuh mereka yang membungkuk ke arah penonton, sebagai ucapan terima kasih.

Turun dari panggung, Wyasa dan Artha di sambut dengan senyum hangat dan tepuk tangan dari beberapa kru yang sangat puas dengan penampilan keduanya. Walaupun bukan seorang penyanyi yang sering bolak balik ke dapur rekaman atau stasiun televisi, penampilan mereka berdua cukup membuat semua kru, penonton, dan beberapa artis yang berada di belakang panggung terkesima.

Sebelum pulang, Artha, Wyasa, dan Byakta di minta untuk menunggu sampai acara selesai karena produser dan para kru akan mengadakan acara makan bersama, saat ingin mengiyakan tawaran tersebut, Wyasa sudah terlebih dahulu mendapatkan telepon dari Bosnya dan menyuruhnya agar cepat datang ke kantor.

Menghela napas panjang, Wyasa menolak ajakan tersebut dengan hati-hati, lalu memesankan taksi online untuk mengantarkan Byakta pulang kerumah Ayahnya, setelah itu ia bergegas pergi menuju kantornya yang sangat jauh dari taman kota. Sebelum pergi, Artha lebih dahulu menahan tangan nya dengan memberikan sebuah gelang yang berwarna hitam dan putih pada talinya.

"Thanks," ujar Wyasa. Setelah itu pergi saat taksi online pesanannya sampai.

[ ... ]

Artha sampai di rumah pukul sembilan malam, perayaan keberhasilan acara diadakan sederhana namun meninggalkan banyak kesan untuk Artha. Tersenyum lembut, Artha melihat gelang yang sama seperti yang ia berikan pada Wyasa terpasang di pergelangan tangan kanan nya.

"Kenapa aku kasih ke Wyasa ya, seharusnya aku kasih ke Byakta." Tersenyum malu, Artha menyembunyikan wajahnya menggunakan bantal, kakinya menendang tendang udara sampai seprai yang sebelumnya membungkus kasurnya berantakan. "Kenapa Wyasa punya pesona sebesar itu sih?" melempar bantal ke bawah tempat tidur, Artha menampar pipinya berkali kali. "Inget, ada Andro! Jangan kemana mana hatinya!" peringat Artha pada dirinya sendiri. "Tapi Andro punya pacar!"

Menarik guling yang berada di dekatnya, memeluk guling itu dengan erat, wajah Artha berubah sendu dengan kedua matanya yang berkaca-kaca. "Andro bahagia banget waktu kemarin tunjukin pacarnya ke aku, apa aku nyerah aja ya?"

[ ... ]

Wyasa menunjukkan senyum di wajahnya mengingat seharian ini menghabiskan waktu bersama Byakta dan Artha. Melirik iPad lamanya, ia jadi teringat ucapan Artha yang menyuruhnya untuk tidak menjual benda itu hanya karena sudah memiliki iPad baru yang ia beli menggunakan uangnya sendiri.

Memikirkan hal itu, membuat kepalanya berdenyut. Mengerjapkan mata beberapa kali, Wyasa duduk di atas tempat tidurnya dengan kedua tangan yang mengusap wajah, seolah mempertanyakan kembali apa putusannya untuk memulai semuanya dari nol itu benar atau salah. mendengus samar, Wyasa menatap ke arah pintu kamar saat mendengar pintu rumahnya di ketuk dari luar. Mengambil sarung hitam yang tersangkut di paku, Wyasa mengenakan sarung itu untuk menutupi kepala dan tubuhnya.

Membuka pintu rumah, Wyasa memiringkan kepala untuk melihat siapa yang datang kerumahnya. "Ya?" tanya nya.

"Ini, saya tetangga kamu, rumah saya di depan sana." Jelas Ibu itu dengan tangan yang menyerahkan sebuah tempat makan bulat yang berisi makanan.

Membuka pintu lebar-lebar, Wyasa membenarkan letak sarungnya menjadi miring. "Ah.. maaf jadinya merepotkan Bu." Kata Wyasa tidak enak hati. "Nama saya Ranjana Wyasa Bramantya, maaf belum bisa mengenalkan diri, karena kemarin keadaan genting."

Tersenyum maklum, Ibu itu mengusap lengan Wyasa dengan lembut. "Iya, nggak apa Nak. nama Ibu, Atya, Ibu tinggal tepat di depan rumah kamu, maaf kalau Ibu mengganggu malam-malam seperti ini,"

"Nggak apa Bu, maaf saya malah ngerepotin Ibu jadinya."

"Lain kali main ke rumah, Ibu juga punya anak perempuan lebih muda dari kamu sepertinya."

"Ah begitu.." kan, ada udang di balik bakwan! Serunya. "Iya Bu, nanti saya mampir ke rumah Ibu."

"Yasudah, Ibu tunggu loh." Tersenyum hangat, Ibu Atya pamit undur diri dari rumah Wyasa dengan senyum yang memiliki makna saat menatap kearah Wyasa. "Selamat malam Nak, Assalamu'alaikum!"

"Wa'alaikumsalam.. hati-hati Bu."

Setelah memastikan Ibu Atya masuk ke dalam rumah, Wyasa menatap bergantian dari tempat makan dan rumah yang baru di masuki oleh Ibu Atya. "Itu rumah yang sering ada suara gitarnya itu 'kan? Tapi.., ini makanan menggoda banget, aman 'kan?" berbalik badan, Wyasa menutup pintu rumahnya.

Artha mendengus sebal saat Ibunya menyuruhnya untuk pergi membeli nasi goreng yang ada di ujung gang setelah Ibunya kembali menyapa tetangga baru. "Makanya jangan di kasih semua!" omel Artha saat melihat Ibunya sedang mendumel seorang diri. "Artha berangkat Bu!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top