Rise of Pyromancer
"Yak, cukup!"
Teriak lantang seorang wanita dewasa bersurai jingga kepada gadis muda dihadapannya. Bola-bola api yang melayang di sekeliling gadis muda itu seketika lenyap dan dia pun jatuh terduduk dengan napas terengah.
"Apakah cukup untuk hari ini Master?" tanya sang gadis muda.
"Kau bercanda? Ini masih tengah hari. Sekarang hancurkan batu itu dengan bola api, kau tidak boleh berhenti sebelum batu itu hancur."
Verra Eranda, gadis muda yang sudah satu tahun resmi menjadi murid seorang Pyromancer tersohor bernama Fajira Asfared. Hari-hari yang dilalui Verra tidaklah mudah, terkadang dia mengeluh karena latihan dari Master Jira tidak mengenalkannya dengan istirahat.
Peluh terus mengalir membasahi baju yang Verra kenakan. "Ya, terus lakukan seperti itu!" teriak Master Jira yang tengah duduk di bawah pohon, sembari memperhatikan perkembangan murid satu-satunya.
Di bawah terik matahari yang semakin mengganas, di tanah lapang yang tak terlindungi rindangnya pepohonan. Bola-bola api terus meluncur dari tangan mungil Verra menuju batu besar yang akan dihancurkannya.
Tak lama, batu besar itu pun hancur berkat serangan beruntun yang dilemparkannya. Verra berbalik dan menghadap sang Master dengan wajah berseri. "Master, aku sudah menghancurkannya. Bolehkan aku beristirahat?"
"Bagus, tapi sepertinya kau harus simpan dulu kebahagiaanmu. Sekarang, lari keliling bukit sebanyak tiga kali!" ucap tegas sang Master.
"Haah? Apa Master sudah gila? Setidaknya ber ... "
"Kau menyebutku gila?"
"Tidak Master. Maaf. Aku akan berlari sekarang juga," Verra pun berlari karena takut akan mendapatkan hukuman dari Master Jira.
Sepeninggal Verra, senyum Master Jira pun merekah. Melihat perkembangan muridnya yang sangat memukau membuat dirinya senang. Semakin cepat muridnya berkembang, semakin cepat pula sebuah perpisahan bagi mereka berdua. "Sepertinya waktu kita tak akan lama lagi Verra."
Mentari semakin tenggelam, membawa kegelapan yang tentam untuk kedua wanita yang tinggal di puncak bukit Vald. Cahaya remang menerangi keduanya yang tengah menikmati makan malam. Di dalam sebuah gubuk kecil sederhana, sebuah sejarah baru akan tercipta berkat bimbingan prajurit terdahulu.
"Verra, ikut aku sebentar!" ujar Master Jira pada Verra yang sedang membereskan meja makan.
Verra pun menoleh. "Baik, Master," segera Verra membawa piring-piring kotor ke tempat cuci dan menghampiri Master Jira di depan pintu.
Keduanya berjalan beriringan menembus angin malam. Master jira duduk di bawah pohon besar dan mempersilakan Verra duduk disebelahnya. Diterangi cahaya redup bulan sabit, Master jira ingin memberikan sebuah petuah terakhir pada muridnya.
"Verra, sebelumnya aku pernah menanyakan hal ini. Tetapi aku akan menanyakannya kembali padamu. Apa tujuanmu mempelajari sihir api dariku?"
Verra yang sedang terpukau dengan keindahan malam pun menoleh, "Tak ada tujuan khusus Master, aku hanya ingin mempelajarinya."
"Hanya itu? Setelah mendapatkan latihan keras dariku, apa kau tak ingin mendapatkan hal lain seperti ketenaran? Kekuasaan? Aku rasa semua penyihir menginginkan hal itu."
"Ya, aku mempelajarinya karena aku menyukainya. Tak kurang dan tak lebih."
Wajah polos Verra dan jawaban yang tak masuk akal membuat Master Jira terbahak. "Hahaha, kau gadis yang aneh."
Verra pun ikut tersenyum, hal yang diinginkannya memang aneh namun hanya itulah yang Verra inginkan. "Pada akhirnya, ketenaran, kekuasaan, dan jabatan yang tinggi hanya akan membuat kita terkurung. Bukankah itu alasan Master mengundurkan diri sebagai penyihir kerajaan?"
"Sepertinya kau sudah mulai bisa mengejekku Verra."
Suasana yang mencekam mulai dirasakan Verra, "Eh? T..Tidak Master. I..Itu hanya..."
"Yah, memang seperti itu," Master Jira memandang bulan yang menggantung. "Berada di dalam lingkungan kerajaan yang penuh dengan birokrasi dan pencitraan membuatku muak. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk berhenti dan memulai hidup damai yang kuinginkan."
"Verra," lanjut Master Jira. "Bukan hanya itu aku mengajakmu kemari, ada hal yang akan kubicarakan padamu."
Verra menoleh dengan bingung, tidak biasanya Master Jira mengajaknya membicarakan hal serius. "Apa itu Master?"
"Semua latihan dasar dan syarat untuk menjadi Penyihir Elemen Api sudah kuberikan semua padamu, dan kau menguasainya dengan sempurna," Master Jira terdiam sejenak. "Jadi, mulai besok ... "
"Tidak Master, jangan mengusirku. Aku masih ingin belajar banyak darimu," panik Verra.
Sebuah pukulan mendarat mulus di kepala Verra. "Dengarkan dulu jika orang tua sedang berbicara!"
Verra hanya bisa diam sambil mengelus kepalanya yang terasa nyeri.
"Jadi, mulai besok kamu bisa menyandang gelar Pyromancer Tingkat Tiga. Berbanggalah," ujar Master Jira.
"Wah, serius Master? Akhirnya, perjuanganku selama ini," Verra kegirangan, senyum bahagia terus tersemat di bibir mungilnya.
"Lalu ini, terimalah," Master jira memberikan sebuah gelang besi hitam kemerahan dengan sebuah lubang bundar ditengahnya. "Sebuah tradisi yang harus dilakukan para penyihir elemen adalah menjalin kontrak dengan para spirit, dan gelang ini akan menjadi sarana untuk menjalin kontrak dengan para spirit api."
"Waaah ..." Verra menerima gelang tersebut dan memakainya. Bahagia bercampur haru disarakan Verra ketika menyematkan gelang itu di pergelangan tangannya.
(***)
Lima hari berselang, kini Verra sedang berjalan menembus lebatnya Hutan Valdera. Berbekal tas selendang lusuh, mantel coklat dan topi kerucut yang terlalu besar untuk ukuran kepalanya, senandung kecil mengiringi langkah Verra menuju tempat perjanjian.
Setelah mendapatkan petuah dari Master Jira serta waktu istirahat yang cukup, kini Verra siap untuk menuju ke jenjang selanjutnya.
Verra kini tengah mengistirahatkan dirinya di tepi sungai, membuka bekal dan mengisi ulang kantong airnya yang hampir kosong. Sejenak Verra tersentak saat mendengar suara gemersik semak di sebelahnya. Verra menepis semua fikiran buruk dan kembali menyantap bekalnya. Sebuah roti gandum dengan daging asap cukup untuk mengganjal perutnya hingga malam hari.
Suara gemersik itu kembali terdengar, semakin keras dan seekor beruang coklat besar keluar dari semak-semak tersebut, berjalan pelan menghampiri tepi sungai. Verra yang akan menyuapkan roti gandum menghentikan gerakannya, dengan mulut menganga Verra terdiam mematung.
Beruang coklat besar itu menyadari bahwa dirinya tak sendirian, menoleh dan mendapati seorang gadis sedang menatap ke arahnya. Verra semakin ketakutan, keringat dingin mulai mengucur deras, badannya kaku, dan tak bertenaga.
Beruang besar itu memperhatikan Verra dengan seksama, keheningan diantara keduanya terjadi selama beberapa saat hingga akhirnya beruang coklat besar itu mulai melangkahkan kakinya kembali ke semak-semak.
Kejadian yang sempat membuat Verra takut, dan sekarang membuatnya bingung. Vera mengembuskan napas lega. "Huft, sepertinya yang diceritakan Master Jira ada benarnya. Gelang ini dapat membuat hewan buas tak menyerang pemakainya, sangat membantu sekali. Meski tak akan berguna jika bertemu makhluk magis."
Verra kembali meneruskan makan siangnya dengan khidmat, sesekali matanya menyisir menikmati keindahan alam yang tersaji dihadapannya.
(***)
Perjalanan yang cukup panjang, melewati Hutan Valdera, Pegunungan Ares, serta Padang Norktic, Vera dengan mantel lusuhnya berhasil sampai di tempat perjanjian. Gunung Berapi Agnic, gunung keramat yang menjadi tempat tinggal para spirit api.
"Disinikah tempatnya? Huft, panas sekali," Verra mengelap keringat di dahinya.
Verra berjalan mengitari sisi gunung, mencari jalan untuk masuk. "Kata Master, ada gua dan gerbang batu. Dimana ya?" gumam Verra sambil melihat catatan yang diberikan Master Jira.
"Nah itu dia," Verra melihat sebuah bongkahan batu yang di pahat menyerupai gerbang dengan aksen gambar dan tulisan kuno. Verra berlari kecil menghampiri gerbang batu persegi tersebut.
Perlahan Verra berjalan masuk, udara kering terasa menusuk hidungnya. "Ck, gelap banget."
"Ignite, Verra Luminos Por a Ver. Fire Lantern."
Titik-titik api mulai berkumpul menjadi sebuah bola api yang melayang di sisi kanan Verra. Cahaya remang dari bola api itu sedikit membantu penerangan. Berjalan menelusuri goa yang pengap, Verra terus melangkahkan kaki mungilnya.
Semakin dalam semakin pengap dan panas, Verra sampai di ruangan goa yang cukup luas.
"Hallo," suara merdu seorang wanita.
Verra tersentak dan bergidik, "S..si..siapa itu?"
"Hahaha, tidak perlu takut. Aku adalah penjaga dari tempat ini," usai ucapannya, api-api menyala dan menerangi ruangan goa. Di ujung sana terlihat sesosok wanita dengan api yang menyelimuti dirinya. "Kemarilah gadis muda," ujar sosok tersebut.
Verra berjalan mendekat, hingga sosok itu terlihat jelas oleh dirinya. Seorang wanita dengan mata yang indah serta kobaran api yang menyelimutinya. Meski sedikit takut, Verra mengetahui bahwa wanita itu adalah spirit api yang menjaga tempat ini.
"Tidak perlu takut, kemarilah. Aku tidak akan menggigitmu," ujarnya lagi. Verra berjalan mendekat.
"Ekhm, jadi? Apa yang membawamu kesini gadis muda? Oh iya, sebelum itu perkenalkan, namaku Tresra, aku penjaga tempat ini. Kamu pasti ingin membuat kontrak kan? Siapa namamu?"
"Na..Namaku Verra, Verra Eranda."
"Baiklah Verra, sejak kapan kau belajar sihir? Apa ada yang mengajarimu? "
Verra sudah mulai bisa membiasakan dirinya. "Um, aku belajar sihir dari Master Jira, sudah sekitar satu tahun lebih."
"Jira? Jira?" Tresra menengadah sambil menopang tangannya di bawah dagu. "Oh, Fajira? Wah, dia sudah memiliki murid? Bagaimana kabarnya? Apakah dia sudah menikah?"
"Hingga saat ini Master Jira sehat dan selalu bersemangat. Untuk menikah, sepertinya Master belum tertarik untuk itu."
"Hahaha, sudah kuduga. Fajira memiliki selera dan harga diri yang tinggi, tidak mudah menaklukan wanita seperti itu," Tresra kembali tertawa. Verra mulai bisa mengikuti candaan Tresra, membuat dirinya sedikit rileks.
Obrolan hangat Tresra dan Verra terus berlanjut, kedekatan yang semakin terjalin membuat Verra merasakan kenyamanan berinteraksi dengan Spirit Api. Sedikit demi sedikit Verra bisa membuka dirinya.
"Oh iya, aku penasaran. kenapa kamu mempelajari sihir? Dengan umurmu yang sangat muda, menjadi penyihir itu cukup sulit menurutku. Apalagi kau berlatih dengan Fajira."
"Karena suka," jawab Verra singkat.
Tresra masih menunggu jawaban selanjutnya dari Verra membuat suasana hening sesaat. "Udah? Hanya karena suka?"
"Ya," Vera kembali menjawab disertai senyuman kecil.
"Oke baiklah, itu alasan yang aneh. Lalu, apa yang kau inginkan setelah menjalin kontrak dengan kami?"
"Mungkin aku akan mengajaknya berpetualang, melihat indahnya dunia."
"Alasan aneh dan keinginan yang aneh pula," Tresra sedikit kebingungan setelah mendapat jawaban dari Verra, tidak ada ambisi besar atau keinginan kuat untuk menarik para Spirit Api agar tertarik dengannya.
"Aku dulu hidup di tepi hutan. Berpetualang dalam hutan sudah menjadi keseharianku, bermain dengan binatang, hingga aku menyadari alam ini membutuhkan penjaga. Menjaganya dari para penebang, pemburu, dan lainnya. Aku mempelajari sihir karena ingin menjaga hal yang harus kujaga," lanjut Verra.
"Tunggu sebentar!" Tresra beranjak dari duduknya dan pergi ke sudut ruangan, lalu kembali dengan sebuah nampan berisi bola-bola berwarna merah keemasan serta dua gelas dari tanah liat. "Maafkan aku, karena terlalu larut dalam obrolan, aku sampai lupa menyuguhkan makanan untukmu. Silahkan," Tresra mempersilahkan Verra untuk mengambil kudapan yang dibawanya.
Verra mengambil satu butir bola merah keemasan sebesar buah anggur itu. "Wah, apa ini?"
"Cobalah," Tresra tersenyum penuh arti.
Verra membuka mulutnya dan melahap bola merah keemasan itu sekaligus. "Waaah, enak sekali," puji Verra. Sensasi manis dan segar memenuhi rongga mulut Verra, bahkan setelah menelannya rasa manis terus menempel pada lidah.
"Oh iya Verra. Sebagai spirit api, Aku ingin mendengar pendapatmu tentang api."
"Humm, api ya? Api itu kuat dan lemah secara bersamaan. Api itu mampu menghanguskan, namun api juga dapat menghidupkan. Kira-kira seperti itu" Verra bercerita sambil menengadahkan kepalanya ke atas, dengan senyuman tersemat di bibirnya.
"Oh iya, Nona Tresra. Kapan aku akan membuat kontrak?" Tanya Verra, baru ingat dengan tujuannya.
"Kontrak apa lagi? Bukankah kau sudah membuatnya?" jawab Tresra dengan sedikit tertawa.
"Hee? Kapan?" timpal Verra tak percaya. Wajah polos yang kaget Verra menjadi hiburan tersendiri bagi Tresra, dia pun tertawa terbahak. "Hahaha, wajahmu itu lucu Verra. Kau ingat bola merah yang kau makan? Coba lihat gelangmu."
Verra yang masih kaget melihat gelang pemberian Mater Jira yang tersemat di lengan kirinya. Gelang besi hitam kemerahan yang semula memiliki lubang bundar, kini lubang itu berisi batu permata berwarna merah keemasan. "Waw, bagaimana bisa?"
"Bola merah yang kau makan itu sebenarnya adalah telur spirit api, jika kau sudah memenuhi syarat dan ada salah satu dari spirit api yang tertarik padamu maka kau sudah menjalin kontrak."
"Se..semudah itu?" Tanya Verra heran, karena menurut bayangannya menjalin kontrak dengan spirit api akan menguras tenaga dan membuatnya kelelahan.
"Ya, semudah itu. Tapi jika tidak ada yang tertarik padamu, maka kau akan pulang dengan tangan hampa. Sekarang coba kau panggil. Pejamkan matamu, lalu fokuskan kepada batu merah pada gelangmu, dan sebutkan namanya."
Verra menurut, memejamkan matanya, dan memusatkan perhatian pada batu merah di gelangnya. Perlahan terbayang sebuah nama, nama dari spirit yang bersemayam dalam batu merah itu. "Aku memanggilmu, Ballerine!"
Verra membuka matanya, dan sebuah sosok gadis mungil seukuran telapak tangan menyambutnya. "Hallo Verra," sapanya.
"I..ini?" Verra tergagap.
"Ya, itu Spirit Api yang akan menemani petualanganmu Verra.
Kebahagiaan yang tak tertahankan, Verra sontak memeluk Ballerine dan Tresra bersamaan. Bibirnya tak hanya tersenyum, tapi tertawa girang. Tujuannya tercapai, dan jalan menuju tingkatan selanjutnya terbuka lebar.
Gadis kecil yang dahulu hanya bisa diam sambil menangis, kini perlahan mampu melawan keganasan dunia. Bersama partner barunya, gadis kecil itu perlahan tumbuh menjadi legenda baru yang mampu menggoyahkan dunia.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top