9.

Mana bintangnya????

Masih ada yg nungguin nggak????

Jangan lupa tinggalin jejak ya, biar penulisnya semangat update n anti macet. 😜😜

###

Selepas subuh Kirana sudah siap dengan kaus tebal dan masih dilengkapi dengan kardigan yang begitu hangat membungkus dirinya. Pagi ini sesuai dengan rencananya semalam, Kirana akan ke makam keluarganya setelah sebelumnya ikut Sari yang menunggu kedatangan ikan dari penyuplai.

Gelap masih menyelimuti seluruh area bungalo saat Kirana membuka pintu. Udara dingin disertai kabut tipis membuat suasana makin menggigit tulang. Air hujan dari atap bungalo yang ia tinggali masih menyisakan tetesnya. Sepertinya hujan dini hari tadi masih belum sepenuhnya reda hingga nyaris subuh.

Kirana melangkah cepat menuju area dapur restoran untuk menemui Sari. Ia berharap wanita baya itu sudah berada di sana karena biasanya Sari tidur di rumah Kirana. Selepas subuh wanita itu akan berangkat ke Riverside saat Darto mengantarnya atau terkadang juga akan berjalan kaki jika Darto kebetulan menginap di Riverside dan tidak bisa menjemput.

Saat membuka pintu dapur, aroma kopi jahe seketika menyergap penciuman Kirana. Ia bisa memastikan, Sari sudah tiba di tempat ini dan membuat kopi jahe untuk para pekerja. Kebiasaan yang tak pernah terlupa sejak Kirana kecil. Atau mungkin bahkan sejak Kirana belum terlahir.

Beberapa wanita yang bekerja di dapur juga sudah mulai terlihat melakukan aktivitasnya. Mereka biasanya datang selepas subuh---sama seperti Sari---demi menyiapkan sajian lezat untuk menu sarapan nanti.

Kirana menyapa para wanita itu sebelum menanyakan keberadaan Sari. Sesaat kemudian orang yang Kirana cari sudah memasuki dapur.

"Bu Sari dari mana?" tanya Kirana saat melihat wanita itu mendekat.

"Baru saja mengeluarkan ember susu di belakang." Ember penampungan susu segar dan milk can memang setiap pagi dibawa ke peternakan sapi perah sebelum memerah susu. Sari adalah orang yang melakukan hal itu karena wanita itu selalu datang begitu pagi ke Riverside atau jika bukan Sari maka sang suami, Darto yang akan melakukannya. Saat hari mulai beranjak terang akan ada pekerja yang mengambil benda-benda itu untuk dibawa ke kandang. Mereka akan membersihkan kandang dan sapi-sapi sebelum kemudian melakukan pemerahan.

"Memangnya sekarang ada berapa ekor sapinya, Bu?" Kirana tak tahu jumlah pasti sapi yang dimiliki keluarganya. Ia tak pernah bertanya.

"Ada tiga puluh ekor lebih, Mbak. Saya lupa jumlah pastinya. Pak Darto yang tahu. Tapi tidak semuanya dalam masa laktasi. Ada juga yang baru saja melahirkan dan dalam masa kering. Saat ini yang bisa diperah sekitar dua puluh ekor."

"Banyak juga berarti, Bu. Lalu dengan jumlah sapi segitu apa jumlah susu tidak berlebih jika hanya untuk memenuhi kebutuhan Riverside saja?" Setahu Kirana, satu ekor sapi menghasilkan susu sekitar tiga belas hingga tujuh belas liter setiap hari. Jumlah itu mungkin akan terlalu banyak jika hanya untuk memenuhi kebutuhan Riverside saja mengingat ada sekitar dua puluh ekor sapi yang menghasilkan susu.

"Memang berlebih, Mbak. Makanya Pak Rendra meminta mengirimkan sebagian ke koperasi. Tapi jika akhir pekan dan hari libur, jumlah itu akan cukup karena jumlah pengunjung yang melonjak. Selain itu susu-susu itu tidak hanya untuk minuman di restoran saja. Pengunjung bisa membeli susu segar untuk dibawa pulang. Makanya, susu hanya akan dikirim ke koperasi pada hari Senin sampai Kamis saja. Itu pun tidak semuanya karena masih ada saja pengunjung yang membeli susu segar. Hari Jumat sampai Minggu hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan Riverside. Beberapa rumah makan dan kafe di sekitar sini juga banyak yang mengambil susu dari kita."

Kirana menganggukkan kepala. Sama sekali tidak tahu dengan ritme kerja usaha yang dimiliki keluarganya itu. Sepertinya ia harus banyak belajar. Empat tahun kuliah di luar kota kemudian dilanjutkan dengan enam tahun melarikan diri membuatnya tak tahu apa-apa tentang Riverside. Satu hal yang ia syukuri. Narendra benar-benar mampu diandalkan untuk semua hal. Jika pria itu tidak ada, entah apa yang akan terjadi. Bagaimana nasib usaha turun temurun keluarganya dan yang paling penting adalah nasib para kerja yang sudah puluhan tahun bekerja pada keluarga Kirana.

"Eh, Mbak. Sepertinya mobil yang bawa ikan sudah datang." Sari menginterupsi obrolan mereka saat terdengar deru suara mesin mobil di luar sana. Kirana menganggukkan kepala lalu berjalan menuju pintu belakang dapur. Benar saja, sebuah mobil bak terbuka yang mengangkut drum-drum berbahan plastik berukuran besar terlihat mendekat ke arah kolam ikan yang mengelilingi pendopo utama restoran.

Biasanya ikan akan dipilah terlebih dahulu. Baik jenis maupun ukuran, juga kondisi fisiknya sebelum akhirnya akan dipindah ke dalam kolam besar yang mengelilingi pendopo, kolam penampungan ikan di belakang dapur, dan dapur.

"Hanya Gurame dan Mujaer saja ya, Bu?" tanya Kirana saat sudah mendekat pada mobil yang telah terparkir itu.

"Kalau yang ini, iya. Untuk lele dan  ikan laut kita mengambil dari orang yang berbeda."

"Kenapa begitu? Bukannya lebih enak di satu penyuplai saja?"

Sari menggeleng. "Sejak mendiang Pak Wisesa masih ada, itulah keputusan yang diambil. Beliau ingin membagi rezeki untuk peternak-peternak lokal di desa ini. Termasuk untuk ayam, bebek, telur, dan bahan makanan lain. Beliau mengatakan, masak hanya Riverside saja yang sejahtera tapi masyarakat sekitar masih kesulitan. Makanya beberapa tahun lalu Pak Rendra mengusulkan untuk membuat outlet oleh-oleh khas daerah kita. Yang sebagian besar diproduksi oleh warga desa. Alhamdulillah sejauh ini sambutannya selalu luar biasa dari pengunjung."

Kirana mengangguk paham. Ia masih ingat beberapa tahun silam sebelum ia melarikan diri ke Jakarta, sang kakek dan Narendra sudah pernah mencetuskan ide itu. Hal yang kemudian terwujud meskipun Kirana tak tahu karena ia sudah meninggalkan rumah.

Setelah obrolan itu, Kirana ikut melihat saat ikan-ikan dari drum besar itu dipindahkan ke kolam besar yang mengelilingi area pendopo. Lalu sebagian lagi ada yang dimasukkan ke dalam kolam penampungan di belakang dapur. Sari kemudian melakukan pembicaraan mengenai jumlah ikan yang dikirim dan menyelesaikan pembayaran. Setelah semua urusan itu selesai, mobil pengangkut ikan itu bergerak meninggalkan tempat itu. Menyisakan Sari dan dua orang pekerja yang terlihat mengambil sejumlah ikan dalam wadah besar yang sepertinya akan dibersihkan untuk diolah menjadi sajian lezat di dalam dapur restoran.

Saat Kirana kembali ke dalam dapur, suasana riuh menandakan jika semua pekerja sedang melakukan pekerjaannya. Seorang pria terlihat mengangkat panci nasi dari atas kompor besar di ujung ruangan, seorang wanita menggoreng entah apa di atas penggorengan besar. Lalu ada dua orang wanita yang berkutat dengan bumbu dan sayur. Keriuhan itu benar-benar membuat Kirana merasakan kehangatan. Selama ini setiap ia terbangun di pagi hari, yang ada hanya sunyi. Tak ada bunyi apapun di apartemen yang ia sewa. Hanya dirinyalah sebagai satu-satunya sumber suara itu.

Setelah menyapa singkat para pekerja di dapur, Kirana bergegas menyusul Sari yang sudah terlebih dahulu keluar.

"Berangkat sekarang, Mbak?" tanya wanita itu yang dijawab Kirana dengan anggukan.

"Bunganya sudah saya siapkan." Sari mengangkat keranjang anyaman dari rotan yang terisi dengan irisan daun pandan, bunga kenanga, melati, dan mawar yang Kirana duga semua didapatkan dari area persawahan yang dijadikan kebun bunga di Riverside.

"Terima kasih banyak, Bu Sari. Saya bahkan tidak sampai memikirkan untuk membawa bunga. Saya pikir di depan makam nanti ada pedagang yang akan menjual bunga." Kirana merasa malu dengan ketololannya. Ia seharusnya memikirkan hal itu.

"Hari Kamis dan Jumat yang selalu ada pedagang bunga berjualan, Mbak. Tidak seperti hari Minggu seperti saat ini."

Kirana mengangguk membenarkan.

"Mau jalan kaki apa diantar Pak Darto, Mbak?" Sari kembali berucap saat melihat suaminya mendekati mereka.

"Jalan kaki saja ya, Bu? Ibu tidak akan capek, kan?" Pertanyaan Kirana dijawab dengan tawa oleh Sari. Mana mungkin ia capek jika hanya berjalan ke area pemakaman umum di ujung desa itu. Setiap hari ia sudah terbiasa bekerja dan berjalan ke sana kemari di Riverside.

"Mbak Kirana mau ke mana?" Darto bertanya saat tiba di hadapan Kirana dan Sari. Pria itu menelisik penampilan majikannya yang terlihat cukup rapi.

"Mau ke makam, Pak," jawab Kirana pelan. Hal yang membuat Darto seolah membeku untuk sesaat. Setelah beberapa detik, pria itu terlihat mengulas senyuman sendunya. Hal yang tentu saja Kirana tahu maksudnya. Apa yang ia pikirkan sama dengan pria baya itu.

"Saya anterin ya, Mbak?" Pria itu kembali membuka mulut. Kirana tahu, pria itu mengkhawatirkannya. Namun, ia bukan orang yang begitu rapuh sehingga membutuhkan semua orang untuk menjaganya.

"Sudah ada Bu Sari, Pak, yang menemani."

"Beneran, nggak saya anterin juga?" tanya Darto ragu-ragu.

Kirana mengulas senyum penuh keyakinan. "Saya tidak apa-apa, Pak. Ayo, Bu Sari kita berangkat."

Anggukan Sari menjadi jawaban untuk Kirana. Gadis itu berpamitan pada Darto lalu berjalan meninggalkan Riverside. Satu tekad sudah tertanam dalam hatinya. Ia tak mungkin terus menerus menghindar. Ia harus menghadapi ketakutannya satu persatu. Dan hal pertama adalah mendatangi makam sang kakek dan Karina.

###
Nia Andhika
01 September 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top