7 | A Visit From An Old Friend
Luke pergi ke kamar Nicholas setelah berbicara dengan Freya. Dia jatuh langsung ke tempat tidur setelah mencapai tempat itu. Nicholas tidak mengatakan apapun, hanya menatap pemandangan dari balkon.
“Bagaimana kau masih bisa bertahan?” tanya Nicholas.
“Freya menggunakan sihirnya untuk membantuku, dan aku sudah meminum Verevõimendaja, jadi aku tidak benar-benar kehabisan darah. Tapi efek ramuan itu tidak cukup cepat, aku hanya membawa setengah botol.”
“Luke, kau harus membawa gadis itu pergi dari sini,” ujar Nicholas. Luke mengerutkan dahinya.
“Aku tahu.”
“Para anggota dewan sudah mendesak untuk pertemuan lain. Meskipun aku tetap menolak, tapi aku cukup yakin mereka sudah atau akan segera melakukan pertemuan ditempat lain.” Druid yang lebih tua mendesah lelah. “Aku tidak ingin kau berakhir dipenjara lagi.”
Luke meringis, diingatkan tentang bagian yang tidak disukai dari masa lalunya. “Aku tahu, tapi bisakah kita menunggu beberapa saat lagi?”
“Rumor tentang pembunuh sudah tidak terdengar lagi, Luke, jika begitu artinya gadis itu bersalah. Dia akan dieksekusi mati.”
Luke diam, dia tahu itu benar. Freya sudah menyelamatkan hidupnya, beberapa kali. Dan dia harus membalas itu, tapi dia tidak tahu caranya. Mungkin dengan membawa gadis itu keluar dari Rivalian dan bersembunyi di daerah terpencil akan mengulurkan waktu. Dia hanya perlu waktu yang tepat untuk melakukan itu.
“Saat titik balik matahari musim dingin tiba, setelah hari namaku, aku akan membawanya keluar dari sini,” katanya dengan serius.
Nicholas tetap diam, entah apa yang ada dipikirannya. Setelah beberapa saat hening, Nicholas membalikan tubuhnya untuk menatap Luke. “Ibumu pasti bangga padamu.”
Ibunya. Sosok yang tidak pernah dia miliki selama ini. Bagaimana dia tahu bahwa wanita itu akan bangga padanya?
“Aku bahkan tidak cukup mengenalnya untuk mengetahui itu,” gumam Luke. Dia melihat sorot kesedihan di mata Nicholas, hanya untuk beberapa detik, itu berubah menjadi kekecewaan, tapi itu berlalu dengan cepat, sebelum itu menghilang. “Apakah kau kecewa padaku, ayah?”
“Oh, Luke,” desah Nicholas, “kau adalah hal terbaik sekaligus terburuk yang pernah ku hadapi dalam hidup ini. Tapi tidak, itu tidak membuatku kecewa padamu.”
Luke menghela napas. Dia memang anak yang nakal dan pembangkang, tidak seperti Lucien yang berperilaku seperti putra yang sempurna bagi Nicholas. Patuh, tidak banyak bertanya, dan banyak lagi. Semuanya adalah kebalikan dari Luke. Dan tidak pernah sekalipun dia mendengar Nicholas membandingkannya dengan Lucien.
“Aku justru bersyukur,” kata Nicholas lagi, “memiliki putra dengan jiwa liar sepertimu. Kau sudah tahu wilayah diluar Rivalian, yang artinya kau sudah tahu wilayah musuh-musuh dan aliansi kita.”
“Dan Lucien?”
“Dia... Tidak juga. Memang dia adalah putra yang baik, tapi tidak sebaik dirimu.” Nicholas mendekat untuk duduk di sebelah Luke. “Walau dia tidak pernah membuatku hampir terkena serangan jantung.”
Luke tertawa, dia yakin pipinya memerah karena malu. “Maaf.”
“Aku mencintai kalian berdua dengan setara,” kata Nicholas dengan lembut. “Apakah kau berencana untuk mendatangi makam ibumu lagi?”
“Mungkin, tapi tidak malam ini.” Luke mengangkat bahunya. “Berjalan bolak-balik dari kamar Freya ke sini sudah cukup melelahkan.” Dia kembali berbaring, menutup matanya. “Apa kau keberatan jika aku tidur di sini malam ini?”
Nicholas mendengus. “Tentu saja tidak. Aku harus pergi, ada urusan yang penting.” Pria itu bangkit dari tempat tidur, mematikan lilin sehingga kamar menjadi gelap. Luke mendengar suara pintu dibuka dan ditutup.
...
Dia terbangun karena salah seorang pelayan membuka gorden kamar, membuat cahaya matahari masuk. Luke bersandar pada kepala tempat tidur. Kepalanya terasa sangat pusing, dia tidak tahu mengapa. Sarapannya juga sudah di antarkan, jadi dia tidak perlu khawatir tentang pergi ke ruang makan yang akan membuat kakinya sakit.
Sangat sunyi, tenang tapi membosankan. Luke sungguh tidak tahan dengan itu, tapi terkadang dia juga sangat menyukainya. Membosankan mungkin bukan kata yang tepat.
Luke menghabiskan sarapannya dengan cepat, setelah itu salah satu pelayan masuk lagi dan mengatakan bahwa air hangat dan bak mandi sudah disiapkan. Nah, ini benar-benar pagi yang sempurna. Kecuali, Rivalian yang sangat sunyi.
Dia bangkit dari tempat tidur untuk menuju bak mandi. Milik Nicholas benar-benar berbeda dengan miliknya, desain ruangan itu lebih mewah. Setelah melepaskan pakaiannya satu persatu, Luke berendam di dalam air hangat itu.
Fakta bahwa luka-lukanya tidak terasa nyeri adalah sesuatu yang aneh. Air itu pasti sudah dicampur dengan ramuan-ramuan herbal atau apapun itu. Justru itu terasa seperti menyembuhkan dan membuatnya rileks.
Luke berharap dia bisa berlama-lama, tapi dia memiliki sesuatu yang lain untuk dilakukan. Jadi dia menyudahi mandinya dengan cepat, lalu berganti pakaian. Itu adalah kemeja sutra berwarna putih, celana kulit, dan jubah hitam dengan motif-motif tertentu yang dia lupa artinya.
Tidak lupa dia juga mengganti perban di kaki kirinya yang sebelumnya dia lepaskan. Dia menuju balkon dan melihat Rivalian di sana. Sunyi. Tentu saja, mereka berduka untuk mendiang ratu mereka. Ibunya. Dia hanya memiliki hampir satu tahun bersama wanita itu, yang bahkan sudah memudar di ingatannya, tapi seluruh Rivalian tampaknya tidak pernah lupa.
Dia menutup pintu balkon dan juga gordennya. Ada ketukan di pintu.
“Masuk,” sahutnya.
Itu adalah Nicholas. Ayahnya menggunakan pakaian yang hampir sama dengannya, kecuali ada hiasan emas di kancing dan sakunya. Tatapannya tidak ingin bertemu dengan ayahnya.
“Bagaimana sarapanmu?” tanya Nicholas dengan lembut.
“Bagus.” Luke memberanikan dirinya untuk menatap langsung ke mata ayahnya. Dia disambut dengan kesedihan. Yah, ayahnya resmi menjadi orang tua tunggal hari ini dan seluruh Rivalian sudah merayakannya selama enam belas tahun, siapa yang tidak sedih?
Nicholas mengangguk-anggukkan kepalanya. “Apakah kau ingin tinggal di sini?” Luke mengangguk.
Ini adalah cara dia meratapi kematian ibunya. Tidak melakukan apapun, dan hanya diam di kamar Nicholas. Memandangi lukisan wanita itu, terkadang. Lalu dia akan keluar pada malam hari dan mengunjungi makam ibunya.
Nicholas juga memiliki caranya sendiri. Kau tidak akan melihatnya selama hari ini karena dia akan sangat sibuk merenung di kantornya. Alasannya adalah karena ada putranya yang ingin meratapi kematian istirnya di ruangan dengan kenangan-kenangan terbaik. Jika Luke tidak merenung di sini, dia yakin Nicholas lah yang akan melakukan itu di sini.
Tugas kerajaan? Tidak, tidak ada yang bertugas hari ini. Bisa dibilang sebagai hari libur untuk para pekerja. Kecuali bagi beberapa pelayan, seperti pelayan-pelayan tadi yang merupakan pelayan pribadi Luke.
“Selamat pagi, jika begitu,” kata Nicholas lagi. “Kau tahu di mana menemukanku jika... Kau tahu, kalau-kalau kau bosan atau semacamnya.”
Luke mengangguk lagi. “Aku menghargai itu, Ayah.” Karena kau selalu bersabar dan berusaha selama ini.
Nicholas pergi dan dia sendirian lagi, menatap lukisan ibunya di dinding, ada seorang wanita cantik dengan rambut hitam dan mata coklat, membuat Luke bertanya-tanya bagaimana jika dia lebih mirip ibunya daripada ayahnya, apakah dia masih tampan?
Ada ketukan di jendelanya, dan dia mengerutkan kening. Siapa itu? Semua orang sangat diam hari ini, jadi tidak ada yang benar-benar melakukan apa pun. Dia berjalan menuju jendela, membuka tirai dan terkesiap ketika dia melihat seorang gadis dengan mata coklat lebar, wajah penuh keringat, dan terengah-engah, terlihat sangat lelah.
Sial baginya, bahwa dia telah mengenal gadis itu selama bertahun-tahun.
Gadis itu mengetuk lagi dan lagi, sampai Luke memutuskan untuk membuka jendela agar dia bisa masuk. Gadis itu masuk dengan cepat, hampir jatuh jika Luke tidak sigap menangkapnya.
“Terima kasih, Luke,” kata gadis itu sambil terengah-engah. “Kau lambat sekali.”
Luke memutar matanya. “Ayolah, Gwen, aku perlu memikirkan beberapa hal.”
Gwen adalah teman masa kecilnya, seperti Jack. Dia adalah putri dari tangan kanan raja sebelumnya, sebelum Thomas. Tapi ayahnya meninggal tiga tahun lalu, dan sejak itu, mereka tidak sedekat dulu lagi. Tapi dia tetap temannya. Selalu.
“Seperti apa tepatnya?” tanya Gwen, melipat kedua tangannya.
“Lupakan,” katanya, membuka matanya lagi. “Apa yang kau lakukan di sini, Gwen?”
“Aku pernah mendengar kau mengalahkan monster kemarin, dan aku ingin memastikan bahwa kau... Baik-baik saja. Yah, sepertinya kau baik-baik saja.”
“Terima kasih, Gwen, tapi aku sudah mengenalmu selama bertahun-tahun,” Luke menyilangkan tangannya, “katakan padaku yang sebenarnya.”
Gwen tampak berdebat dengan dirinya sendiri. Sesuatu pasti terjadi. “Sepupuku Nigel, dibunuh.” Gadis itu terlihat sedih sekarang. Dan Luke memperhatikan ada goresan di tangannya.
“Aku turut bersedih,” kata Luke. Dia meraih tangan Gwen dan menuntunnya ke sofa. “Pasti sulit bagimu. Kehilangan Nigel. Dan memanjat jendela.”
Dia sedikit menyentuh goresannya dan dia mendesis. Druid memiliki sihir untuk menyembuhkan. Dia bisa menyembuhkan ini, dan detik berikutnya, luka itu hilang.
Luke mendongak ke Gwen yang memberinya senyuman sedih. “Terima kasih, Luke.”
“Sama-sama, Gwen.” Luke tersenyum. “Kau bisa melaporkan ini pada Nicholas, tapi jika dia tidak bertindak, maka aku yang akan melakukannya.”
“Apa yang bisa kau lakukan?” tanya Gwen, tidak yakin.
“Sebagai putra mahkota, banyak,” jawab Luke, matanya bisa menunjukkan rencana licik yang dia buat beberapa detik yang lalu. “Tradisi Rivalian dalam berkabung atas kematian ratu mereka sudah menjadi hal biasa bagi wilayah-wilayah lain. Itu juga sudah terkenal, jadi pembunuh ini pasti mengambil kesempatan yang tepat untuk membunuh pada hari ini. Dia mungkin berpikir bahwa tidak ada yang akan menyadari. Sayangnya, dia salah karena menargetkan sepupumu.”
“Tapi kau belum dinobatkan sebagai putra mahkota, tidak sampai kau berusia tujuh belas tahun,” kata Gwen.
“Memang benar. Tapi kita harus menunggu untuk melaporkan ini, kau tidak boleh memberitahu Nicholas.”
Gwen terlihat kesal. “Kenapa?”
“Pembunuhan di Troich yang sudah tidak terjadi adalah salah satu alasan,” sahut Luke. “Freya, tersangka pembunuhan ada di sini.”
Gwen menarik napas tajam, dan Luke bisa melihat sedikit kemarahan di matanya. “Kau yakin itu bukan dia? Itu bisa jadi dia, kau tahu.”
“Aku tahu,” desah Luke. “Tapi itu pasti bukan dia.”
“Jika bukan dia lalu siapa, Luke?”
Luke mengangkat bahunya.
“Dan kau hanya akan mempercayainya seperti itu?” tanya Gwen, kemarahan dalam suaranya. “Kenapa? Sepupuku telah terbunuh, Luke! Terbunuh!”
“Aku sangat menyadari hal itu. Dan aku sangat menyesal untukmu,” kata Luke, mencoba menenangkan Gwen dengan menggenggam tangannya. “Aku menyuruh pelayan untuk mengunci kamar Freya dari luar setelah mengirimkan sarapan. Kau pikir aku benar-benar percaya padanya?”
“Kau tidak?”
Luke menggelengkan kepalanya. “Lima puluh persen ya dan lima puluh persen tidak. Tidak ada yang benar sampai itu pasti.”
“Kau masih percaya padanya,” cibir Gwen, terdengar terluka.
Luke menghela napas. “Baiklah, perubahan rencana jika begitu.”
“Rencana apa?”
“Aku berencana untuk membawa Freya keluar dari sini setelah hari namaku, tapi demi dirimu, maka aku akan melakukan perubahan rencana.” Luke berdiri, berbalik menghadap Gwen untuk menjaga kontak mata. “Kau yang akan lari bersamanya, aku akan menyusul kalian berdua.”
“Kenapa aku terlibat?”
“Karena sepupumu terbunuh, Gwen. Katakan pada Freya kau memiliki ambisi yang sama dengannya, jangan katakan kau adalah teman ku.” Luke menyeringai. “Aku akan mengantarkannya sampai gerbang istana, lalu dia akan pergi dengan kuda, di perbatasan Rivalian, kau akan menunggunya. Tapi buatlah agar pertemuan kalian terlihat seperti sebuah kebetulan, pergilah ke Timur, Gaetta, aku akan menyusul dan menemui kalian di sana.”
Gwen terdiam, Luke menunggu dengan sabar. Dia akan membatalkan rencana ini jika gadis itu tidak setuju. Tapi tekad muncul di mata Gwen, wajahnya menjadi keras, penuh keinginan untuk membalaskan dendam sepupunya. Luke bisa membaca itu seperti sebuah buku.
“Ini gila, tapi aku cukup gila dan kau jelas sama gilanya denganku, bahkan lebih,” ujar Gwen. “Hitung aku dalam ini.”
“Bagus, bagus.” Luke menyeringai. “Sekarang, kau mau pulang atau tetap di sini?”
Gwen berdiri. “Pulang lebih baik.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top