6 | A Little Hint About You

“Pasti menyenangkan berteman dengan Pangeran, benar kan?” Edmund menyeringai. “Bukankah itu impian masa kecilmu? Menjadi teman atau menikah dengan seorang Pangeran?”

Freya menggelengkan kepalanya. “Sama sekali tidak. Luke bukan tipe pangeran seperti itu, dan impian masa kecilku bodoh.” Dia menatap ke tempat di mana pria itu duduk.

Dan pada saat itulah dia menyadari bahwa sang Pangeran sudah hilang. Freya melihat sekeliling, Jack sedang mabuk di sudut. Pria itu sepertinya terlalu mabuk untuk memperhatikan bahwa tuan mudanya sudah menghilang.

Freya menoleh ke Edmund. “Uh, kurasa aku harus pergi. Ada beberapa hal yang harus diurus.” Edmund mengangguk. “Selamat tinggal.”

“Sampai jumpa,” katanya pada Freya.

Freya berdiri dan berusaha menarik Jack, yang jelas-jelas tidak sadarkan diri. “Maaf, ladies, tapi yang ini harus memenuhi tugas kerajaan,” ujarnya kepada wanita-wanita yang mengelilingi Jack.

Dengan itu, dia menyeret Jack keluar dari kedai. Dia membawa mereka ke sebuah tempat yang tidak terlalu ramai, tapi berbau busuk seperti tempat sampah. Dia melepaskan Jack yang langsung bersandar pada dinding. Hidungnya mengerut karena bau busuk itu.

“Jack,” panggilnya. “Di mana Luke?”

“Tidak tahu, karena aku bertanya-tanya hal yang sama sepertimu. Di mana Pangeran Lucanne?” tanya pria itu, setengah sadar. Dia meraih sakunya dan mengeluarkan botol ramuan berwarna biru tua, yang tidak Freya kenali, lalu meminum itu dengan satu tegukan.

“Apa itu?” tanya Freya ketika Jack meneguk ramuan itu.

Mõjuvastane.” Jack menutup matanya. “Ramuan ini mampu menghilangkan pengaruh pikiran. Entah itu alkohol atau sihir, tapi tergantung kepada jumlahnya. Jika jumlahnya sedikit, maka itu tidak akan berpengaruh. Satu botol hanya cukup, tidak bagus.”

Freya mengangguk. “Dan di mana tepatnya kau mendapatkan itu?”

“Hutan para Elf, Ratu Olenna membawanya sebagai hadiah.” Jack menegakkan tubuhnya lalu membuka matanya. Tampaknya pria itu juga tidak nyaman dengan bau busuk. “Haruskah kita mulai mencari Brat Prince kita?”

Freya mulai berjalan keluar dari tempat busuk itu, Jack mengikuti dari belakang. Luke bilang dia ingin mencari monster. Mungkin hutan adalah tempat yang bagus untuk persembunyian para monster.

“Apakah kau tahu di mana tepatnya dia berada?” tanya Jack, mereka telah keluar dari pasar.

Freya mengangkat bahu. “Aku tidak yakin, tapi dia mengatakan sesuatu tentang memburu monster.”

Jack menghentikan langkahnya, begitu juga dengan Freya. Lelaki itu tampaknya sudah menyadari apa yang sedang dilakukan pangeran bodoh itu.

“Demi Dewi Cahaya yang agung.” Dia menghela napas pasrah. “Pasti di hutan. Yang Mulia sudah mendengar tentang monster itu, aku yakin tim penyelidik juga sudah dikerahkan. Tapi Luke? Dia — astaga, aku lupa dia bukan hanya seorang pangeran tetapi juga seorang pemburu monster.”

Jadi, tebakan Freya benar. Hutan selalu menjadi tempat untuk monster bersembunyi dan Luke tahu tempat itu seperti telapak tangannya.

“Ini salahku, harusnya aku menolak tawaran bir itu,” gumam Jack.

“Dia menawarimu bir?”

“Memaksa, lebih tepatnya.” Jack mengoreksi.

Freya mengutuk pelan. “Ini semua sudah direncanakan. Dia membawa kita ke kedai, membuat kita mabuk, lalu menyelinap keluar. Aku tidak menyangka dia bisa begitu pintar tapi juga bodoh pada saat yang sama.”

Mereka berdua berlari ke dalam hutan. Luke mungkin sudah mati. Ya ampun, berapa lama dia pergi? Kenapa dia tidak menyadari bahwa pria itu menyelinap keluar? Dia pasti terlalu asyik berbicara dengan Edmund. Sekarang, jika dia mati, apa yang harus Freya katakan kepada Nicholas? Pria malang itu.

“Luke!” teriak Jack.

Sunyi, tidak ada jawaban. Mereka masuk lebih dalam, kemudian tercium bau darah segar. Mereka berhenti untuk melihat bangkai monster yang sangat besar, dan di sampingnya ada Luke yang bersandar pada sebuah pohon, tidak sadarkan diri.

Freya mendekati pria itu, berlutut di sampingnya untuk merasakan denyut nadi dan napas yang melambat. Wajah lelaki itu lebih pucat dari biasanya, rambutnya basah karena keringat, dan baju zirahnya berlumuran darah di mana-mana.

Jack berlutut di sisi Luke yang lain, meneriaki namanya.

“Luke, Luke.” Freya memanggil, memberi tamparan ringan pada pipi yang memiliki memar. Perlahan, dia merasa sihirnya mengalir ke telapak tangannya, bersinar dengan cahaya biru terang, dan memar di pipi Luke perlahan hilang.

“Sihirmu, itu menyembuhkannya.” Jack terkesan.

“Tapi itu tidak membuatnya lebih baik,” balas Freya. “Luke! Luke!” Dia mengguncang tubuh lelaki itu. “Buka matamu!”

Luke membuka matanya dengan pelan, napas nya yang lambat mulai terengah-engah untuk mencari lebih banyak oksigen. Freya mundur dan memberikannya sedikit ruang untuk bernapas.

“Freya...” Luke terdengar sangat lega. “Jack.”

“Senang kau kembali bersama kami, Pangeran,” kata Jack, meski suaranya tegang. “Bisakah kau memberitahu kami di mana yang sakit?”

Alis Luke berkerut dan dia mengerutkan kening saat dia akhirnya menyadari bahwa tubuhnya berteriak kesakitan. Erangan kecil keluar dari tenggorokannya. “Punggungku,” jawabnya dengan meringis, lemas. “Berdarah.”

Jack mulai melepaskan baju besi dengan cepat, dia melakukan hal yang sama dengan kemejanya. Freya tersentak ketika dia melihat semua luka yang dia dapatkan, betapa banyak darah yang ada di sana. Druid itu bisa saja mati kehabisan darah jika mereka tidak menyadari bahwa dia hilang.

“Freya, bisakah kau menggunakan sihirmu untuk menyembuhkan luka-luka ini seperti memar tadi?” Jack menatapnya, panik di matanya. “Aku tidak terlalu berbakat dalam hal penyembuhan. Meskipun aku seharusnya bisa, tapi luka ini perlu dijahit.”

“Akan kucoba,” jawab Freya, mengarahkan tangannya ke luka-luka yang ada di dada Luke. Dia menutup matanya, memaksakan sihirnya untuk mengalir lagi dan lagi. Rasa hangat yang akrab di telapak tangannya membuatnya merasa bahwa itu berhasil. Dia membuka matanya untuk melihat Luke rileks, meskipun matanya kembali tertutup.

“Kita harus kembali ke kastel,” ujar Jack lagi. “Pangeranku, bisakah kau berjalan sekarang?”

“Kau serius? Aku ragu dia bahkan bisa berdiri.”

“Aku bisa,” sahut Luke. Freya dan Jack sontak menoleh. “Meskipun mati rasa, tapi aku bisa.” Luke membuka matanya.

“Jangan konyol, jika sesuatu terjadi padamu maka Jack akan terkena masalah,” bantah Freya.

“Aku yakin, Freya, aku bisa.” Luke mencoba untuk berdiri, menyandarkan dirinya pada Freya dan Jack. “Tapi aku butuh bagian dari monster itu. Sebagai bukti.”

“Bagian yang mana?” tanya Freya.

“Biasanya aku akan membawa kepalanya, tapi itu terlalu besar.” Lelaki itu menoleh kepada Jack. “Ambil saja bagian tubuhnya yang lain.”

Jack mengangguk, dan, oh tidak, sutra kuningnya yang cantik berlumuran darah Luke. Mungkin itu sebabnya dia tidak mengeluh ketika dia berlutut dan mulai menggergaji tulang dan otot. Luke tahu itu pekerjaan yang mengerikan. Jika dia kurang pusing, dia akan bersikeras melakukannya sendiri.

Dibutuhkan beberapa menit untuk meretas, tetapi Jack akhirnya menarik kembali dengan salah satu cakar di tangannya.

“Itu sempurna,” kata Luke, dan Jack memiringkan kepalanya, kembali ke sisi Luke dan melingkarkan lengannya di tubuh Luke. Beberapa darah di punggung Luke masih basah, menodai lebih banyak lagi di lengan penjaga itu. Luke mengernyit. “Jack, bajumu…”

“Ini sangat tidak penting dari hidup Anda,” balas sang penjaga, menyelesaikan dengan lembut. Dia menyerahkan baju zirahnya kepada Luke, pedang masih diikat ke belakang, dan Luke mengambilnya dengan patuh, mengabaikan rasa sakit punggungnya.

Bersama-sama, mereka pincang keluar dari hutan.

Sesampainya di kastel, Nicholas memberikan mereka ceramah yang berlangsung selama tiga puluh menit, sebelum membawa Luke ke kamar pribadinya dan menjahit luka putranya sendiri. Jack kembali ke tugasnya, merasa bersalah, mungkin. Sementara Freya kembali ke kamar tamu.

Setelah mandi, Freya mencoba beristirahat. Tapi tidak bisa. Jadi dia hanya duduk di tepi tempat tidurnya, mencoba mempraktikkan sihirnya lagi dan lagi. Mungkin dengan itu, tubuhnya akan lelah dan dia bisa tidur.

Sekitar sepuluh menit, pintunya di buka tanpa ketukan. Luke masuk, tertatih-tatih, kakinya memiliki perban. Rambutnya lebih berantakan, keringat di seluruh wajahnya membuat Freya mengerti bahwa mungkin butuh usaha lebih dari biasanya untuk Brat Prince datang ke kamarnya.

“Pernahkah kau mengetuk pintu sebelumnya?” tanyanya, mendapatkan decakan kesal dari Luke yang langsung duduk di sebelahnya.

Luke mengembuskan napas lelah. “Bagaimana perasaanmu?” tanya Luke kepadanya.

“Perasaanku? Bukankah itu terbalik? Aku bukan orang yang dipukul oleh monster.” Luke tertawa, sebelum berhenti dan menatapnya. Dan hanya menatapnya, tidak mengatakan sepatah kata apa pun. “Kenapa?”

Luke butuh beberapa detik untuk menjawabnya. “Apa?”

“Kau melihatku seperti itu, apakah kepalamu baik-baik saja?”

Senyuman kecil di bibir lelaki itu membuat Freya semakin bingung. Bukan seringai nakal seperti biasanya, hanya senyum tulus. Jika itu memang tulus, siapa yang tahu.

“Terima kasih,” kata Luke. “Kau sudah menyelamatkan hidupku. Jika tidak, aku mungkin sudah mati kehabisan darah.”

“Jika kau tidak menyelinap, mungkin ini semua tidak akan terjadi,” balas Freya, mendapatkan tawa tanpa humor dari Luke.

“Apa yang membuatmu berpikir ini tidak akan terjadi? Harus kuakui, jika tidak hari ini, maka itu akan terjadi seminggu yang lalu. Atau mungkin minggu depan. Warga akan terus mengeluh, korban akan semakin berjatuhan.”

“Pernahkah seseorang mengatakan kepadamu secara langsung bahwa kau sangat, sangat, bodoh?” gerutu Freya. “Itu namanya bunuh diri.”

“Mereka ingin aku menyingkirkan monster itu secepat mungkin,” kata Luke.

“Siapa? Warga?”

Luke menggelengkan kepalanya. “Para anggota dewan. Mereka telah mengirimkan ku pesan secara rutin akhir-akhir ini. Mereka perlu berkumpul di Rivalian, mengadakan pertemuan. Untuk memutuskan nasibmu.”

Nasibnya? Apakah mereka benar-benar ingin membuat dia masuk penjara? Atau bahkan dihukum mati?

“Edmund sudah berusaha untuk meyakinkan Ayahnya bahwa pertemuan itu bisa dilakukan selama lima tahun sekali, seperti seharusnya. Tapi... Rumor pembunuhan tidak lagi terdengar.” Luke menyampaikan kalimat terakhir dengan pelan. “Artinya, kau bisa saja dinyatakan bersalah. Apa lagi Raja Arlan sangat mendesak untuk pertemuan ini, mungkin Rivalian sudah tidak aman lagi bagimu.”

“Apa maksudmu?”

“Maksudku, kau harus pergi.” Luke menghela napas. “Aku berhutang nyawa padamu, dua kali. Maka aku akan membantumu sebisa mungkin.”

“Ayahmu mengatakan sesuatu tentang kau tidak mampu membela seseorang yang sudah kau janjikan kebebasan, apa itu benar?” tanya Freya. Luke mengangguk.

“Saat itu, aku berumur empat belas tahun,” aku Luke. “Aku menghabiskan tiga hari dipenjara terkutuk karena itu. Aku tidak ingin hal yang sama terjadi lagi. Tidak padaku, tidak padamu.”

“Dan Ayahmu membiarkan itu?” tanya Freya, tidak percaya.

Luke mengangguk lagi. “Hukum adalah hukum. Aku terlalu bodoh untuk menyadari konsekuensi dari perbuatan ku. Sekarang, aku bisa membayar seseorang untuk membayar seseorang lainnya agar berpura-pura menjadi pembunuh itu.”

“Kau membayar seseorang untuk membayar seseorang?”

“Itu adalah cara yang cerdas.” Luke mengangkat bahunya. “Tapi akan ada korban lagi, dan itu bodoh.”

“Jadi itu cerdas atau bodoh?”

“Tergantung sudut pandang. Jika aku seseorang yang berhati dingin, aku tidak akan ragu untuk menjalankan rencana itu,” jawab Luke. “Sayangnya, aku bukanlah seseorang yang berhati dingin.”

Luke mendongak ke arahnya. “Tapi karena aku berhutang nyawa padamu, aku akan melakukan apa saja untuk menyelamatkan nyawamu.”

“Agar kau tidak berakhir dipenjara?” dengus Freya.

“Itu juga,” kekeh Luke. “Hari namaku di titik balik matahari musim dingin. Seluruh Rivalian akan merayakan. Itu akan berlangsung selama sebelas hari, sekaligus merayakan pergantian tahun.”

“Dan?”

“Aku melewatkan tiga hari pertama ketika aku terjebak dipenjara.” Luke berdiri, berbalik menghadap Freya. “Festival akan diadakan... Dua minggu dari sekarang.”

Tangan Luke meraba gagang pintu. “Sekali lagi, terima kasih,” katanya sebelum pergi dari kamar, meninggalkan Freya tertegun sejenak.

Nicholas benar-benar membiarkan anaknya dipenjara selama tiga hari? Pikir gadis itu, masih tidak percaya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top