12

Holllaaaaa....

Syelamat malam. Pada baik semua kan kabarnya?

Akhirnya setelah beberapa purnama Riverside bisa tayang lagi. Tepuk tangan dunk🤣🤣🤣🤣
Dan jangan lupa doain biar nulisnya lancar terus sampai tamat ya.

Btw, bab ini ketik langsung publish. Kalau ada yg aneh feel free buat komen di baris yg gak nyambung ya. Biar bisa dicek. Maklum aja, udah beda tahun nulisnya jd pasti ada yg keloncatan atau kelupaan wkkwkwk.....

Daaaann.... Sebelum baca jangan lupa taburin bintangnya. Ramein juga ya, biar nulisnya makin semangat n anti macet.

Happy reading.

###

Saat hari beranjak sore, Narendra akhirnya diizinkan pulang. Tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Permintaan Kirana untuk memeriksakan diri ke rumah sakit tak digubris pria itu sama sekali. Pria itu dengan santainya mengatakan jika dirinya baik-baik saja. Satu atau dua hari lagi ia pasti sudah bisa beraktivitas seperti biasa. Benar-benar khas Narendra yang tak pernah memikirkan kondisi dirinya.

Awalnya Kirana mengira, Narendra akan pulang ke Riverside. Namun, sepertinya Kirana harus menelan kekecewaan. Mobil yang ia naiki dari Puskesmas hanya melewati Riverside tanpa ada keinginan berbelok atau bahkan berhenti di sana. Mereka akan pulang. Ya, pulang ke rumah yang Kirana hindari selama ini.

"Kenapa kita tidak tinggal di Riverside? Banyak orang di sana jadi lebih mudah jika menginginkan sesuatu." Kirana melontarkan keberatan tanpa menghilangkan sifat angkuhnya.

"Di sana terlalu ramai. Pak Narendra tidak akan bisa beristirahat dengan tenang. Pasti jika melihat tamu yang membanjir di akhir pekan, ujung-ujungnya akan keluar kamar untuk membantu anak-anak yang sering kali kewalahan." Darto yang berucap. Pria itu tahu apa yang Kirana pikirkan. Gadis itu pasti menolak untuk menginjakkan kaki di rumah.

Kirana menolehkan kepala pada pria yang duduk di sebelahnya. Pria itu diam membisu seolah-olah tak mendengar pembicaraannya. Pada akhirnya Kirana mengalah. Ia mengembuskan napas lalu menyandarkan kepala di jok belakangnya. Mencoba menenangkan diri. Tidak apa-apa. Setelah ia mengantarkan Narendra dan memastikan pria itu akan baik-baik saja, Kirana akan kembali ke Riverside. Ya, ia akan melakukannya.

Beberapa menit kemudian mobil yang mengangkut Kirana dan Narendra memasuki halaman luas rumah yang tidak bisa dikatakan sederhana. Rumah yang kata sebagian orang adalah rumah terbesar di desa itu. Seorang wanita menyongsong kedatangan mereka dengan langkah tergopoh disusul dua orang pria di belakangnya yang Kirana tahu adalah para pekerja di rumahnya. Raut mereka terlihat begitu lega saat melihat Kirana turun dari mobil sesaat setelah Narendra menginjakkan kaki di car port depan rumah besar itu.

Tanpa menunggu, mereka seketika menyergap Kirana. "Alhamdulillah anak kita yang paling ayu akhirnya datang." Suara si wanita yang biasa Kirana panggil dengan Budhe Darmi menjadi pembuka. Kirana hanya mengulas senyum lalu memeluk wanita berusia pertengahan lima puluh itu. Wanita itu adalah pengurus rumah tangga di rumah Kirana. Dulu, semua kebutuhan Kirana, Karina, Narendra, dan sang kakek, wanita itulah yang mengurusnya. Kirana lalu menyalami dua orang pekerja pria lainnya. Obrolan singkat dan saling bertukar kabar mereka lakukan hingga akhirnya Darmi pun berucap, "Ya Allah kok malah ngajak ngomong di sini. Kok nggak disuruh masuk. Kasihan Bapak pasti masih belum bisa terlalu lama berdiri." Wanita itu terlihat begitu sungkan melihat Narendra yang berdiri di depannya. 

Segera, semua orang berjalan memasuki rumah kecuali Kirana. Ia masih ragu. Apakah ia harus masuk ke rumah ini ataukah hanya menunggu hingga sang sopir ikut serta mengantarkan Narendra memasuki rumah lalu memintanya mengantarkan kembali ke Riverside.

"An, ayo." Sebuah suara menarik Kirana yang hanya mematung. Entah bagaimana Narendra sudah kembali berdiri di hadapannya. Bukankah sesaat lalu pria itu berjalan memasuki rumah dengan dibantu oleh Darto? Kapan pria itu kembali ke hadapannya? Apakah ia melamun hingga tidak menyadari hal itu?

"Ayo," bisik Narendra pelan lalu meletakkan lengannya pada pundak Kirana. Pria itu menarik Kirana untuk berjalan di sisinya sebagai penopang dirinya yang tak bisa berjalan dengan normal. Kirana terkesiap kaget. Dadanya seketika berdetak memburu sebagai bentuk reaksi spontan atas sikap Narendra. Ia yang semula hendak menolak kalimat ajakan pria itu akhirnya hanya mampu bungkam, tak bisa mengatakan keberatannya. Atau mungkin tak mau.

Aroma tubuh Narendra begitu melekat di penciumannya. Aroma parfum, sedikit aroma tembakau yang Kirana yakini karena rokok berbaur menjadi satu yang hingga detik ini Kirana ingat sebagai aroma khas pria itu sejak dulu. Bahkan sebelum enam tahun lalu.

Perlahan Kirana menaiki anak tangga dari car port ke teras lalu menuju pintu besar ruang tamu. Sejenak saat hendak melangkahkan kaki memasuki pintu berbahan jati kokoh itu, rasa ragu kembali muncul. Ia membeku untuk beberapa detik hingga Narendra yang berada di sisinya mampu merasakan keraguannya. Pria itu merapatkan lengannya lalu kembali membawa tubuh Kirana untuk berjalan memasuki rumah.

Kirana memejam. Begitu ketakutan saat tubuhnya sudah memasuki rumah sepenuhnya. Bayangan wajah Karina seketika muncul di otaknya. Makian gadis itu, amarah yang meluap yang seolah mampu menenggelamkan Kirana, juga tangisan saudari satu-satunya itu mengalir deras tanpa mampu ia cegah. Bahkan sorot mata terluka yang Karina berikan selalu menjadi mimpi buruknya selama enam tahun terakhir ini. Apalagi saat bayangan sang kakek yang menangisi kepergiannya muncul. Menangisi kepergian Karina yang tanpa disangka-sangka, yang begitu cepat tanpa ada pertanda. Tangisan sang kakek yang memintanya untuk tetap tinggal menemani hari tuanya yang tak lagi memiliki siapa-siapa setelah kepergian Karina. Permohonan maaf sang kakek yang selalu pria tua itu ucapkan setiap kali mereka berbicara, hingga detik-detik terakhir sang kakek yang kembali meminta maaf dan memintanya pulang benar-benar mengiris jantungnya. Kakeknya tidak bersalah. Tidak ada yang salah. Ataukah sebenarnya dirinyalah yang bersalah dan menimpakan rasa sakit hatinya kepada semua orang yang begitu mengasihinya?

Sekejam itukah dirinya? Seegois itukah ia hingga hanya mementingkan perasaannya saja tanpa sedikit pun menyadari jika tidak hanya dirinya saja yang terluka tapi juga sang kakek yang sejak kecil telah membesarkannya. Menggantikan kedua orang tuanya merawat dan mengasuhnya. Memberinya limpahan kasih sayang yang mungkin saja tak sebesar gadis lain dapatkan dari kakek mereka. Begitu dinginkah hatinya hingga tak menyadari hal itu selama enam tahun ini?

"An..."

"Kirana..." Setelah dua kali namanya disebut, Kirana tergeragap lalu menolehkan kepalanya ke samping. Pada sosok Narendra yang memandangnya dengan begitu lekat. Mencoba membaca apa yang ia pikirkan dan seperti biasa, pria itu selalu tahu.

"Kamu harus mulai melupakan semuanya," ucap Narendra. Tangannya terulur lalu berhenti pada pipi Kirana. Menghapus lelehan air mata yang bahkan tak Kirana sadari kapan munculnya.

"Kakek dan Karina sudah tenang di sana. Mereka pasti senang karena pada akhirnya kamu kembali pulang. Kembali ke rumah ini setelah sekian lama. Pada akhirnya keinginan terakhir kakek terwujud." Narendra mengakhiri kalimatnya dengan menarik tubuh Kirana merapat kepadanya. Berbagi peluk untuk berbagi duka juga suka cita. Sama seperti dulu. Masa sebelum enam tahun yang lalu.

***
"Kamu menginap di sini saja, ya." Permintaan itu terucap setelah Kirana membantu Narendra ke kamarnya. Termasuk menyiapkan kebutuhannya di kamar mandi. Pria itu ingin membersihkan diri karena merasa begitu tak nyaman karena hanya tadi pagi ia menyentuh air. Awalnya Kirana merasa keberatan karena pria itu mengalami luka di beberapa bagian tubuhnya. Namun, karena Narendra meyakinkan jika dokter di Puskesmas tadi telah memberinya izin untuk mandi atau juga menyentuh air. Kirana menyerah. Lagi pula pria itu mengatakan jika akan menjaga lukanya tetap aman hingga besok pagi, saat seorang perawat akan datang untuk memeriksa kembali lukanya. Ya, salah seorang perawat di Puskesmas tadi kebetulan adalah putri salah satu warga desa. Gadis itu menawarkan diri untuk memeriksa dan merawat luka Narendra sebelum berangkat ke Puskesmas setiap hari hingga luka itu benar-benar sembuh. Hal yang begitu Kirana syukuri setelah penolakan Narendra untuk memeriksakan diri lebih lanjut di rumah sakit.

"Aku masih ragu," jawab Kirana pelan sambil mengulurkan ponsel Narendra ke hadapan pria itu. Seharian ini Narendra tidak memegang ponsel dan pria itu meminta Kirana mengambilkan ponsel setelah ia mengisi dayanya.

Sejenak Narendra terdiam. Tangannya urung mengambil ponsel yang telah Kirana ulurkan di hadapannya. Matanya memandang lekat wajah Kirana yang perlahan menjadi salah tingkah. Ia yakin kalimatnya akan membuat Narendra merasakan jengah.

"Apalagi yang membuatmu masih begitu keras kepala?" tanya Narendra lirih. Hal yang membuat Kirana semakin bingung harus mengatakan apa. Ia masih ragu. Setidaknya satu hal besar telah ia lakukan pulang ke kampung halamannya. Lalu sore tadi ia juga sudah menginjakkan kaki di rumah ini. Kini, saat Narendra memintanya menginap, tentu hal itu tidak mudah ia lakukan.

"Aku masih butuh waktu. Setidaknya hari ini aku sudah menginjakkan kakiku di rumah ini."

Narendra terlihat berpikir tangannya bergerak untuk menyelipkan bantal di belakangnya agar ia bisa duduk tegak di kepala ranjang. Setelahnya diambilnya ponsel di tangan Kirana.

"Selama aku tidak bisa melakukan apapun sendirian, aku harap kamu mau tinggal di sini, membantuku melakukan semua hal termasuk urusan Riverside. Kamu bisa tidur dengan Bu Sari atau Budhe Darmi jika merasa tidak nyaman tidur sendirian di kamarmu. Nanti saat aku sudah bisa beraktivitas seperti semula kamu bisa melakukan apapun yang kamu inginkan. Namun, aku masih berharap kamu mau tetap tinggal di sini. Aku yang akan di Riverside. Tidak baik jika kita berkumpul dalam satu rumah dengan posisi kita seperti saat ini. Aku harap kamu menyetujui permintaanku." Kalimat panjang itu akhirnya sukses membuat Kirana bungkam dan tak berkeinginan mendebat lagi.

###
Nia Andhika
11012023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top