18
Mana bintangnya?
Mana suaranya?
Happy reading!
###
Kirana memandang lekat sosok Narendra yang juga balas menatapnya. Pria itu seolah tak memiliki beban setelah mengatakan kalimat sialan itu. Sudah lupakah pria itu pada keinginan-keinginan Kirana beberapa waktu lalu. Atau lebih tepatnya tadi malam mereka bahkan membahas hal ini. Karena enggan berdebat, Kirana melanjutkan langkahnya tanpa sedikit pun membuka mulut. Biarkan saja pria itu menerka-nerka isi kepalanya.
Empat puluh lima menit kemudian makanan yang sebelumnya Kirana pesan pun datang. Dua orang pekerja yang membawa makanan itu ke rumah lalu setelah menatanya di meja makan, mereka pun kembali ke Riverside. Membuat Kirana harus membereskan meja makan sendiri lalu mencuci piring-piring kotor bekas makan siangnya dan Narendra.
Saat tangannya bergerak untuk menyabun peralatan kotor di depannya, tanpa Kirana duga, rambutnya yang menjuntai terasa disibak lalu tertarik ke belakang. Sontak saja Kirana terkejut dan tanpa sengaja melepas piring yang masih berlumuran sabun itu ke dalam bak pencucian. Untung saja benda itu tidak sampai pecah
"Aku cuma mau mengikat rambut kamu agar tidak mengganggu." Suara Narendra terdengar jelas di belakang tubuh Kirana. Membuat jantung gadis itu berdetak oleh rasa terkejut dan perasaan yang begitu familiar di dadanya. Kirana memejam sejenak, mengusir apapun itu yang bercokol di dadanya. Saat ia membuka mata, tubuh Narendra telah menjauh. Pria itu berjalan meninggalkan Kirana di dapur sendirian tanpa kata. Benar-benar sulit dipercaya.
Entah apa yang sebenarnya terjadi pada pria itu. Sesaat lalu pria itu seolah kembali menjadi pria yang hangat seperti dulu. Namun, di detik berikutnya berubah beku seperti mereka adalah dua orang asing yang terpaksa bertemu di tempat yang sama. Seperti yang terjadi pada mereka selama enam tahun terakhir.
Kirana mengabaikan tanya dalam hatinya. Setelah menenangkan degup jantungnya, ia segera melanjutkan pekerjaannya. Mencuci peralatan makan yang nyaris saja pecah karena ulahnya. Mungkin Narendralah yang patut disalahkan karena mengagetkannya.
***
Perkiraan Narendra tadi pagi ternyata terbukti. Saat hari menjelang sore, sejumlah warga desa mulai berdatangan ke rumah Kirana. Begitulah kehidupan di desa. Rasa peduli antara satu dengan lainnya begitu kuat. Saat kabar kecelakaan yang dialami oleh Narendra tersebar, semua orang pasti berkeinginan membesuk untuk mengetahui kabarnya. Maka Kirana pun berperan sebagai tuan rumah yang baik. Menyuguhkan camilan dan minuman untuk para tamu juga bertamah tamah dengan mereka semua. Hal yang sudah bertahun-tahun tak pernah ia lakukan.
Awalnya ia merasa canggung. Apalagi jika warga yang menanyakan tentang dirinya yang selama ini menghilang. Namun, kehadiran Narendra yang selalu mampu membawa suasana tetap nyaman lama kelamaan membuat Kirana terbiasa. Hingga saat hari beranjak malam, tamu masih seolah tak berhenti datang. Kirana dan Narendra bahkan hampir melewatkan makan malam mereka karena terlalu lelah. Kirana bahkan belum sempat membereskan meja makan setelah ia dan Narendra makan malam saat dirinya begitu kelelahan lalu merebahkan tubuh di sofa ruang keluarga. Biarlah Sari atau Darmi yang akan melakukannya saat mereka nanti datang dari Riverside.
***
Kirana merapatkan selimut yang menutupi tubuhnya, udara terasa begitu dingin, apalagi di luar sana. Pasti lebih membekukan tulang. Namun, ia beruntung selimut yang membungkusnya mampu mengusir hawa dingin itu.
Selimut...
Kirana membuka matanya lalu mengerjab.
Kenapa ia bisa mengenakan selimut?
Bukankah ia merebahkan tubuhnya di sofa setelah kelelahan menerima tamu-tamu yang menjenguk Narendra. Bahkan ia tak menunggu makan malam yang ia nikmati untuk dicerna oleh perutnya. Ia ambruk di sofa dan sepertinya tertidur.
Kirana mengedarkan pandangan ke sekeliling. Benar. Ia masih di ruang keluarga meskipun lampu yang semula terang kini berganti temaram. Disibaknya selimut tebal berbulu halus dari tubuhnya. Benar. Udara membekukan tulang seketika menyergapnya. Ia pun kembali membungkus tubuhnya dengan selimut hangat itu.
Otak Kirana kembali bekerja. Siapa yang telah menyelimutinya? Apakah Darmi dan Sari sudah pulang? Kenapa mereka justru menyelimutinya, alih-alih membangunkan.
Kirana mencoba bangkit dengan selimut yang masih membungkusnya. Saat itulah pandangannya jatuh pada sosok yang terlihat duduk bersandar pada sofa tunggal tak jauh dari Kirana.
Kirana mengarahkan pandangan pada jam dinding raksasa yang berdiri di sudut ruangan lalu pada televisi di hadapannya yang menayangkan pertandingan sepak bola. Pukul dua. Jadi ia cukup lama tertidur. Lalu pria itu? Dini hari seperti ini pria itu masih menyaksikan pertandingan sepak bola. Apakah ia tidak merasa lelah atau pun mengantuk?
Akhirnya mau tak mau Kirana bangkit dari sofa lalu berjalan mendekat. Sepertinya ia harus pindah ke kamar untuk melanjutkan tidurnya.
"Om, aku..." Kalimat Kirana tak lagi berlanjut saat ia sadar jika pria itu ternyata memejamkan mata. Pria itu tertidur. Pasti karena kelelahan. Sejenak Kirana menimbang hingga akhirnya kembali ke sofa setelah sebelumnya memperbaiki posisi selimut---untuk menutupi tubuh pria itu---yang merosot hingga ke lututnya. Tak lupa ia matikan televisi lalu kembali meringkuk di bawah selimut nyaman untuk melanjutkan tidurnya.
***
Harum aroma bawang yang digoreng tercium oleh Kirana yang meregangkan tubuh setelah membuka mata. Suara spatula beradu dengan penggorengan pun tertangkap pelan oleh telinganya. Pasti Sari mulai menyiapkan menu sarapan untuk semua orang di rumah ini. Kirana bangkit perlahan mencoba untuk duduk dan menyesuaikan pandangannya yang masih sayu pada ruangan berpencahayaan temaram itu. Tak lama, tatapannya beradu pada sofa tunggal yang semalam diduduki Narendra. Sofa itu kosong. Tak ada Narendra di sana.
Kirana mengarahkan pandangan pada jam raksasa di yang berdiri sudut ruangan. Pukul setengah lima. Pasti Narendra sudah terlebih dahulu bangun dan kembali ke kamarnya. Pria itu selalu bangun bahkan sebelum subuh. Ia pun segera bangkit lalu membawa selimut bersamanya.
Tiga puluh menit kemudian Kirana sudah kembali dari kamarnya dengan wajah segar. Ia menolehkan kepala ke ruang keluarga sebelum beranjak ke dapur. Tak ada Narendra di ruangan itu. Pasti pria itu masih di kamarnya. Ia pun melanjutkan langkah ke dapur bergabung dengan Sari dan Darmi.
"Kemarin banyak tamu yang datang, ya, Mbak?" Suara Darmi terdengar saat Kirana memasuki dapur.
Kirana mengangguk. "Sudah kayak orang datang haji, Budhe. Capek banget."
"Tuh, kan, Yu Sari. Aku ngomong opo. Akeh dayoh. Sakjane awak dewe mulih. Tapi sampeyan gak gelem."(¹) Darmi terlihat sebal dengan rekannya itu.
"Aku wes ngomong nang Pak Rendra. Wonge gak gelem. Jare wes iso diatasi. Padahal di Riverside wes akeh arek-arek pekerja lepas. Awak dewe di sana juga nggak banyak pekerjaan."(²) Sari membela diri. "Setidaknya Mbak Kirana berkesempatan merawat Pak Rendra. Bahkan saat Pak Rendra masih kesulitan berjalan, beliau masih berusaha mengambil selimut buat Mbak Kirana di kamarnya." Kini Sari mengalihkan pandangan ke Kirana. Gadis itu yang awalnya seolah tuli dan tak memedulikan kalimat Sari. Seketika melebarkan mata. Jadi bukan Sari atau Darmi yang menyelimutinya?
"Bu Sari masak apa? Harum banget aromanya." Kirana tahu pertanyaannya begitu menggelikan bahkan di telinganya sendiri.
"Oseng-oseng pakis. Nanti dimakan sama gurami bakar dan sambal." Sari menjawab dengan sedikit enggan. Tahu jika Kirana mulai mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Mi, susu jahe ne Pak Rendra wes mari? Biar Mbak Kirana yang nganter."(³) Sari kembali berbicara dengan Darmi.
"Wes, Yu."(⁴) Darmi mengambil nampan. Sambil meletakkan cangkir berisi dua gelas susu jahe ke atas nampan, wanita itu kembali berucap, "Ini, Mbak Kirana bawa ke kamar bapak. Hari ini tidak usah minum kopi dulu. Susu saja. Yang satunya punya Mbak Kirana. Oh ya, Mbak jangan lupa tanyakan sekalian apa beliau baik-baik saja. Soalnya semalaman Pak Rendra tidur sambil duduk menemani Mbak Kirana. Kalau bapak masuk angin lagi seperti kemarin, bisa dibaluri minyak kayu putih terus kasih ini." Sari menaruh satu sachet cairan herbal penolak angin di atas nampan.
"Sekalian roti bakarnya, Mi." Sari menginterupsi.
"Oh iya. Ini juga." Darmi kembali meletakkan piring kecil berisi beberapa keping roti bakar hangat yang aromanya begitu menggiurkan. "Biasanya Pak Rendra habis salat subuh sudah makan sesuatu. Rotinya bisa Mbak Kirana makan bersama bapak."
Kirana berdecak mendengar kalimat panjang lebar kedua wanita itu. Namun, ia tak membantah satu kata pun.
"Sekarang, Mbak. Nanti kalau Mbak Kirana nggak segera nganterin, Pak Rendra bisa keluyuran. Kasihan kakinya kan masih belum pulih sepenuhnya." Darmi kembali berucap. Membuat Kirana memberengut seketika. Akhirnya ia bangkit dari kursi dapur lalu meraih nampan yang telah Darmi sodorkan. Tanpa kata ia pun pergi meninggalkan kedua wanita itu. Membuat Darmi dan Sari seketika mengembuskan napas lega.
###
1. "Tuh, kan, Yu Sari. Aku bilang apa. Banyak tamu. Seharusnya kita pulang. Tapi kamu tidak mau."
2. "Aku sudah bilang ke Pak Rendra. Beliau tidak mau. Katanya sudah bisa diatasi. Padahal di Riverside sudah banyak pekerja lepas. Kita di sana juga tidak banyak pekerjaan."
3. "Mi, susu jahenya Pak Rendra sudah siap? Biar Mbak Kirana yang mengantar."
4. Sudah, Yu.
###
Nia Andhika
22022023
Friends. Yang pengen pelukin Riverside, siap-siap, ya. Bentar lagi bakal muncul nih.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top