14 | The Witch's Shop

Gaetta benar-benar menyeramkan. Itulah yang pertama kali dipikirkan oleh Freya ketika mereka mencapai tempat itu. Karena hari sudah gelap, mereka memutuskan untuk bermalam di kapal daripada harus memesan penginapan. Lagi pula, mereka tidak punya uang.

Yang lain memutuskan untuk tidur, tapi dia hanya berbaring. Dia tidak bisa tidur, meskipun dia tahu bahwa dia harus beristirahat untuk mengumpulkan kembali sihirnya. Tapi tetap saja dia tidak bisa terlelap. Jadi dia memutuskan untuk berjalan-jalan di geladak kapal.

Dia menemukan Luke di luar ruang kabin. Lelaki itu menatap laut dari apa yang dia lihat, punggungnya begitu tegang untuk beberapa alasan. Mungkin ini ada hubungannya dengan apa yang dikatakan Gwen dan kemarahan Jack. Dia membuat beberapa langkah lebih dekat dengannya memastikan bahwa dia bisa mendengarnya.

“Malam yang indah, bukan?”

“Ya,” sahutnya. Dia berdiri di sebelah Luke, yang sekarang menatap bulan dan bintang. “Tidak seindah rumahmu, kurasa?”

Luke menggelengkan kepalanya. “Rivalian lebih hangat dari ini.” Dia berpaling padanya. “Kenapa kau tidak tidur?”

Dia terkekeh. “Lucu karena aku baru saja akan menanyakan pertanyaan yang sama kepadamu.”

Luke terdiam. Keduanya mengamati keindahan bintang-bintang, meski Gaetta adalah tempat yang menyeramkan, tapi bintang-bintang di sini sangat indah dan cerah. Itu sedikit mengingatkannya dengan Einheit.

“Terkadang aku bermimpi meninggalkan Rivalian,” kata Luke tiba-tiba.

“Bukankah kau selalu melakukan itu?”

Luke menggeleng. “Maksudku seperti selamanya. Kau tahu, hanya pergi dan tidak pernah kembali.”

Alis Freya mengerut. “Kenapa? Apakah kau tidak mencintai rumahmu? Ayahmu?”

“Tentu saja aku mencintai ayahku.” Dia menghela napas. “Tapi Rivalian—bukannya aku tidak menghargai kasih sayang rakyatnya, tapi ..., keadaan berbeda dulu.”

“Apa maksudmu? Mereka mencintaimu, kan?”

Luke terkekeh, tapi tidak ada humor seperti biasanya. “Mereka bahkan tidak mengenaliku pada awalnya. Mereka menilaiku untuk siapa—apa aku.”

Apa kau?”

Dia mengangguk. Keheningan jatuh di antara mereka berdua. Itu terasa sangat canggung bagi Freya dan tegang bagi Luke, Freya yakin, melihat bagaimana cara bahunya menegang dan kepalanya menunduk.

Sesuatu mungkin terjadi ketika dia masih kecil. Tapi apa?

“Ketika aku masih kecil, ibuku selalu menyanyikan lagu pengantar tidur untukku.” Dia melihat ke laut, di pantulan, dia bisa melihat dia menatapnya, sedikit. “Ibumu melakukan itu juga, kan? Sekarang, aku benar-benar ingin melupakannya.”

“Kenapa?”

Dia menutup matanya, menguatkan pegangannya pada sisi kapal. “Momen itu tragis sekarang. Itu membuatku sedih. Tapi aku juga tidak ingin melupakannya. Masa laluku.” Dia menoleh ke Luke, meraih tangannya. “Kamu masih punya ayahmu. Kau harus mencintainya, dia bekerja sangat keras untukmu.”

Luke menyipitkan matanya. “Aku tahu itu, aku tidak membencinya. Aku hanya berharap semuanya berbeda. Bagaimana jika dia bukan raja? Bagaimana jika ibuku tidak jatuh sakit dan meninggal? Bagaimana jika kami hanya keluarga biasa?”

Well, apakah itu akan membuatmu bahagia?”

Luke menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu. Tapi segalanya bisa sangat berbeda dari sekarang.”

“Kau tidak akan bertemu denganku, dan aku akan dipenjara sekarang. Segalanya benar-benar berbeda, Luke.”

Luke membuka mulutnya untuk membalas, tapi menutupnya lagi setelah beberapa detik. Dia meremas tangannya, membuat Luke menatapnya. Luke tersenyum, perlahan mencoba menarik tangannya, Freya melepaskannya.

“Pergilah tidur,” ujar Luke.

Lagi-lagi Freya menggelengkan kepalanya. “Ambil jubahmu, kita akan berkeliling saja.”

“Kita?”

“Ya. Aku perlu melihat daratan setelah apa yang terjadi hari ini.” Freya menatap Gaetta yang sunyi.

“Bukannya aku tidak mau, tapi mereka akan menyadari aku ini seorang Druid. Bukan sembarangan Druid juga.”

“Oh. Maaf, aku tidak tahu.”

Luke menyeringai. “Jika kau mau, tidak apa-apa.” Pria itu berjalan pergi dan kembali dengan dua jubah, abu-abu dan hitam di tangannya, dia menyerahkan satu kepada Freya dan memakai yang satunya lagi.

“Kau yakin? Ini berbahaya.” Jujur saja, Freya menyesal telah berpikir untuk mengajak Luke keluar. Jika sesuatu terjadi, Jack akan marah besar lagi. Tapi Luke menggelengkan kepalanya dan melompat keluar dari kapal. Kayu yang berderit memberitahu Freya bahwa jembatan itu akan segera rusak.

Luke mengulurkan tangannya kepada Freya, yang menggunakan jubah abu-abu itu dan meraih tangan Luke. Luke berjalan lebih dulu, bahunya terlihat lebih santai. Udara di Gaetta sangat dingin, mungkin karena musim dingin. Ketika mereka masuk, tidak ada penjaga yang menjaga seperti seharusnya. Jadi mereka masuk begitu saja, meskipun Freya agak curiga kenapa tidak ada penjaga.

Kota itu sunyi dengan hanya lentera untuk menerangi jalan-jalan. Pastinya itu sunyi, ini tengah malam. Siapa yang ingin keluar di malam hari? Dia melirik Luke yang tiba-tiba berhenti. Dia bisa mendengar perut lelaki itu keroncongan dan pipi Luke memerah seketika.

“Maaf soal itu,” katanya tanpa menoleh ke Freya.

Freya terkekeh kecil, yakin bahkan Luke tidak akan mendengar itu. “Kau tidak makan hari ini?”

“Uh, ya. Aku membagi rotiku dengan Matthias karena dia lapar dan aku tidak, jadi aku memberikannya begitu saja dan hanya makan sedikit.” Dia mengatakan itu sambil berjalan lebih cepat.

“Kau baik sekali. Kenapa tidak meminta Gwen membuatkan yang lain?” Dia berlari di depannya.

Luke mengangkat bahu dan berhenti. “Aku tidak ingin merepotkan Gwen, dan aku merasa tidak lapar saat itu.”

“Aku penasaran dengan jadwal makanmu di istana,” candanya.

“Kau sudah tinggal di sana selama dua minggu.” Dia memiringkan kepalanya. “Aku hanya mengambil sedikit dari porsi biasanya. Aku tidak tahu apa yang salah, tapi jadwal makanku sangat berantakan.”

Dia mengangkat alisnya, Luke mendesah sebelum melanjutkan. “Bagaimana ya? Terkadang aku merasa sangat kenyang dan tidak suka makan. Beberapa saat kemudian aku akan merasa sangat lapar sehingga menyesali keputusanku. Ayahku tahu, dia bilang itu bawaan dari ibuku, tapi kurasa tidak. Jadi aku biasanya akan menyelinap ke dapur dan mengambil makanan ringan yang memang sudah disiapkan untukku.”

“Terkadang aku bahkan memuntahkan makananku.” Luke mengangkat bahunya lagi.

“Kau yakin baik-baik saja dengan itu? Pola makan yang berubah-ubah tidak baik untuk kesehatanmu.” Pasti ada sesuatu yang mempengaruhi kebiasaan seperti itu.

“Para tabib kerajaan dan bahkan ayahku sendiri bilang tidak ada yang salah. Hanya pola makanku aneh. Aku pernah memaksa diriku makan sebanyak porsi milik Lucien, aku berhasil menghabiskannya, tapi memuntahkannya sesaat kemudian. Hampir membuat ayahku panik.”

Freya bisa membayangkan betapa paniknya Nicholas pada saat itu. Luke berjalan lagi, lebih pelan kali ini. Kemudian Freya melihat satu tempat yang masih menyala. Luke tampaknya juga menyadari itu dan berjalan menuju toko tersebut. THE WITCH'S SHOP begitulah nama tempat itu.

Witch's shop?” gumam Freya dengan bingung ketika dia membaca nama tempat itu. Dengan ragu-ragu, mereka memasuki tempat itu. Dia melihat Luke yang tampaknya menjadi waspada. Mereka memang harus waspada sekarang. Bisa saja ini jebakan.

Begitu mereka masuk, ada seorang wanita dibalik meja kayu yang tersenyum pada mereka. Wanita itu memiliki rambut hitam panjang sepinggang yang digerai, mata berwarna hitam, terlihat seperti orang dari negara bagian Timur. Barang-barang yang dijual di toko itu juga aneh-aneh. Tengkorak bagian kepala, kodok di dalam toples kaca, kuali berisi ramuan berwarna hijau, dan ada Phoenix di dalam sangkar emas.

“Apa yang kalian cari, anak-anak manis?” tanya wanita itu.

Itu membuat mereka berdua menatap satu sama lain. Apa-apaan ini? Jelas-jelas mereka berdua bukan anak kecil. Tapi penyihir itu berkata seolah-olah mereka hanyalah dua anak kecil yang ingin membeli permen.

“Tidak. Ah, sebenarnya kami hanya ingin lihat-lihat saja,” jawab Freya, mengingat kondisi mereka yang tidak memiliki uang.

“Jangan khawatir, semua yang ada di sini gratis.” Penyihir itu terkekeh seolah-olah bisa membaca pikiran Freya, yang membuat gadis itu merinding. Dia menoleh ke Luke yang menatap Phoenix. Apakah Luke menginginkan hewan itu?

“Sebenarnya, aku ingin menanyakan sesuatu,” kata Luke, melangkah ke penyihir itu. Dia mungkin bertanya tentang Phoenix tersebut. “Dari nama tempat ini, kau pasti penyihir nya, kan? Bisakah kau menafsirkan sebuah mimpi?”

“Aku ini penyihir, bukan penafsir mimpi.” Penyihir itu menghela napas. “Bagaimana denganmu, gadis muda?”

“Tidak, sudah kubilang aku ingin lihat-lihat saja.” Dia mendekat ke samping Luke. “Tapi, aku akan senang jika kau bisa mengabulkan permintaan temanku ini.”

Penyihir itu tampak mempertimbangkan, sesekali menatap Luke dengan curiga. Setelah beberapa saat, penyihir itu mengangguk.  “Baiklah, untuk sesama witch, aku tidak akan keberatan mengabulkan permintaan Pangeran.”

“Hah?” Freya kaget. Luke menegakkan bahunya.

“Bagaimana kau bisa tahu?” tanya Luke.

“Aku tahu sejak kalian melangkah ke dalam toko ini. Makanya, kubilang semua yang ada di sini gratis, untuk kalian. Tidak biasanya seorang pangeran datang, tapi aku tidak menyangka kau tidak membawa sepeserpun.”

“Apa kau bisa membaca pikiran?” tanya Freya.

Penyihir itu menangguk. “Sekarang, deskripsikan mimpimu, Pangeran.”

Itu membuat Freya penasaran. Mimpi apa yang dialami Luke?

“Pertama, aku berdiri di depan sosok yang sudah mati, dengan remaja berambut cokelat dengan mata kosong yang berdiri di sisi lain, berduka. Kemudian, mimpi itu berubah. Seorang pria dengan rambut hitam menangisi tubuh tak bernyawa seorang gadis yang wafat di tempat tidur, dengan tanda hitam rumit di sekujur tubuhnya. Lalu, selalu ada seekor gagak yang tampaknya mengawasi gerak-gerikku dalam mimpi itu, seolah-olah bisa melihatku.”

Luke berhenti, tampak ragu untuk melanjutkan. “Yang terakhir, adalah saat aku sendiri yang terbaring di tempat tidurku, tanda hitam rumit itu berada pada kulitku. Menutupi sisi kiri tubuhku, dari kaki hingga wajah.”

“Bisakah kau mengartikan itu?”

“Ini bisa saja ingatan masa lalu atau mungkin prediksi masa depan, karena kau melihat dirimu sendiri,” kata sang penyihir. “Soal gagak, apa kau yakin itu hanya ada di mimpimu saja?”

“Maksudmu ..., gagak itu mengikuti Pangeran bahkan di dunia nyata?” tanya Freya.

“Dulunya, mungkin. Karena tidak mungkin itu hanya gagak acak, pasti ada kaitannya denganmu.”

“Apakah maksudmu aku memiliki kehidupan masa lalu? Seperti reinkarnasi?” simpul Luke. Reinkarnasi itu sebenarnya mungkin, ayahnya pernah memberitahu Freya tentang itu. Hanya saja itu jarang terjadi.

“Bisa jadi. Aku tidak bisa mengkonfirmasi hal itu adalah benar, sebaiknya kau cari tahu sendiri.” Penyihir itu menyipitkan matanya dan mengamati mereka berdua dengan teliti. “Toko ini akan segera tutup, sebagai hadiah kunjungan ini — kudengar tidak sopan tidak memberikan hadiah jika seorang bangsawan berkunjung, jadi kalian boleh memilih apa saja dari toko ku ini.”

“Apakah kau memiliki pedang?” tanya Luke. “Pedangku hilang, dan aku akan senang jika bisa menemukan penggantinya di sini. Meskipun aku tidak tega, karena pedang itu cukup berarti untukku. Tapi, itu sudah hilang.”

“Aku mengerti. Apa kau ingin aku membuatkan pedang yang sama persis?” tanya penyihir, yang di balas dengan anggukan oleh Luke. Penyihir itu menyentuh dahi Luke, memejamkan mata dan sesat kemudian, cahaya hijau menyebar di seluruh ruangan. Itu menghilang setelah beberapa saat, kemudian sebuah pedang ada di tangan Luke. Pedangnya. “Pedangmu bukan sembarang pedang, jadi aku memilih untuk mengambil langsung dari ingatanmu dan membawanya ke sini.”

Pasti itu adalah mantra yang tidak pernah dipelajari Freya.

“Terima kasih.” Luke tersenyum dan menundukkan kepalanya kepada sang penyihir.

“Bagaimana denganmu?” tanya penyihir itu pada Freya.

“Apakah kau memiliki buku tentang mantra-mantra? Aku ingin mempelajarinya.” Penyihir itu mencari-cari di rak buku miliknya, mengeluarkan satu buku yang terlihat tua dan usang kepada Freya. “Terima kasih banyak, ini sangat berarti untukku,” ujar Freya sambil membuka dan membaca halaman pertama, sebelum menutup buku itu lagi.

Setelah itu, dia dan Luke keluar dari toko, ketika mereka berjalan menjauh dari toko, toko itu tutup. Luke berhenti, membuat Freya juga berhenti.

“Ada apa?” tanya gadis itu.

“Kau bilang aku adalah temanmu?” Luke itu menatapnya sambil memiringkan kepalanya.

“Ya, kenapa? Kau tidak menyukainya? Atau karena kita belum berteman?”

Luke berkedip. “Bukan, bukan begitu. Tapi ..., lupakan. Ayo kembali dan beristirahat saja.” Dia berjalan kembali, dan Freya mengikutinya. Ketika mereka sampai di pelabuhan lagi dan memasuki kapal mereka, Luke berbalik dan menatapnya, tersenyum.

“Terima kasih untuk hari ini, Freya.” Ada sedikit rona merah di pipi lelaki itu. “Dan karena kau ingin berteman denganku.”

Freya balas tersenyum. Kenapa dia terlihat begitu senang? Itu kan hanya hal kecil saja. Tapi, dia tidak pernah melihat Luke tersenyum seperti itu. Begitu tulus dan bebas.

“Sama-sama, Luke.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top