The Power Of Cinta Nano-Nano
Berjanjilah... Wahai sahabatku
Bila kau tinggalkan aku, tetaplah tersenyum
Meski hati sedih dan menangis,
kuingin kau tetap tabah menghadapinya
Bila... kau harus pergi, meninggalkan diriku
Jangan lupakan aku
Semoga dirimu disana
'kan baik-baik saja untuk selamanya
Disini, aku kan selalu rindukan dirimu
wahai sahabatku
-Rindukan Dirimu-
Mario Stevano
***
2011.
Jam dinding yang terletak bersebrangan dengan gantungan baju santri menunjukkan pukul 10 malam yang artinya segala jadwal harian dan kewajiban santri hari ini sudah selesai dan akan dilanjutkan kembali besok.
Capek? Tidak juga.
Sudah terbiasa dengan agenda yang padat membuat segalanya terasa menyenangkan dan sayang untuk dilewatkan. Apalagi murajaah kitab tafsir yang nuansanya sama dengan berpuisi kepada tuhan, menyanjung segala kebesarannya yang tiada dua hingga mengucapkan syukur atas nikmat yang Tuhan berikan, begitu banyak hingga kita tidak kuasa menghitungnya.
Allahu akbar, kita hanyalah serpihan kecil diantara banyaknya nikmat tuhan yang sudah sepantasnya berserah, namun seolah tuli kita seringkali merasa kurang, merasa di anak tirikan meski tuhan telah merencanakan semuanya dengan sangat matang.
Masyaallah.
"Mbak, bantuin tugas nahwu dari ustadz fathul dong..."
"Woy, Mbak!"
"Mbak Miftaa..."
Aku terkesiap, kitab tafsir jalalain yang hendak kuletakkan di rak paling atas hampir saja jatuh ke lantai kalau Vonny tidak menangkapnya, sambil terkekeh dia memberikan kitab itu padaku untuk disimpan. Aku menerimanya kemudian meletakkannya di tempat yang seharusnya "Kenapa?" tanyaku kemudian.
"Bantuin tugas nahwu dari ustadz fath..."
Aku mencebik mendengarnya, "Yaelah, gitu aja pake ngagetin orang segala" ujarku sebal.
"Ya, mana aku tahu kalau mbak lagi serius mikirin si tafsir sampai melamun begitu!" Vonny membela diri sambil mempoutkan bibir yang sebenarnya tidak lucu sama sekali.
Aku dan Vonny sudah lama bersahabat, kita dipertemukan di kamar ini tiga tahun yang lalu, saat itu Vonny adalah salah satu santri baru dari luar kota sedangkan aku saat itu adalah santri senior ceritanya sedang ditunjuk oleh jajaran pengurus untuk melakukan training kepada para santri baru itu, termasuk Vonny. Perkenalan yang cukup singkat sampai akhirnya kami berteman dan hal itu berlansung lama hingga kami memutuskan untuk bersahabat. Aku dan Vonny sangat berbeda, selain dari segi usia yang mana dia adalah adik kelasku jauh. Kita juga berbeda karakter, Vonny anaknya tomboy dan blak-blakan sementara aku tidak. Namun, sikap kita yang bertolak belakang itulah yang akhirnya membuat kita merasa saling membutuhkan. Seperti sekarang ini, aku yang lebih dulu masuk ke pesantren ini menjadi satu tingkat di atas Vonny dalam mengkaji ilmu nahwu dan shorof yang dalam prosesnya memiliki 3 tingkatan yaitu, Jurumiyah, Imrithi dan Alfiyah.
"Coba liat?" ujarku setelah mengambil buku jurumiyah yang sama dengan kelas yang sedang Vonny pelajari.
"Halah, gampang kok buat anak alfiyahan kayak mbak!"
"Nggak lah, kamunya aja yang nyari kesempatan dalam gang rumah orang" kelakarku sambil menandai beberapa catatan milik Vonny dengan soal – soal yang diberikan ustadz fathul agar lebih mudah saat mengerjakannya.
"Ini cuma di minta nyari contoh bacaannya aja kan? Gak harus satu kalimat kan?" tanggapku kemudian.
"Yoi, mbak"
Setelah mendapat jawaban, aku kembali focus dengan catatan jurumiyah milik Vonny sambil sesekali membantunya menemukan contoh yang sesuai dengan bacaan dalam ilmu nahwu yang sedang dipelajari di kelasnya. Tidak sampai satu jam akhirnya tugas itu selesai juga.
Pukul 23.00
Selesai menggelar kasur lantai dan prepare untuk sekolah besok, tibalah saatnya untuk tidur dan sebelum itu tidak lupa aku melakukan ritual nunggu ngantuk yang tidak lain adalah membaca cerbung. Kenapa cerbung? Entahlah. Sejak beberapa bulan yang lalu setelah bapak membelikan aku ponsel qwerty yang bisa digunakan untuk internet, aku dibikin gandrung dengan yang namanya cerpen dan cerbung online. Seakan sudah menjadi kebiasaan, sebelum tidur aku selalu menyempatkan waktu untuk membaca cerbung meski hanya satu chapter karena ketiduran setelahnya.
Cerpen pertama yang aku baca sampai berkali-kali dan selalu ngejlep di hati bahkan sampai hafal setiap bagiannya adalah cerita pendek berjudul Shymphony Terakhir, cerpen ini menceritakan tentang persahabatan antara dua laki-laki bernama Rio dan Alvin dengan satu perempuan yang namanya Ify. Persahabatan mereka damai dan baik-baik aja sampai suatu hari Alvin merasa dikhianati, Alvin merasa Rio sengaja merebut semua posisi yang diinginkannya, dan yang paling berat adalah Alvin berfikir Rio sengaja mengambil perempuan yang dicintainya juga. Rio mencoba menjelaskan kejadian yang sebenarnya namun Alvin yang marah enggan mendengar, Alvin berlari kencang meninggalkan Rio dan mengalami kecelakaan yang membuatnya kehilangan pengelihatan. Sejak hati itu kebenciannya pada Rio semakin menjadi. Sekeras apapun Rio berusaha meminta maaf Alvin terus menolak. Sampai akhirnya, Rio meninggal dan mendonorkan matanya untuk Alvin. Setelah pemulihan, Alvin menyadari kesalahannya, dia mencari Rio yang tiba-tiba menghilang dan berakhir dengan sepucuk surat perpisahan diantara mereka.
Sebenarnya, permasalahan yang diangkat mungkin terlalu biasa, tapi entah kenapa aku selalu suka saat membacanya, sejak mengenal tokoh Rio dan Alvin yang ada dicerita itu, banyak lagi cerita dengan pemeran utama mereka berdua yang aku nikmati di waktu luang dan sebelum tidur, Entahlah, nama mereka berdua selalu membuat cerita menjadi menarik untukku.
Dan, sekarang ini aku sedang membaca judul baru salah satu cerbung online yang pemerannya masih sama. Judulnya Cinta Nan0-Nano punya Kak Sari. Kalau dilihat dari judulnya sih, kayaknya cerita lucu gitu tapi begitu aku baca dari awal sampai akhir, lagi – lagi aku dibuat jatuh cinta dengan sosok Rio dan kawan – kawan yang ada di cerita itu.
Ceritanya sangat menarik, gayanya santai tapi konflik yang disajikan di cerbung itu benar – benar bisa menguras emosi dan airmata meski sudah kubaca berulang kali.
"Eh, Beb..." panggilku, seperti biasa sebelum tidur aku dan Vonny selalu mengobrol ria
"Yups..."
"Kok aku penasaran ya sama si Rio-Rio yang ada di cerpen itu, tuh?" curhatku, asal tahu saja Vonny adalah tempat curhat paling setia yang tidak pernah protes meski ceritaku itu-itu saja.
"Alah... kok dibawa serius sih, mbak! palingan itu nama yang kebetulan di pakek aja sama penulisnya, namanya juga cerpen,ih" respon Vonny datar, jangan lupakan nadanya yang yaah agak judes menurutku
"Tapi katanya dia anak Idola Cilik gitu, Beb! Ada nama lengkapnya juga loh, Mar—Mario siapa gitu..."
"Masa?"
"Iya, ini nih di komenan cerbung yang lagi aku baca ada yang bilang kayak gitu"
"Cari aja coba, mbak. Kali aja ada beneran kan?"
"Ide bagus. Ah, tapi nggak puas kalau nyarinya dari hp?" ujarku lesu.
"Terus?"
Aku mengangkat bahu, belum tahu harus menjawab apa. Meski peraturan di Pesantren yang sekarang tidak seketat saat masih di jatirejo, pesantren tetap punya aturan dan salah satunya adalah tidak mengizinkan para santri untuk keluar tanpa surat izin dan kalau kalian tahu ribetnya minta surat izin ke pengurus itu kayak apa, huah. Udahlah, lebih baik nitip teman kalau mau beli apa – apa daripada muterin itu kantor rasa neraka.
Tbc...
___
# Ketawa jahat!
Oiya, ngomong" tulisan ini sudah ada pada pemilik aslinya bahkan sebelum direvisi seperti sekarang. Maaf kalo bukunya berantakkan ya dek tengil?
So, postingan ini sekaligus menjadi jawaban bagaimana pertama kali aku mengagumi namanya, namanya aja loh yaa...
Mungkin bagi kalian ini aneh, karena aku tahu sebagian besar rise sudah tahu rio sejak lama, melalui kontes bernyanyi itu. Itulah kenapa aku tidak sama dengan kalian, karena 2010 lalu ketika nama rio booming di televisi aku tidak tahu apapun, parahnya aku tidak pernah menontonnya barang sekali karena memang tidak ada fasilitas nonton televisi di siang hari.
Mungkin ada yang mau berbagi juga bagaimana awal kalian mengenal dia sama sepertiku?
Bubay
Miftastevadit
Revisi on 14-01-17
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top