17
"Ampuni aku, Kek. Maafin aku. Aku tidak menyangka karena kesalahanku membuat Karina menginggalkan kita semua. Ampuni aku, Kek!" Isak tangis menyayat terdengar dari seorang gadis yang memeluk kaki seorang pria tua yang tampak menyandarkan tubuhnya pada sofa di kamar yang saat itu terlihat begitu suram. Suasana duka itulah yang menyebabkan semuanya begitu suram. Satu kehidupan telah diambil Yang Maha Kuasa, membuat semua orang yang menyayanginya merasakan begitu kehilangan.
"Jika bisa, aku akan bertukar nyawa dengan Karina. Semua ini salahku. Aku yang begitu egois. Aku menyesal, Kek. Ampuni aku." Lagi-lagi suara serak itu kembali terdengar. Hal yang sama sejak bermenit-menit yang lalu dan entah akan kapan berakhir.
Pria tua itu hanya mampu menerawang. Mulutnya tak bisa berucap satu patah kata pun. Rasa kehilangan, luka, syok semuanya bercampur aduk membuatnya tak tahu harus bagaimana. Beberapa jam lalu, tepatnya sore tadi salah satu cucu kesayangannya menyatu dengan tanah. Wanita cantik itu pergi untuk selama-lamanya setelah dini hari tadi mengembuskan napas terakhirnya. Dan hingga detik ini ia masih begitu syok atas kepergian mendadak cucunya itu.
Apalagi sehari sebelumnya ia seolah mendapatkan pukulan saat tahu kenyataan yang sama sekali luput dari perhatiannya yang menyebabkan sang cucu mendapatkan musibah hingga akhirnya terpejam tak sadarkan diri di rumah sakit. Semuanya benar-benar membingungkan. Membuat otaknya tak mampu mengurai benang kusut yang terjadi dalam keluarganya. Semuanya begitu tiba-tiba.
"Kakek, jawab aku, Kek. Maafin aku. Aku janji tidak akan melakukan kesalahan lagi. Aku tahu hal itu tidak akan membuat Karina kembali, tapi aku harap Kakek mau memaafkan aku." Gadis itu kembali mengiba. Membuat seorang pria yang sejak tadi juga berada di ruangan itu mendekat. Keadaan pria itu tak jauh berbeda dengan Kirana, gadis yang masih memeluk kaki sang kakek. Pria itu menekuk lututnya di samping Kirana demi bisa berbicara.
"Beri kakek waktu. Kakek masih bingung dengan semua ini. Kita semua berduka, semuanya merasa kehilangan. Ayo, aku antar ke kamar untuk beristirahat. Kakek juga butuh istirahat. Kalian tidak boleh sampai sakit." Pria itu, Narendra meraih tangan Kirana. Berusaha membawa gadis itu untuk bangkit. Namun, gadis itu menggeleng kuat. Ia tak mau melepas belitannya pada kaki sang kakek.
"Kakek butuh istirahat, An. Jangan sampai kakek sakit. Pikirkan kondisinya juga. Kamu juga sama. Tadi kamu pingsan sampai dua kali. Kita semua butuh istirahat."
Kirana masih tak mendengar kalimat itu. Ia masih keras kepala hingga sesaat kemudian suara sang kakek akhirnya terdengar.
"Maafkan kakek, An. Kakek yang salah. Semua ini bermuara dari kakek. Kamu jangan merasa bersalah lagi. Selama ini kakek buta. Tidak tahu apa yang terjadi pada cucu dan anak kakek." Isakan menyayat terdengar dari mulut pria itu. Membuat Kirana menegakkan tubuh lalu membenamkannya dalam pelukan sang kakek.
"Kakek tidak salah. Aku yang salah. Aku berjanji tidak akan membuat kesalahan lagi, Kek. Aku janji." Kalimat itu terus terucap. Membuat dua orang yang terbelenggu rasa menyakitkan itu saling berbagi rasa, menepis sakit yang mendera.
***
Kirana masih termenung memandang sofa kamar sang kakek. Kilasan kejadian itu masih begitu segar dalam ingatannya. Hari di mana tidak hanya dirinya saja yang hancur akibat kehilangan Karina, tapi juga sang kakek dan Narendra.
Perlahan Kirana memberanikan diri melangkah mendekat. Mengabaikan sesak dan ketakutan itu menyergapnya. Mungkin saat ini adalah waktu yang tepat untuk membabat ketakutan yang selama ini tersimpan di dadanya. Yang selalu menghimpitnya.
Pelan, tangannya terulur menyentuh sandaran sofa. Mencoba merasakan kehadiran sang kakek yang selama ini ia harapkan masih ada. Matanya memejam. Berusaha menghadirkan wajah sang kakek dalam otaknya. Sesaat kemudian tubuhnya rebah pada sofa nyaman itu, meletakkan kepala pada lengan sofa lalu menyelonjorkan kakinya.
Rasa nyaman itu masih sama saat tubuh beradu dengan empuknya sofa. Namun, hatinya saja yang masih begitu sulit untuk merasakan kenyamanan itu.
Kirana memejam. Mencoba menghadirkan rasa yang dulu selalu ia rasakan saat merebahkan tubuh di sofa ini. Senyuman sang kakek. Juga usapan lembut di kepala saat ia menjadikan paha pria tua itu sebagai bantal di balik kepalanya. Hal sederhana itu tak pernah gagal membuatnya terbuai.
"Akhirnya kamu benar-benar kembali. Terima kasih telah pulang untuk kakek. Jangan pernah pergi lagi. Kebahagiaan kamu ada di sini, Nak. Jangan coba menghindar lagi. Lupakan semuanya, itu bukan kesalahan kamu. Kami semua menyayangimu. Jangan terus menerus menyalahkan diri sendiri. Berbahagialah. Tetaplah di sini untuk mendapatkan kebahagiaanmu kembali."
Kirana tergeragap. Ia mengerjapkan mata berulang kali. Mencoba mendapatkan kesadarannya yang seolah tercecer. Diedarkannya pandangan ke sekeliling. Ia masih di kamar sang kakek. Tepatnya tidur di sofa.
Kirana menarik napas berat. Apa yang baru saja ia alami? Apakah ia baru saja tertidur? Sepagi ini? Bahkan matahari masih belum benar-benar terik di luar sana. Baru saja, kalimat kakeknya begitu terasa nyata. Kalimat yang sama yang terucap saat pria itu masih dirawat di rumah sakit sehari sebelum mengembuskan napas terakhirnya. Kenapa kini ia seolah mendengar kalimat itu kembali? Apakah efek tertidur di kamar ini membawa ingatan di hari itu kembali menghampirinya? Kirana mengusap wajahnya dengan begitu lelah.
"Kamu baik-baik saja, An?"
Seketika Kirana terlonjak. Reflek kepalanya berputar ke arah datangnya suara. Di sana, tak jauh darinya. Di sofa tunggal di dekat jendela, tampak satu sosok yang terlihat duduk dengan meletakkan satu kaki pada kaki lainnya. Pria itu terlihat tenang sambil memegang tablet pada tangannya. Tongkat yang biasa ia gunakan untuk berjalan berada di sebelah kanan.
Hei! Kenapa pria itu bisa berada di kamar ini? Sejak kapan? Bagaimana pria itu tahu jika ia berada di tempat ini? Pertanyaan-pertanyaan itu hanya ada di dalam otak Kirana tanpa mampu Kirana lontarkan. Hal yang tak terlalu penting.
"Sepertinya kamu kelelahan. Kamu tertidur. Istirahatlah di kamar agar lebih nyaman."
Benar bukan yang Kirana duga. Dirinya memang tertidur. Pasti efek kejadian kemarin yang cukup menguras emosi dan tenaga. Lagi pula semalam ia tertidur cukup larut.
Kirana tak menjawab, ia perlahan bangkit lalu duduk menghadap sang paman. Saat mulutnya hendak berucap, suara Narendra menghentikannya.
"Atau.... minta seseorang untuk menyiapkan makan siang jika kamu tidak berencana melanjutkan tidur kamu. Lebih baik kita makan siang lebih awal. Aku khawatir akan ada tamu yang datang siang ini. Nanti justru tidak sempat makan kalau sudah ada tamu yang datang. Jika tidak ada, kamu bisa tidur siang."
Kirana akhirnya menganggukkan kepala lalu bangkit dari sofa untuk menghubungi Sari atau Darmi.
"Oh, ya. Sekalian minta budhe Darmi mengemas baju dan barang-barang kamu untuk dibawa ke sini." Kalimat terakhir Narendra seketika menghentikan gerakan Kirana.
###
Nia Andhika
11022023
Gimana?
Sudah tahu apa yang terjadi?
Atau masih bingung?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top