24

Sudah ikutan PO, belum?
Jangan sampai ketinggalan, ya. Riverside bisa dipesan di 0877-3283-3332 atau Shopee samuderaprinting2. Pesan di marketplace langganan teman-teman juga, bisa.

###

Hari berlalu dengan begitu cepat dan menyenangkan bagi Kirana. Setiap hari ia mengekori Nazril bekerja. Pria itu adalah sosok yang menyenangkan dan penuh kejutan. Selama enam tahun belakangan Kirana hanya berhubungan dengan pria metropolitan pekerja kantoran yang selalu berpenampilan rapi dengan setelan kerja dan kebanyakan mengenakan dasi. Jauh berbeda dibandingkan Nazril. Setiap hari baju yang melekat ditubuhnya berkisar antara celana kargo, kaus, polo shirt, Hoodie, atau paling rapi adalah celana chino dan kemeja. Itupun jika kebetulan pria itu harus menemui tamu atau terpaksa membahas kerja sama dengan orang-orang dari instansi pemerintah atau tamu formal lainnya. Selebihnya pria itu akan terlihat santai.

Beberapa hari sebelumnya Kirana telah melakukan pengambilan gambar dan video di ayunan. Yang disusul keesokan harinya ia mencoba merasakan arus yang tenang saat river tubing. Tak berhenti di sana, beberapa kali Kirana bersama pria itu melihat kebun durian dan merasakan rasa manis dari buah berduri itu, ke peternakan sapi perah, bahkan satu kali ikut ke salah satu kantor pemerintah saat pria itu membahas kerja sama kegiatan family gathering untuk kantor tersebut.

Narendra mengizinkan Nazril mengantarkannya ke mana saja meskipun kadang kala hal itu bisa menunda pekerjaan yang seharusnya Nazril lakukan. Mungkin Narendra mengizinkannya agar Kirana merasa betah di Riverside. Ya, itulah yang Kirana sempat pikirkan.

Hingga hari itu pun tiba. Malam menjelang pembukaan spot baru Riverside esok hari. Malam ini semua persiapan sudah nyaris seratus persen. Undangan untuk para tamu pun juga sudah tersebar beberapa hari sebelumnya. Bungalo tak menyisakan satu pun kamar yang kosong. Belasan tenda juga telah terpasang mengikuti kontur tanah di bawah pepohonan pinus. Sama halnya dengan bungalo, tenda-tenda itu pun juga sudah ada penghuninya. Sejak siang hingga sore tadi para tamu sudah mulai berdatangan untuk menghabiskan akhir pekan mereka di Riverside. Membuat semua pekerja harus bekerja ekstra cepat untuk melayani mereka semua.

Beberapa tenaga lepas yang semuanya adalah warga desa sekitar juga telah berdatangan sejak siang. Kebanyakan di antara mereka adalah para remaja yang biasanya menghabiskan hari libur mereka dengan bekerja di Riverside. Sebagian lagi ibu rumah tangga dan para pria yang menginginkan penghasilan tambahan.

Kirana berjalan pelan mengikuti langkah dua orang pria di depannya, Narendra dan Nazril. Kedua pria itu berkeliling mengecek semua persiapan untuk besok pagi. Tak ada kursi layaknya undangan pada umumnya, yang ada adalah bangku-bangku kayu dari kayu gelondong yang telah dibelah dua. Meja pun terbuat dari bahan yang sama. Benar-benar ciri khas Riverside. Menyatu dengan alam.

Tak ada tenda undangan yang dipasang di sana. Semua orang akan bebas melihat gagahnya gunung di sebelah utara dan selatan Riverside. Birunya langit juga akan terlihat jelas saat esok hari. Benar-benar pemandangan yang pasti akan memanjakan mata. Kirana yakin, setelah pembukaan spot outdoor esok hari, Riverside akan semakin ramai dikunjungi meskipun di mana-mana bermunculan kafe, vila, dan tempat tongkrongan baru.

Lelah mengikuti kedua pria itu yang berkeliling naik turun petak demi petak area perkemahan hingga ke plengsengan dan titik akhir river tubing, Kirana akhirnya duduk di salah satu bangku kayu. Kopi yang sejak tadi ia bawa dalam mug akhirnya ia hirup aromanya sebelum akhirnya meneguknya pelan. Sebelum mengikuti Narendra dan Nazril, Kirana tadi sempat meminta kopi buatan Darto. Kopi hitam pekat yang ditambahi jahe di dalamnya. Kirana masih menyukainya meskipun enam tahun ini tak sekalipun ia pernah mencicipinya.

Kirana meletakkan mug lalu mengarahkan pandangan pada dua orang pria yang terlihat serius berbincang. Senyum samar tersungging di bibir gadis itu. Dua orang pria berbeda usia itu memiliki perbedaan aura yang begitu mencolok selain tentu saja perbedaan usia.

Nazril dengan wajah bersahabat dan terkesan sedikit jahil mendekati badung itu selalu terlihat menyunggingkan senyumannya. Berbeda dengan Narendra yang terkesan serius, sedikit datar dan berwibawa. Mungkin jika dalam kondisi normal, Kirana akan menyukai pria-pria seperti Nazril. Pria yang menurut Kirana mudah terbaca isi hatinya. Tidak seperti Narendra. Dulu mungkin Kirana merasa tahu apa saja yang ada pada diri Narendra, tapi ia salah. Kejadian lebih dari enam tahun lalu menjadi buktinya. Ia sama sekali tak mengenal Narendra meskipun separuh hidupnya ia habiskan bersama pria itu. Tak hanya Narendra, tapi juga Karina. Ya, mereka berdua memang benar-benar pasangan penuh misteri bagi Kirana.

Kirana mengembuskan napas lelah. Sejenak ia memejam lalu merutuk dalam hati. Kenapa setiap ia berpikir dan merenung yang muncul selalu hal yang sama. Narendra. Dan.... Tentu saja Karina. Seketika saja Kirana kembali muram.

"Mbak, kalau mengantuk, kembali saja ke rumah. Saya antar duluan. Biar Pak Rendra nanti pulangnya sama Pak Ali." Suara Darto mengusik lamunan Kirana. Gadis itu seketika menolehkan kepala pada pria yang telah berdiri di sisinya. Saking seriusnya ia melamun sampai tak menyadari jika sudah ada sosok yang mendatanginya.

"Nggak usah, Pak. Saya masih belum mengantuk, kok. Lagi pula kopi Pak Darto bikin mata saya melotot." Kirana mengangkat mug yang belum habis isinya sambil mengulas senyuman. "Eh Pak Darto bawa apa?" Kirana memandang penasaran pada piring yang dipegang Darto.

"Nah ini tadi saya bawain buat Mbak Kirana. Tapi kok kelihatannya Mbak sudah agak ngantuk." Darto meletakkan piring besar dan botol air mineral berukuran sedang yang ia bawa di atas meja kayu di hadapan Kirana. Seketika mata Kirana berbinar.

"Ya ampun dapat wader dari mana, Pak? Sudah berapa tahun saya tidak makan ini, ya?" Kirana seketika mengambil ikan berukuran mungil itu lalu mencelupkannya pada sambal yang tersedia dalam cawan kecil. Rasa pedas bercampur asam dan manis menyatu dengan gurihnya ikan yang digoreng hingga renyah itu.

"Ini enak banget." Lagi-lagi Kirana menyuapkan ikan itu ke mulutnya. "Eh ayo makan juga, Pak. Enak banget."

Darto hanya mengulum senyum. Pria itu lalu mengambil duduk di hadapan Kirana. Terhalang oleh meja kayu di hadapan mereka.

"Saya tadi sudah. Dimakan sama nasi. Mbak makan saja. Atau perlu saya ambilkan nasi?" tanya pria baya itu dengan senyuman yang tak lepas dari bibirnya.

"Nggak usah, Pak. Ini sudah cukup. Saya tadi sudah makan. Oh, ya. Siapa yang dapat ikan ini?" Kirana mengulang pertanyaannya.

"Tadi ada warga yang menjaring di sungai di bawah sana. Sewaktu pulang orangnya lewat sini. Kebetulan ada Pak Rendra jadi ikannya langsung dibeli lalu menyuruh Sari masak ini buat Mbak. Di kulkas masih banyak kok, Mbak. Besok kalau mau masih bisa dimasakin sama Sari."

Mendengar penjelasan Darto, satu sudut hati Kirana terasa kebas. Sari, ia ingat, hingga detik ini ia masih tak bertegur sapa dengan wanita itu. Ia masih sakit hati. Namun, ia tak mampu mengabaikan jika ucapan wanita itu adalah suatu kebenaran. apakah ia harus meminta maaf pada wanita yang sudah merawatnya sejak kecil itu? Ataukah ia hanya perlu bersikap dan mulai menyapa seperti biasa? Ah ia makin merasa bersalah. Apalagi Narendra juga setiap hari terlihat begitu perhatian kepadanya meskipun ia berusaha tidak terlalu banyak berinteraksi dengan pria itu.

"Kalau itu gampang, Pak. Nanti saya bisa bilang Bu Sari." Akhirnya kalimat itulah yang bisa Kirana ucapkan. Kalimat yang paling aman yang biasa ia lontarkan.

"Tamu kita overload, ya, Pak. Alhamdulillah." Setelah hening beberapa saat Kirana kembali berucap.

"Hampir setiap akhir pekan, kita memang ramai, Mbak. Apalagi dengan semakin banyak tempat-tempat baru yang ditawarkan Riverside." Darto menjawab sambil mengarahkan pandangan pada Nazril dan Narendra yang masih terlihat berbicara di kejauhan. "Pak Rendra seolah tak mengenal istirahat saat menyebut Riverside. Waktu beliau lebih banyak dihabiskan di sini. Dalam satu minggu, hanya sesekali beliau pulang."

Kirana menghentikan kunyahannya, gadis itu memandang Darto sekilas lalu mengikuti arah pandang pria baya itu.

"Tidak ada jam khusus untuk bekerja bagi Pak Rendra. Jam segini masih wajar jika beliau belum tidur. Tak jarang beliau ikut berkeliling bersama saya saat dini hari demi mengecek situasi bungalo. Bahkan kami sering kali bercakap-cakap hingga menjelang subuh."

Kirana tak menyahut apa yang Darto ucapkan. Ia hanya memasang telinga sambil terus menikmati gurihnya ikan di mulutnya.

"Saya bersyukur Mbak sudah bersedia pulang. Bahkan mau tinggal di rumah. Hal itu adalah keputusan terbaik. Saya harap Mbak Kirana akan selalu berbahagia dengan apapun jalan yang Mbak pilih."

Kalimat itu perlahan membuat Kirana tak mampu menelan makanan dalam mulutnya. Rasa haru juga letupan suka cita memenuhi dadanya. Apalagi di saat bersamaan sosok Narendra berjalan mendekat. Senyum pria itu tercetak, samar tapi terlihat begitu bahagia. Membuat Kirana tanpa sadar melakukan hal yang sama. Dan entah kenapa semakin dekat jarak pria itu dengan dirinya, Kirana semakin merasakan debaran itu lagi. Debaran suka cita seperti dulu. Sebelum peristiwa lebih dari enam tahun lalu. Debaran tanpa beban. Ralat, mungkin beban itu telah berkurang.

"Kamu sudah ngantuk, An?" Pria itu membuka mulut saat sudah menghempaskan diri tepat di sisi Kirana. Berhadapan dengan Nazril yang bersebelahan dengan Darto. Tak berhenti di sana, pria itu mengambil satu buah ikan, mencolekkan ke dalam sambal lalu memasukkan ke mulut.

Kirana hanya memberikan gelengan untuk memberikan jawaban.

"Ini pedas banget. Kamu bisa sakit perut." Narendra meraih air mineral yang telah berkurang isinya karena diminum Kirana. Pria itu meneguknya dengan santai tanpa memedulikan Kirana yang membelalakkan mata.

"Kalau kamu sudah selesai ayo kita pulang. Besok kamu harus bangun pagi. Ingat! Acaranya dimulai pukul sembilan." Narendra kembali berucap lalu mengarahkan pandangan pada Nazril. "Kamu bisa istirahat sekarang, Ril. Siapkan energi kamu untuk besok. Pak Darto juga. Jangan begadang. Pulang ke rumah saja. Jangan menginap di sini. Sudah banyak orang yang berjaga. Bu Sari ajak juga."

"Masih sore kalau pulang sekarang, Pak. Nanti saya malah tidak bisa tidur kalau pulang sekarang. Mas Nazril saja yang duluan. Besok kan pasti kerja berat." Ucapan Darto dihadiahi senyuman oleh Nazril. Pria itu pun akhirnya berpamitan pulang yang diikuti oleh Darto. Meninggalkan Kirana dan Narendra hanya berdua saja dibawah redupnya cahaya lampu pijar yang menggantung di antara pohon pinus.

"Ayo cepat habiskan. Biar kita bisa segera pulang." Narendra kembali memasukkan ikan di piring Kirana ke mulutnya. Entah kenapa mereka seolah beradu kecepatan menghabiskan ikan-ikan itu hingga tak sampai lima menit kemudian isi piring Kirana telah bersih. Mereka bangkit dari bangku kayu lalu bergegas ke dapur untuk mengembalikan piring. Setelahnya Kirana mengekori Narendra menuju bungalonya.

"Undangannya sudah benar-benar terkirim semua, kan?" Narendra bertanya saat mereka berjalan pelan menyusuri jalanan yang diapit krisan yang bermekaran di bawah temaram lampu pijar.

"Sudah. Kemarin terakhir undangan diantarkan. Itu pun karena berkali-kali didatangi tapi tidak ada orang." Kirana adalah orang yang bertanggung jawab mengurus undangan untuk tamu yang akan datang pada pembukaan sarana outdoor kali ini. "Sepertinya kita harus menyediakan piring tambahan." Kirana kembali berucap setelah sejenak terdiam. Membuat Narendra menghentikan langkah yang diikuti oleh Kirana.

"Untuk? Kita kan selalu melebihkan jumlah makanan. Bahkan sisanya selalu bisa dibawa pulang oleh para pekerja. Kenapa harus menyediakan piring tambahan lagi?"

"Karena Pak Kades sepertinya tidak hanya datang dengan istrinya saja, tapi juga dengan anak bungsunya." Sedetik setelah mengucapkan kalimat itu Kirana merasa benar-benar menyesal. Entah kenapa lidahnya tidak bisa dijaga dan justru melontarkan kalimat menjijikkan itu.

###

Nia Andhika
06042023

Gimana... Gimana... Hasil penerawangan teman-teman? Bab berikutnya kira-kira gimana?

Btw kalau teman2 ada yg follow ig saya, mungkin akan tahu foto2 yang saya masukin berasal dari mana. Eheeee.... Anggap aja salah satu sudut Riverside. Siapa tahu juga ada di antara teman2 yang sudah pernah nyampe. 😁😁😁

Oh ya, adakah yang mau bagi-bagi TeHaeR?

Atau mungkin mau kirim bingkisan ke rumah penulisnya dipersilakan🤣🤣🤣🤣🤣 Mumpung hampir lebaran.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top