17 | Call Me And I Will Come

"Ayo pulang," kata Aisha. Freya mengangguk, meskipun dia masih merasa ada sesuatu antara dia dan pria bernama Casper itu. Rasa familier itu sangat aneh, karena jelas dia belum pernah bertemu dengan pria itu.

Saat di jalan, Freya merasa seperti ada yang mengawasi mereka berdua. Dia melirik ke salah satu cabang pohon, mendapati seekor gagak bertengger di sana. Matanya menatap mata Freya dengan tajam, seolah-olah berusaha mengintimidasinya. Tapi itu tidak membuatnya takut, seekor gagak tidak akan bisa melukainya.

"Kau tahu, kau adalah pembelajar yang cepat. Aku yakin kau akan dapat mempelajari semua mantra sihir itu dalam waktu singkat," kata Aisha, membuat Freya menatapnya. "Jangan memaksakan diri. Luangkan waktu untuk beristirahat dan biarkan sihirmu pulih."

"Maksudmu, selama empat hari ini aku terlalu memaksakan diri untuk berlatih sihir?" Aisha mengangguk. Freya menunduk, bahunya merosot. Memang dia ingin cepat-cepat mempelajari dan menguasai sihirnya, tapi dia memiliki alasan untuk itu. Dia ingin membalas dendam atas kematian keluarganya. Itu saja.

"Apakah karena pangeran muda itu, kau begitu bersemangat mempelajari semua mantra sihir?" tanya Aisha, menggodanya. Freya memutar matanya. Luke tidaklah sepenting itu.

"Tidak. Aku punya alasan sendiri."

"Tapi dia salah satu alasanmu, kan?"

"Tentu saja bukan."

"Tetapi kau ingin membantunya dengan mematahkan kutukannya?"

"Aisha." Freya menghela napas, berhenti dan menatap Aisha. "Kutukan itu bersifat pribadi. Aku ingin membantunya seperti dia telah membantuku. Tidak ada yang lebih dari itu."

Aisha memegang tangan Freya. "Lalu pergi bantu dia," kata penyihir itu, mengusap tangannya dengan pelan. "kenapa masih disini? Sihirmu liar dan luar biasa. Itu hanya bisa dijinakkan oleh orang yang tepat. Sihirmu merasakan sesuatu tentang bocah itu. Apa pun itu, itu harus menjadi sesuatu. Sesuatu yang membuat sihirmu nyaman."

Freya menunduk saat penyihir itu melepaskan tangannya. Tapi apa sesuatu itu? Apa yang dirasakan sihirnya tapi tidak bisa dirasakan olehnya?

"Jika kau memang ingin membantunya karena merasa perlu membalas kebaikannya terus-menerus tanpa alasan lain itu jelas aneh, Freya." Aisha berjalan lagi, Freya mengikuti penyihir yang lebih tua. "Ketika kau meledakkan kapal dan membunuh orang-orang di dalam kapal itu, Freya, bagaimana perasaanmu? Apakah kau merasa bersalah telah membunuh mereka atau kau merasa lega bahwa kau telah menyelamatkan nyawa teman-temanmu?"

"Aku merasa ... lega?" katanya, tidak yakin. Dia tidak terlalu memikirkan orang-orang di dalam kapal itu. Bahkan dirinya. Setelah dia memperingatkan Luke untuk keluar dari kapal dan dia melakukannya, dia merasa lega, lalu dia meledakkan kapal dan dia tidak peduli bagaimana perasaannya. Teman-temannya selamat. Tidak ada yang terluka.

"Itu dia," kata Aisha, "Tapi itu tidak mengubah fakta bahwa kau telah membunuh para druid itu. Berarti kau telah melanggar aturan, ras lain tidak diizinkan untuk membunuh ras lainnya, dan kau, pada dasarnya, telah melakukan kejahatan."

"Dan itu artinya jika aku kembali ke Rivalian, aku akan dihukum mati kan?" gumam Freya ketika kesadaran memukulnya.

"Benar." Aisha mengangguk. "Tapi kau masih ingin membantunya, benar kan?"

Memang benar kemungkinan besar dia akan dieksekusi karena membunuh ras lain. Tapi Luke ... mengapa dia lebih peduli padanya daripada dirinya sendiri? Dia harus mengutamakan dirinya sendiri, dia tahu itu. Tapi itu egois, ibunya pernah mengatakan itu padanya. Tapi Luke juga membutuhkan bantuannya. Oke, mungkin dia tidak terlalu membutuhkan bantuannya karena dia tidak tahu cara mematahkan kutukan itu, tapi dia masih bisa ada untuknya. Bahkan di dalam penjara.

Perlahan, dia mengangguk pada Aisha. "Dia tahu tempat ini berbahaya bagi Druid sepertinya. Tapi dia masih datang ke sini untuk membantuku melarikan diri dari para bangsawan. Mengapa aku tidak bisa melakukan hal yang sama untuk membantunya?"

Mereka berdua terdiam beberapa saat, sebelum Aisha tertawa kecil. "Kalau begitu, kau harus menemukan cara untuk mematahkan kutukan itu, atau kau bisa membantunya menemukan pelaku pembunuhan massal itu."

"Ya, tapi bagaimana?"

Aisha mengangkat bahu dan kembali berjalan. "Aku akan bertanya kepada nenekku apakah dia memiliki buku tentang kutukan itu."

Keduanya sampai di rumah Aisha ketika malam sudah larut. Di dalam, Freya melihat Gwen dan Matthias tertidur di sofa. Kepala Gwen tersandar di bahu Matthias, keduanya tampak nyenyak, jadi Freya tidak ingin membangunkan mereka.

"Freya," panggil Aisha. Freya menoleh pada gadis itu yang memberinya isyarat untuk mengikutinya. Freya pun mengikuti Aisha menuju kamar nenek Aisha. Begitu Aisha membuka pintu, Freya bisa melihat Kamala yang sedang sibuk membaca suatu buku tebal. Suasana di kamar itu terang dengan cahaya lilin dan bulan, juga angin sepoi-sepoi yang masuk dari jendela.

"Ah, Freya. Kemari sebentar," kata nenek Aisha, mendongak dari bukunya. Dia melakukan apa yang diminta, Kamala meletakkan tangannya di bahu Freya, menutup matanya dan membacakan sebuah mantra yang tidak bisa dipahami oleh Freya. Cahaya lilin di sana terlihat seperti bersinar semakin terang, angin yang masuk dari jendela juga semakin kencang. Aisha buru-buru menutup jendela itu.

Dia tidak mengerti. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang nenek Aisha coba lakukan padanya? Apakah ini perangkap?

"Kau akan baik-baik saja, Freya," kata Aisha. "Tolong jangan takut. Fokuskan pikiranmu pada nenekku." Maka Freya melakukan itu. Beberapa saat kemudian, nenek Aisha membuka matanya lagi dan melepaskan tangannya dari bahu Freya.

"Bagaimana perasaanmu?" tanya nenek tua itu.

Aneh. Freya merasakan sesuatu yang aneh dari dalam dirinya. Sensasi ini dia rasakan ketika pertama kali menggunakan sihirnya. Seperti ada lonjakan energi positif yang mengelilingi tubuhnya, dia tidak merasa lelah lagi, alih-alih lelah, dia merasa bersemangat.

"Aku merasa ... aneh," katanya.

Nenek Aisha tersenyum. "Baguslah. Sihirmu sudah mulai stabil." Freya memiringkan kepalanya, bingung.

"Aku memberitahu nenekku kau kesulitan dalam mengendalikan sihirmu, dia setuju untuk membantu," jelas Aisha, wanita itu menoleh ke neneknya. "Nenek, apakah kau tahu sesuatu tentang cara mematahkan kutukan Luke?"

Kamala mengangguk, membuka buku tebal itu lagi ke suatu halaman. Freya membaca halaman tersebut. Kutukan Gerhana Bulan. Dia pernah mendengar tentang kutukan itu, tapi dia tidak pernah percaya dan selalu menganggap hal tersebut sebagai karangan masyarakat saja.

"Pada hari Luke lahir, tepatnya pada titik balik musim dingin tujuh belas tahun yang lalu, gerhana yang tidak biasa terjadi. Pada tahun tersebut, musim dingin tidak datang seperti biasanya dan matahari tetap ditempat. Gerhana bulan terjadi pada saat pangeran itu lahir. Seperti leluhurnya, orang-orang sudah bisa menebak bahwa kelahiran sang pangeran pada saat gerhana berarti keturunan terkutuk lain telah lahir." Nenek Aisha menunjuk pada gambar bulan dan matahari yang membentuk gerhana.

"Orang-orang menyebut itu sebagai 'Kutukan Gerhana Bulan'. Namun, karena sudah lama kutukan itu menghilang, jadi banyak orang yang tidak percaya dan akhirnya, hanya masyarakat Rivalian yang percaya," kata Kamala lagi. "Itu pun karena mereka memiliki bukti nyata kutukan tersebut. Jika tidak, mereka pasti tidak akan percaya."

"Bagaimana cara mematahkan kutukan itu?" tanya Freya.

Kamala menggeleng. "Aku tidak tahu. Kau harus bertanya kepada raja Nicholas karena dialah yang pertama kali mematahkan kutukan ini sejak Silas De Leroy tiada."

Yang artinya dia harus kembali ke Rivalian. Kemungkinan terbesarnya adalah dia akan dieksekusi. Freya menghela napas, dia harus melakukan ini. Dia perlu membalas dendam dan membantu Luke.

"Oh, Freya, bulan purnama semakin dekat. Temanmu, Matthias, mulai merasakan transformasi manusia serigalanya. Dia juga demam, tapi Gwen merawatnya," tambah Kamala, "pergilah beristirahat, kau pasti lelah."

Jadi karena itu Matthias dan Gwen tidur bersama di sofa. Freya mengangguk kepada Kamala dan keluar dari kamar wanita tua itu. Dia pergi ke kamarnya, berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit. Dia perlu memberi tahu Gwen dan Matthias besok, dan mungkin mereka bisa mengejar transformasi Matthias.

Apakah perkataan Aisha benar? Sihirnya merasa nyaman di sekitar Luke? Mungkin memang begitu. Dia menyembuhkan sang pangeran dan sihirnya bekerja. Itu sangat jarang, setelah keluarganya meninggal, dia bahkan tidak bisa mengendalikan sihirnya. Sebenarnya, apa istimewanya bocah itu?

Kutukan Gerhana Bulan, dia tidak tahu Luke memiliki kutukan semacam itu. Kutukan itu sudah menjadi dongeng turun-temurun di keluarganya, orangtuanya memberitahunya bahwa itu hanya dongeng. Tidak nyata. Jadi dia mempercayai mereka sampai sekarang. Namun penjelasan Kamala membuatnya percaya. Bahwa kutukan itu nyata. Itu bukan hanya dongeng.

Mungkin dia harus menulis surat kepada Jack. Untuk menanyakan tentang Lukas. Dia akan melakukannya besok pagi, sekarang, dia perlu beristirahat.

...

Freya terbangun oleh ketukan di pintu kamarnya. Dia membuka matanya dan melihat Gwen yang masuk ke dalam.

"Freya. Lihat ini, surat dari Jack." Gadis itu menyerahkan surat tersebut kepada Freya. Ini memang suatu kebetulan, dia ingin menulis tetapi Jack sudah menulis surat lebih dulu padanya?

Dia membuka surat itu dan membacanya.

Freya, aku berharap surat ini bisa sampai padamu. Aku hanya ingin menyampaikan kondisi Luke. Setelah kami berhasil mencapai Rivalian, dia pingsan dan belum sadar sampai sekarang. Lucien berkata dia demam tinggi dan kutukan sudah mengisi sisi kiri tubuhnya. Dia jelas membutuhkan bantuanmu. Kami membutuhkan bantuanmu. Freya, aku tahu ini berbahaya, tapi tolong, kembalilah ke Rivalian.

Temanmu, Jack Rolland.

Luke sudah tidak sadarkan diri selama lima hari, jika begitu. Bagaimana dia bisa membantu Luke? Dia bahkan tidak tahu bagaimana cara mematahkan kutukan tersebut. Jika sampai dia kembali ke Rivalian, ada kemungkinan dia akan dihukum oleh para bangsawan di sana.

Kenapa dia begitu takut dihukum? Dia tahu konsekuensi dari ini. Dia tahu bahwa hari dia menerima tawaran Luke untuk membalas dendam. Dia seharusnya tidak begitu takut. Tidak, dia harus berani. Dan dia akan melakukannya. Dia akan kembali ke Rivalian dan membantu Luke. Bahkan jika hidupnya dipertaruhkan, dia tetap akan melakukannya. Tidak masalah, selama dia bisa membalaskan dendamnya. Dan langkah pertama adalah membantu Luke.

"Apakah Matias baik-baik saja? Apa dia bisa berjalan?" tanyanya pada Gwen yang masih berdiri di sebelahnya.

"Aku tidak tahu. Aku tidak berpikir dia bisa. Kenapa?"

"Aku berencana untuk kembali ke Rivalian hari ini. Jika dia tidak bisa, dia akan tinggal di sini." Freya melipat surat itu dan berdiri. Gwen memberinya tatapan aneh seolah-olah mempertanyakan apakah dia sudah gila. Mungkin dia memang sudah gila.

"Apakah kau kehilangan akalmu, Freya?" tanya gadis yang lebih muda, jelas kesal. "Kita telah melakukan segalanya untuk keluar dari Rivalian dan kau ingin kembali, mengapa?"

"Karena Luke." Freya menghela napas dan memberikan surat itu kepada Gwen. Gadis berambut hitam itu membacanya dan ketika dia sudah selesai, Freya berkata lagi, "Dia membutuhkan bantuan. Kutukan itu sudah menyebar."

"Tapi Freya, itu berbahaya."

"Aku tahu. Pergi ketempat ini juga berbahaya baginya."

"Ya, tapi dia melakukan itu agar kau bisa kabur dari Rivalian. Jika kau kembali maka semua usahanya akan sia-sia," geram Gwen.

"Dia akan mati, Gwen." Freya menghela napas frustasi. "Kau akan membiarkannya mati begitu saja?"

"Raja Nicholas pasti menemukan cara untuk membantu Luke," kata Gwen sambil memegang tangannya. "Aku mohon, jangan pergi. Aku tidak ingin kembali ke sana, Freya."

Dia menggenggam tangan Gwen. "Kau tidak harus ikut denganku. Kau bisa tinggal di sini dengan Matthias. Aku akan baik-baik saja sendirian."

Mata Gwen berkaca-kaca, gadis itu terlihat berkonflik dengan dirinya sendiri. Setelah beberapa saat, Gwen memeluk Freya. "Berhati-hatilah," katanya.

"Percayalah padaku." Freya tersenyum.

Gwen melepaskan pelukannya. "Bisakah kau memberikan selimut itu kepada Luke?" pintanya.

"Tentu saja."

"Aku akan membantumu bersiap, ayo." Gadis itu menariknya keluar dari kamar.

Setelah menyiapkan semua yang diperlukan, Freya siap untuk pergi. Dia sudah menceritakan rencananya kepada Matthias dan Aisha, beruntung baginya karena Aisha memutuskan untuk membantunya dengan sihir teleportasi jadi dia tidak harus menggunakan kapal.

Cukup sulit untuk mendapatkan izin Matthias, tapi pada akhirnya dia setuju dan membiarkan Freya pergi. Aisha menariknya ke sudut dan memeluknya.

"Hati-hati," kata wanita itu, "Aku akan mencoba mencari cara untuk mematahkan kutukan itu." Dia melepaskan pelukan itu dan memberikan sebuah kaca kepada Freya. "Ini agar kau bisa menghubungi kami."

"Terima kasih, Aisha, aku tidak akan melupakan ini."

Aisha tersenyum. "Sama-sama. Sampaikan salamku kepada pangeran itu, ya?"

Akhirnya, mereka memulai sihir teleportasi tersebut dengan bantuan nenek Aisha. Rasanya pusing, dunia seperti berputar-putar di sekitarmu. Freya ingin sekali muntah, perutnya seperti melilit. Freya menutup matanya dan tangannya menutupi mulutnya. Beberapa detik kemudian, dia membuka matanya dan dia sudah berada di depan gerbang Rivalian.

Dia melihat Jack yang sedang berjaga-jaga. Freya memakai tudungnya dan mendekati pria itu. "Jack," panggilnya. Pria itu menatapnya. "Ini aku Freya."

"Freya?" Mata pria itu melebar. "Apa yang kau lakukan di sini?"

"Aku harus menemui Yang Mulia Raja, bisakah kau mengantarkanku? Ini tentang Luke."

Jack menghela napas dan mengangguk. "Ikuti aku."

Begitu mereka tiba di ruang singgasana, Freya langsung merasakan aura yang berbeda dari ruangan itu. Terasa lebih gelap dan dingin, daripada sebelumnya yang hangat dan terang.

"Yang Mulia, Freya Morrigan ada di sini untuk menghadap," kata Jack. Nicholas yang duduk di singgasana mengangguk.

"Tinggalkan kami," perintahnya. Jack membungkuk dan pergi. "Freya Morrigan, bukankah putraku sudah membantumu pergi dari sini? Kenapa kau kembali?"

"Saya perlu melihat putra Anda, Yang Mulia." Kegugupan di dalam suaranya tidak dapat disembunyikan. "Saya ... saya mungkin bisa membantu untuk mematahkan kutukan itu."

"Apa yang kau tahu tentang kutukan itu?"

"Kutukan Gerhana Bulan. Luke memberitahu saya." Freya mengepalkan tangannya untuk menyembunyikan gemetar. "Saya ingin membantunya. Tolong izinkan saya bertemu dengannya."

"Berjanjilah kau tidak akan melakukan hal yang aneh kepada putraku?"

"Saya berjanji, Yang Mulia."

Nicholas turun dari singgasananya dan keluar dari ruang takhta, Freya mengikuti dari belakang. Dia ingat jalan menuju kamar Luke, tapi jelas ini bukan jalannya. Setelah beberapa menit berjalan, mereka sampai di sebuah istana. Lebih kecil dari istana Nicholas, tapi tetap saja megah.

"Ini adalah istana putra mahkota," kata Nicholas saat mereka memasuki istana itu. Di dalam lebih megah dan mewah lagi. Pelayan-pelayan melakukan pekerjaan mereka dan membungkuk ketika raja melewati lorong-lorong menuju kamar sang pangeran.

Akhirnya mereka sampai di kamar Luke. Nicholas membuka pintu kamar dan keduanya masuk ke dalam. Freya bisa melihat Luke yang terbaring tidak sadarkan diri di tempat tidur. Dia mendekati Luke dan berdiri di sisinya.

Dia meraih tangan Luke dan menggenggamnya. "Luke," gumamnya sambil mengaktifkan sihirnya sekali lagi. Dia menutup matanya, takut akan hasilnya. Tangan Luke dingin, tapi Jack bilang dia demam tinggi. Setelah beberapa saat, tidak ada yang terjadi. Dia terus mencoba dan mencoba.

Akhirnya suara itu terdengar lagi. Entah mengapa, membuat Freya lega.

"... Freya?"

Freya membuka matanya, menatap mata biru Luke. Sang pangeran tersenyum lemah kepadanya. "Kau datang," katanya.

"Kau memanggil," kata Freya dengan lembut. Luke membalas menggenggam tangannya dengan erat, meskipun tidak sekuat biasanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top