5

Gemetar pelan ia rasakan. Ia masih ragu untuk mengetuk pintu kemudian masuk untuk menemui pria itu. Rasa tak nyaman dan rasa entah apa lagi masih menggelayuti dadanya. Ia belum siap. Tak mungkin akan siap.

Enam tahun tak bertegur sapa secara normal membuatnya kebingungan saat harus mulai kembali berbicara. Apa yang akan mereka bahas setelah ini?

Terakhir kali ia berbicara hanya di hari kakeknya meninggal hampir dua bulan lalu. Itupun hanya berbicara seperlunya. Setelah pemakaman sang kakek, ia tak berniat tinggal. Ia langsung kembali ke Jakarta dengan alasan ada pekerjaan penting yang tak bisa ia tinggalkan setelah beberapa hari mengambil cuti untuk bisa menemani sang kakek di rumah sakit. Kebohongan yang sudah pasti membuat semua orang mencibirnya. Di saat sang kakek mulai sakit-sakitan di hari tuanya, ia tak pernah ada di sisi pria itu bahkan ia hanya datang di detik-detik terakhir sebelum pria tua itu mengembuskan napas terakhirnya. Benar-benar cucu durhaka. Namun, Kirana yakin. Sang kakek memaklumi sikapnya. Pria tua itu tahu betapa besar rasa cintanya kepadanya.

Sibuk dengan lamunannya membuat Kirana tak menyadari jika pintu di depannya terbuka. Menampakkan sosok yang beberapa saat lalu ia temui di sungai berbatu di bawah sana.

Kirana berjengit kaget, mendongak lalu refleks mundur dua langkah. Memberi jarak pada sosok menjulang di hadapannya.

"Kenapa tidak langsung masuk?" Suara dalam itu terdengar, detik berikutnya pria itu berbalik untuk berjalan kembali memasuki ruangan sambil melebarkan pintu. Seolah meminta Kirana untuk mengikutinya.

Kirana menelan ludah gugup. Setelah menarik napas berulang kali akhirnya ia mengikuti langkah pria itu.

Pria itu berjalan menuju sofa berukuran besar di tengah ruangan. Menghadap pada layar televisi yang menempel di dinding. Sekilas Kirana memuji pilihan pria itu. Bungalo ini jelas terasa lebih nyaman dan lebih hangat dari yang Kirana tempati. Mungkin karena tempat ini selalu pria itu huni. Seperti yang Darto sampaikan beberapa jam lalu saat ia baru saja tiba.

"Duduklah, atau mungkin kamu ingin melihat pemandangan dari samping." Pria itu berjalan menuju pintu samping yang terbuka. Mau tak mau Kirana pun mengekor. Ia ingin mengetahui sudut-sudut ruangan bangunan ini.

"Sungainya terlihat jelas dari sini," tunjuk pria itu pada sungai berbatu di bawah sana. Seketika Kirana mengernyit. Pemandangan sungai di bawah sana terlihat jelas meskipun dari kejauhan. Jangan-jangan pria itu tadi melihatnya dari tempat ini. Makanya dia tahu dan mendatanginya.

Kirana hanya bergumam tak jelas lalu kembali memasuki ruangan. Tanpa dipersilakan ia duduk di kursi yang difungsikan sebagai kursi meja makan mungil yang menyatu pada dapur yang sekali lihat saja Kirana tahu tak pernah digunakan.

Tentu saja tidak pernah digunakan, ada begitu banyak pekerja di tempat ini yang bisa menyajikan apapun yang pria itu inginkan dari dapur restoran yang tak pernah berhenti menyajikan hidangan-hidangan lezat yang hampir semuanya menjadi favorit Kirana saat ia masih di tempat ini enam tahun lalu.

Pria itu berjalan mendekat lalu duduk tepat di kursi di hadapan Kirana. Terpisah oleh meja makan mungil yang seolah semakin mengecil saat pria itu meletakkan tangannya yang besar dan kokoh di atasnya.

Kirana kebingungan, semua ini terasa begitu canggung. Setelah peristiwa enam tahun lalu, ia tak pernah berada dalam posisi sedekat ini dengan pria itu. Apalagi hanya berdua saja seperti saat ini.

"Jam berapa kamu tiba? Kenapa tidak memberi tahu agar dijemput di bandara?" Pria itu berucap memecah kecanggungan yang menyelimuti mereka.

Kirana mengangkat pandangan yang sejak pria itu duduk di depannya ia hanya menunduk sambil menggenggam jemarinya di atas meja.  Saat tatapan mereka bertemu, Kirana membuang pandangan.

"Banyak taksi yang bisa mengantar." Benar kan yang ia katakan? Untuk apa merepotkan Darto atau juga pekerja lainnya di tempat ini jika ia bisa dengan begitu mudah pulang. Toh ia sudah sampai dalam keadaan selamat.

"Sudah malam. Lebih aman jika kamu dijemput." Nah. Benar kan yang Kirana duga.

"Tapi aku sampai detik ini baik-baik saja." Kecuali perasaanku. Ingin sekali Kirana menambahi jawabannya. Namun, tentu ia tak akan begitu berani mengatakannya.

"Nanti malam tidurlah di rumah."

Kirana seketika memandang pria di depannya itu. Ia ingin melihat ekspresi apa yang terlihat di sana.

"Pulanglah." Ucapan pria itu terdengar memohon. Kirana hendak menjawab tapi ketukan terdengar dari pintu depan. Tak lama kemudian dua orang pekerja memasuki ruangan dengan membawa makanan lalu menatanya di depan Kirana. Setelah menghidangkan makanan, mereka pun berlalu meninggalkan Kirana hanya berdua saja dengan pria itu.

"Ayo makan." Pria itu mulai menyuapkan makanan ke mulutnya. Tak ada kelanjutan dari hal yang mereka bahas sebelumnya. Kirana mengangguk menanggapi ucapan pria itu.

"Sekarang masih pagi. Kamu bisa sakit perut kalau makan itu." Suara pria itu terdengar setelah beberapa saat yang terdengar hanyalah denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring.

Kirana hanya menanggapi dengan anggukan pelan tanpa mengarahkan pandangan pada si lawan bicara. Dan sepertinya pria itupun mengerti dengan kebungkaman Kirana. Ia menikmati sarapan dalam keheningan.

Setelah menikmati pencuci mulut Kirana berniat bangkit dari kursi yang ia duduki. Namun, ucapan pria itu menghentikan gerakan Kirana.

"Apa kamu baik-baik saja?"

Kirana membeku sejenak lalu menganggukkan kepala. Saat akan kembali bangkit suara pria itu kembali menghentikan gerakannya. Membuatnya tetap duduk di kursinya seperti semula.

"Pulanglah. Kamu pasti merindukan rumah, bukan?"

Kirana terdiam sejenak. Memilih kalimat yang ingin ia lontarkan.

"Aku akan pulang, tapi saat ini aku ingin di sini dulu."

"Maafkan, aku." Suara pria itu terdengar pelan penuh nada kesakitan. Membuat Kirana merasakan nyeri yang sama.

"Minta maaf untuk apa? Tidak ada hal yang salah yang kamu lakukan."

"Na, sel---"

"Aku mau kembali ke kamar. Mungkin Pak Darto sudah menyuruh seseorang untuk merapikan baju-bajuku." Kirana seketika bangkit dari kursi, berusaha memotong apapun yang akan keluar dari mulut pria itu. Ia tak ingin mendengar apapun. Tak ingin merasakan gamang yang acap kali menderanya.

"Terima kasih atas sarapannya." Dengan kalimat itu Kirana beranjak dari meja makan mungil ini kemudian berderap menyeberangi ruangan menuju pintu keluar. Namun, belum sempat kakinya berjalan terlalu jauh, langkahnya seketika terhenti. Genggaman erat seketika ia rasakan di tangannya.

"Jangan seperti ini terus, Na. Jangan terus menerus menghindariku!"

Kirana membalik tubuhnya menghadap sosok yang telah menarik tangannya. Perlahan dilepaskannya tangan pria itu dari pergelangan tangannya. Lalu ia beranikan diri menatap pria dengan tubuh menjulang itu.

"Siapa yang menghindarimu? Tidak ada yang menghindarimu."

Sorot terluka yang muncul di wajah pria itu seketika membuat dada Kirana berdenyut sakit. Apakah ia sudah keterlaluan? Apakah ia berhak menumpahkan semua rasa sakitnya pada pria ini? Pria yang sebenarnya tak layak untuk mendapatkan sikap buruk Kirana. Pria itu tak tahu apa-apa. Tak tahu jika dirinya begitu memujanya.

"Apakah kita bisa bicara baik-baik? Bahkan kamu sudah memanggilku dengan 'kamu'." Beberapa saat setelah kebisuan menelan mereka akhirnya pria itu berucap, menekan kata kamu di akhir kalimatnya. Hal yang pada akhirnya membuat Kirana menurunkan egonya dengan menganggukkan kepala.

Kirana akhirnya mengikuti langkah Narendra kembali memasuki ruangan lalu duduk di sofa menghadap televisi yang tak menyala.

"Tak bisakah kita seperti dulu lagi?" ucap Narendra setelah kebisuan menelan mereka dan Kirana sepertinya enggan membuka mulutnya.

"Kita sudah seperti dua orang asing sejak lebih dari enam tahun lalu. Tidakkah kamu merindukan masa-masa itu?"

Kirana menyunggingkan senyum masam.

"Kamu berpikiran terlalu jauh, Mas. Aku tidak pernah menghindarimu."

Desahan napas keras terdengar dari pria yang pagi ini terlihat gagah dengan polo shirt berwarna hitam itu. Hal yang semakin menonjolkan kekokohan lengan juga dada bidang yang sudah enam tahun lebih tak pernah ia rasakan.

"Jangan memanggilku dengan panggilan itu. Aku muak mendengarnya. Kamu berubah setelah memanggilku dengan panggilan sialan itu."

Kirana menaikkan sebelah alisnya. Apa yang baru saja pria itu katakan? Muak? Akhirnya Kirana tak mampu menahan decakannya.

###

Nia Andhika
03082022

Ada yang bingung bacanya nggak? Loncat2 kan? Semoga saja nggak ada yg bingung😅😅

Kira2 apa sih yang bikin mereka nggak akur lagi? Tulis jawaban teman2 biar rame ya🤭🤭🤭

Mampir juga ke lapak Resolusi Hati, ya. Mayan, sudah ada 8 bab di sana.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top