25 | You And I Got Lost In It
Freya terbangun saat kereta berhenti. Astaga, dia tidur selama lima jam jika mereka sudah sampai di Forest of Truth. Dia melihat Gwen dan Matthias tidur, bersama Alois yang meminum darah dari gelas. Dia juga mendapati dirinya bersandar di dinding kereta kuda itu. Saat itu, dia menyadari Luke tidak ada di sana. Mungkin karena dialah yang mengemudikan kereta.
Alois mulai membangunkan Gwen dan Matthias. Pasangan itu mengerang, kesal karena dibangunkan. Freya menggelengkan kepalanya, dia sendiri cukup pusing karena tidur dengan posisi itu. Selain itu, bukankah Matthias lah yang seharusnya mengemudi dalam dua jam terakhir? Tapi pria itu malah tidur di sini bersama Gwen.
Freya berdiri dengan linglung dan berjalan ke luar dari kereta kuda mereka. Luke ada di sana, menatap hutan lebat yang diselimuti dengan kabut. Lelaki itu tampak terkesan, padahal hutan ini terlihat seperti hutan angker yang memiliki banyak sekali monster di dalamnya. Mungkin karena itulah dia merasa sangat senang.
"Bagaimana istirahatmu?" tanya Luke ketika dia menyadari bahwa Freya ada di sana.
"Tidak senyaman itu, tapi bagus." Dia tersenyum dan tanpa peringatan, Freya memukul pelan lengannya. Lelaki itu meringis, tapi Freya menyeringai. "Aku merasa dipermalukan, Gwen dan Matthias pasti membicarakan tentang kita."
Luke memutar matanya. "Biarkan mereka."
"Kau yakin ingin melakukan ini?"
"Ya. Ini permintaan terakhir Lena."
"Sekarang, bagaimana kita masuk ke dalam hutan itu?" tanya Alois pada Matthias, darah masih ada di sudut mulutnya.
"Kau tidak perlu melakukan apapun," jawab Matthias, berjalan mendekati hutan. "Hanya masuk ke sana."
"Tunggu ... apa sebenarnya yang ingin kita temukan di hutan ini?" tanya Alois lagi. Freya mengernyit, bingung. Padahal dia yakin sudah menjelaskan detail perjalanan mereka kepada Alois tadi malam.
"Dia mencampur darah dengan alkohol," bisik Gwen pada Freya. "Dia memiliki kondisi ketika dia minum alkohol, dia sering melupakan sesuatu yang penting. Itu sebabnya alkohol dilarang baginya. Dia hanya suka melanggar aturan, sama seperti pangeran nakalmu."
"Diam," desis Freya.
"Tapi darah perlahan akan membawanya kembali dari pikirannya yang gila," timpal Luke. "Kita akan mencari Lake of The Lost untuk menemui para Siren." Alois hanya mengangguk.
Matthias melangkah lebih dulu, lalu yang lainnya mengikutinya. Hutannya lebih hijau dari hutan Demonio, tapi kegelapannya hampir sama. Kecuali masih ada sinar yang bisa masuk ke sini, juga, kabut yang mengelilingi ketika mereka masuk. Semakin dalam mereka berjalan, kabut itu semakin tebal. Freya hampir tidak bisa melihat teman-temannya. Dia memfokuskan matanya pada seseorang yang lebih dekat dengannya, kemudian dia melihat rambut perak yang tentu saja dia kenali.
"Luke?" panggilnya. Luke berbalik, tapi dia yakin Druid itu tidak bisa melihat apapun. "Kau kembali ke dirimu yang dulu."
"Apa maksudmu-tunggu, kenapa penampilanmu terlihat berbeda?"
Berbeda? Dia melihat ke tangannya, lalu pakaiannya, dan tidak ada yang berubah. Dia bisa mendengar Luke mendekatinya, kemudian dia merasakan jari-jari lembut pria itu di rambutnya.
"Rambutmu ... seperti hitam, tapi agak kebiruan." Dia melihat rambutnya yang panjang, dan Luke benar. Mereka tidak merah seperti biasanya, tapi hitam kebiruan seperti yang dikatakan Luke. "Seperti langit tengah malam di sekitar cahaya bulan, gelap tapi biru."
"Aku pikir ini bukan waktunya untuk menjadi puitis sekarang."
Luke menggelengkan kepalanya. "Aku ingin kau mengatakan sesuatu tentangku sekarang. Warna rambutku-apa pun yang kau lihat," tuntutnya.
Freya menyipitkan matanya lagi, mencoba mendapatkan pengelihatan yang lebih jelas. Di sana, berdiri Luke. Bukan bocah berambut cokelat yang manis, tapi si pirang perak dengan kutukan satu sisi di wajahnya. Tangannya tanpa sadar bergerak untuk menyentuh kutukan yang ada di sisi kiri wajah Luke.
"Jelaskan," kata Luke lagi.
"Kau terlihat seperti dirimu lagi, seperti yang aku katakan sebelumnya." Luke menggelengkan kepalanya. "Kau ingin lebih? Oke. Kutukannya kembali, bulu matamu sudah tidak panjang lagi, tapi masih lentik, wajahmu lebih dewasa dan tidak begitu polos seperti sebelumnya." Kabut disekitar mereka menghilang. Tidak sepenuhnya menghilang, tapi mereka bisa melihat satu sama lain dengan lebih jelas sekarang.
Freya melepaskan tangannya dari wajah Luke. "Itu dia." Lelaki itu tersenyum.
"Apa?"
"Ini adalah Forest of Truth, di mana semua kebenaran akan keluar." Si pangeran melihat sekeliling hutan yang masih dipenuhi kabut. "Dan kita perlu mengatakannya kepada satu sama lain atau kita perlu memikirkannya sendiri. Kau bilang aku kembali ke diriku yang dulu, itu sebabnya kabut itu memudar."
"Seperti itu? Lalu bagaimana dengan Alois?"
Luke terkekeh. "Aku kira kita berdua beranggapan sama. Gwen pasti bersama Matthias sekarang. Seperti yang kukatakan tadi, kita bisa memikirkannya sendiri."
"Seperti apa?"
"Seperti ini. Ayahku lebih menyayangiku daripada Lucien!" teriak Luke. Kabut memudar meskipun hanya sedikit. "Jadi kita hanya perlu memberitahu semua kebenaran tentang diri kita atau satu sama lain."
"Bagaimana jika kita berbohong?"
Luke mengangkat bahu. "Aku menyukai kehidupan istanaku!" teriaknya lagi. Tiba-tiba akar besar dari sebuah pohon melilit kaki Luke, menariknya mendekat ke sebuah pohon besar, akar itu merambat dengan cepat ke tubuhnya, membuatnya terikat pada pohon. Saking cepatnya itu terjadi, Freya bahkan tidak sempat memberikan reaksi.
Dia berlari mendekati pohon itu, melihat Luke yang menggeliat. Freya mencoba menarik akar itu, tapi terlalu kuat. Dia mengeluarkan belati yang dibawanya dan mencoba memotong akar itu dan gagal lagi. Luke menggeliat tidak nyaman di bawah akar yang mengikatnya ke pohon.
"Jadi itulah yang akan terjadi jika kita berbohong," gumam si rambut perak, akhirnya menyerah dan berhenti menggeliat.
"Kenapa kau melakukan itu bodoh?!"
"Kau yang bertanya?"
Hasrat ingin memukul wajah Druid itu semakin besar. Namun, Freya hanya berdecak kesal dan tahu bahwa dia tidak seharusnya bertanya seperti itu. Ini Luke, dia akan melakukan apa saja tanpa berpikir dua kali. Tapi beberapa saat yang lalu dia bertingkah seperti seorang jenius dan sekarang lelaki itu terikat di sebuah pohon.
"Kau tidak suka berada di istana?"
"Tidak, jelas tidak. Ada begitu banyak aturan dan aku tidak suka aturan." Pangeran ini benar-benar terlahir untuk menjadi pemberontak.
"Kita tidak dapat menghancurkan ini, apakah kau memikirkan sesuatu?" tanya Freya, memegang akar itu.
"Tidak, tapi mungkin ada beberapa pertanyaan di kepalaku. Mengapa warna rambutmu berubah? Apakah kau mewarnainya selama ini?"
"Sebenarnya aku tidak tahu," akunya, "pasti ada sesuatu."
"Jika hutan ini bisa membuat kita mengungkapkan, mungkin hutan ini juga bisa menunjukkan kebenaran." Seperti apa? Freya berbalik dari Luke, menatap sekeliling hutan. Tidak ada apa-apa. Bagaimana ini bisa menunjukkan kebenaran seperti yang dikatakan Luke? Dia menutup matanya, mencoba untuk fokus.
Aku ingin tahu siapa pembunuh yang membunuh seluruh keluargaku, pikirnya. Dia mengulang kalimat itu berkali-kali di dalam pikirannya. Dia membuka matanya lagi dan kabut di sana anehnya semakin tebal.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Luke.
"Aku ... tidak tahu." Hanya itu yang bisa dia katakan. Kabut tebal itu akhirnya memudar lagi dan seekor serigala dengan bulu seputih salju terlihat berdiri di depan mereka berdua.
"Kenapa ada serigala?"
"Kuharap aku tahu, Luke, tapi aku sama bingungnya denganmu." Dia mendekati serigala itu dan mengelus kepalanya. Serigala itu tetap diam, Freya mengamati ada bekas luka di kaki depannya. Dia pernah melihat serigala ini. Dia tahu itu. Jika dia ingat dengan benar, hanya ada satu keluarga manusia serigala yang dia kenal sebelum Matthias. Keluarga Lyall. Beberapa detik kemudian kabut mulai menebal dan memudar lagi, serigala itu menghilang.
Apakah mungkin pembunuh itu adalah salah satu dari keluarga Lyall? Mustahil. Edmund bersahabat dengannya, mana mungkin dia tega melakukan hal seperti itu. Tuan Lyall juga memiliki hubungan yang cukup baik dengan orang tuanya. Dia pernah melihat Edmund berubah menjadi serigala dan serigala tadi mirip dengan Edmund saat menjadi serigala.
"Freya, apa yang kau tanyakan pada hutan ini?"
"Aku hanya bertanya siapa pembunuh yang membunuh seluruh keluargaku." Freya yakin Luke akan menanyakan beberapa pertanyaan lagi, tapi dia tidak akan menjawabnya sekarang. Dia perlu tahu sesuatu yang lain juga. Dia menutup matanya lagi.
Kenapa Ezra sangat menginginkan darah Luke?
Kabut menebal lagi dan memudar dengan cepat. Ada cahaya dari atas, dan bayangan hitam yang mengepul seperti asap dari bawah. Cahaya dan bayangan itu menyatu dan membuat simbol seperti Yin dan Yang. Apa artinya ini? Hutan ini memang menunjukkan kebenaran, tapi begitu banyak teka-teki.
"Apa yang kau tanya kali ini?"
"Tentangmu. Sekarang tutup mulut dan biarkan aku mengajukan satu pertanyaan lagi."
Setelah beberapa saat, akhirnya dia mengingat mimpi aneh yang selalu dia impikan setiap malam. Bahkan mimpi yang dia miliki saat bersama dengan Gwen juga sering berulang. Dia ingin tahu yang sebenarnya.
Siapa aku sebenarnya?
Pasti ada rahasia yang disembunyikan darinya. Jika dia masuk ke hutan ini lalu penampilannya berubah begitu saja, tidak mungkin tidak ada sesuatu dibalik itu kan? Pasti ada sesuatu. Dia ingin tahu sekarang. Kabut menebal dan memudar seperti sebelumnya, kali ini sosok seorang wanita dengan pakaian seperti dewa-dewi Olympus berdiri di sana. Rambutnya hitam kebiruan dengan kulit seputih susu. Matanya abu-abu seperti milik Freya. Tapi wanita ini jelas seratus kali lebih cantik darinya, wanita di sana seperti seorang Dewi.
Mengapa kau bermain teka-teki? Aku ingin tahu siapa aku sebenarnya! Tunjukkan semuanya.
Kesabarannya sudah menipis karena teka-teki hutan ini. Tak lama kemudian kabut tersebut menebal lagi. Hutan itu berguncang, Freya merasa panik. Apakah dia sudah membuat hutan ini tersinggung? Dia melirik Luke yang sama paniknya, ikatan akar tersebut semakin ketat, pasti sulit untuk bernapas.
Demi Dewi Cahaya, dia merusak segalanya karena ketidaksabaran itu.
Kabut itu mulai menghitam, udara tidak lagi jernih. Freya merasa pusing, ada sesuatu di udara ini. Mungkin racun. Tubuhnya lemas, kakinya hampir menyerah untuk berdiri. Pada akhirnya dia jatuh, matanya sungguh berat, hampir tidak bisa dibuka.
"Freya!" Adalah hal terakhir yang dia dengar sebelum jatuh ke tanah dan kehilangan kesadarannya.
...
"Freya Morrigan. Kau memaksa Forest of Truth untuk memberi tahumu siapa kau sebenarnya. Hutan tidak bisa melakukan itu, tapi aku bisa. Ini adalah alam bawah sadarmu dan aku sudah ada di sini sejak lama." Seorang wanita yang dilihat oleh Freya tadi berdiri di depannya. "Aku adalah Nemesis dan aku akan menjelaskan semuanya kepadamu."
"Apa ... apa maksudmu?"
Sang Dewi tersenyum lagi. "Kau adalah aku, dan aku adalah kau. Kita sama."
Itu membuatnya semakin bingung. Apa maksudnya ini? Sang Dewi sepertinya menyadari kebingungannya dan terkekeh.
"Tidakkah kamu menyadari bahwa kau telah tumbuh untuk peduli pada pangeran muda itu hari demi hari? Aku juga melakukan hal yang sama. Awalnya, aku bahkan tidak peduli padanya. Tapi sekarang, aku sangat merindukannya."
"Siapa?"
"Silas."
Silas. Leluhur Luke.
"Silasku sangat baik kepadaku, kepada kita. Tapi dia hanya orang yang hancur. Aku merasa kasihan padanya. Karena kutukannya, dia dijauhi banyak orang dan menerima penghinaan-penghinaan yang tidak pantas dia dapatkan. Selain Dewi Pembalasan, aku adalah Dewi keadilan. Aku memberikan keadilan kepada semua makhluk. Apa yang dialami Silas dan saudara-saudaranya tidaklah adil."
Sang Dewi melambaikan tangannya dan memperlihatkan seorang remaja yang menangis menatap tubuh seorang gadis yang sudah meninggal. Pengelihatan itu berganti, tapi tetap saja sang pria menangis dan gadis-gadis cantik terkulai mati di lantai.
"Semua gadis itu bunuh diri ketika melihat kutukan yang ada di wajahnya." Freya melirik sang Dewi. "Tyche tidak bisa memberikan nasib yang baik kepadanya karena kutukan Demeter. Aku semakin kasihan, dan tanpa kusadari, aku jatuh cinta padanya. Pada suatu malam, aku berani menemuinya yang sedang menangis di tepi danau istana. Dia banyak menangis karena tunangannya baru saja bunuh diri lagi. Aku menenangkannya dan dia berterima kasih berulang kali padaku. Sejak hari itu, hari demi hari ku lalui hanya dengan mengawasinya dari tempatku. Suatu malam, Aphrodite mendatangiku dan mengatakan bahwa Silas tidak berhenti memikirkanku. Remaja itu bodoh, adalah hal yang pertama kupikirkan."
"Kau tahu mengapa, 'kan? Silas jatuh cinta padaku hanya karena aku menunjukkan sedikit kepedulianku padanya. Tidak heran dia sering patah hati. Jiwanya polos, dia langsung jatuh hati pada seseorang yang menunjukkan kebaikan padanya. Tak ingin membuatnya sedih, aku pun mendatanginya lagi. Kau tahu apa yang dia lakukan? Dia langsung mencoba menjauhiku. Dia pikir aku mengabaikannya karena kutukannya."
"Apa hubungannya kisah cinta ini denganku?" tanya Freya. Nemesis menghela napas.
"Dengarkan saja dulu. Sejak hari itu aku tinggal bersamanya, dia semakin sering tersenyum dan aku sangat ingin melindungi senyuman itu. Pada akhirnya aku melalaikan tugasku, itu membuatku dipanggil ke Olympus dan menerima banyak protes, terutama dari Zeus yang cemburu pada Silas. Aku mencoba mencari keadilan, padahal aku sendirilah keadilan itu. Aku menggugat agar kutukan Silas dicabut. Memang butuh usaha, tapi pada akhirnya aku menang. Ada konsekuensinya dan aku menerima itu tanpa berpikir dua kali."
"Apa yang terjadi dengan Silas? Apakah kau meninggalkannya?" Nemesis mengangguk.
"Memang berat, aku tidak tega meninggalkannya begitu. Tapi aku sudah berjanji aku akan kembali, dan aku kembali sebagai dirimu." Sang Dewi memegang dagu Freya. "Apakah kau bersedia untuk melindungi Silas sekali lagi?"
"Kenapa harus aku?"
"Ezra. Dia juga jatuh cinta padaku, tapi aku mencampakkannya demi Silas, dia mencoba menyakiti Silas sekarang. Kau akan melindungi Silasku 'kan?"
Satu-satunya orang yang coba disakiti Ezra adalah Luke. Dia sangat menginginkan darah Luke, dan Freya sudah bersumpah bahwa dia akan melindungi Luke dari iblis itu. "Luke. Luke adalah Silas." Realisasi memukulnya.
Nemesis mengangguk. "Dia tidak tahu. Sekarang, maukah kau melindungi jiwa polos itu sekali lagi? Aku janji, kau akan mendapatkan pembalasan yang kau inginkan. Asal kau mau melindungi Silasku."
"Baiklah, jika begitu."
Sang Dewi meraih kedua tangannya, menggenggamnya dengan erat. "Ingatanku tentang Silas akan hidup di dalam dirimu."
"Apa yang akan terjadi padamu?"
"Tidak ada. Bukankah sudah kukatakan? Aku adalah kau dan kau adalah aku. Kita satu jiwa." Tangan Nemesis bercahaya dan ingatan-ingatan tentang lelaki berambut perak yang manis masuk ke dalam kepalanya.
"Lindungi Silasku, dan juga Luke mu."
...
Freya membuka matanya. Dia tidak bangun di tanah seperti dugaannya, dia bangun dipangkuan seseorang. Jika dia mengingat dengan benar, dia seharusnya berada di hutan dengan Luke.
"Freya? Kau masih hidup?" Nada suaranya terdengar sangat lega.
"Pertanyaan bodoh macam apa itu? Tidak ada orang mati yang mau menjawab pertanyaanmu," paparnya kepada pria itu. Luke tertawa dan sekali lagi, Freya merasa senang melihat tawa itu. Apakah ini pengaruh ingatan Nemesis? Luke membantunya berdiri, kabut di sekitar mereka sudah hilang sekarang, jadi mereka bisa keluar dari hutan ini.
Tidak masalah jika dia harus melindungi Luke, bahkan jika dia harus mati sekalipun, asalkan dia tahu dia akan mendapatkan pembalasan yang pantas.
"Apa yang kau tanyakan sampai kau pingsan seperti itu?" tanya Luke, khawatir.
"Sudah kubilang aku bertanya tentangmu."
"Tentang apa?"
"Tentang kutukanmu." Freya menyentuh kutukan itu sekali lagi, memikirkan bagaimana Silas di masa lalu yang sangat membenci kutukan itu. Luke pasti merasakan hal yang sama.
Sulit untuk membedakan Luke dan Silas sekarang. Tapi itu tidak masalah, dia mendorong ingatan Nemesis tentang Silas ke belakang kepalanya. Sekarang, dia hanya harus fokus kepada Luke.
"Kenapa?" Lelaki itu berhenti berjalan, menatapnya dengan serius. "Bukannya kau tidak ingin membantuku menghilangkan kutukan ini?" Jika Freya tidak memiliki ingatan Nemesis, dia tidak akan menyadari bahwa itu adalah pernyataan paling menyedihkan yang pernah dikeluarkan dari mulut lelaki berambut perak ini. Tidak, Nemesis akan melakukan itu. Tugas Freya hanya untuk melindunginya saja.
"Karena ..." Apa yang harus dia gunakan sebagai alasan? Ayolah Freya, pikirkan sesuatu. Luke bukan orang bodoh, tentu saja dia menyadari bahwa ada yang aneh dengan Freya yang tiba-tiba saja peduli pada kutukannya. Peduli. Silas jatuh hati pada Nemesis karena kepedulian. "Karena aku peduli padamu."
Luke mengerjapkan matanya, rona merah muda muncul di pipinya. "Kau? Peduli padaku?"
Freya mengangguk. "Sekarang, ayo kita keluar dari hutan ini."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top