1 | Catching A Killer

Dewi Cahaya adalah pencipta mereka. Yang dicintai dan diagung-agungkan, tetapi sang Dewi tidak pernah sombong dan sangat rendah hati. Dia hidup di antara ciptaannya, itu adalah masa di mana alam semesta sangat makmur. Rumor mengatakan bahwa kapan atau di mana pun kau berdoa kepada Dewi, dia akan datang.

Bahkan iblis-iblis pun berdoa padanya. Semua makhluk melakukan itu, sampai pada suatu hari, Dewi Cahaya tidak muncul lagi.

Sudah sangat lama, banyak yang berdoa, tetapi dia tidak pernah datang. Kehancuran mulai muncul di segala penjuru daerah. Bukan hanya disebabkan oleh para iblis, tetapi juga ras lain yang memperebutkan wilayah-wilayah. Akibatnya, banyak ras lemah yang binasa atau punah. Contohnya adalah manusia. Manusia adalah makhluk yang rapuh dan lemah, sangat mudah untuk dibunuh.

Tapi itu adalah hal yang baik. Bumi tidak seperti dulu lagi. Tidak akan cocok untuk manusia-manusia, lebih baik mereka binasa daripada hidup dalam penderitaan.

Perebutan kekuasaan dilakukan dan banyak daerah yang terpecah belah. Ada beberapa ras yang memutuskan untuk bekerja sama. Yaitu ras Druid, yang berkuasa di Rivalian. Ras Elf, yang berkuasa di Nisse. Ras Dwarf, yang berkuasa di Troich. Ada juga ras yang memilih untuk netral, yaitu ras mermaid, witch, werewolf dan beberapa ras lainnya. Mereka berkumpul di suatu wilayah yang luas, yang disebut sebagai Einheit. Sementara iblis dan vampir berbagi wilayah kekuasaan yang disebut Demonio. Semua ras memiliki peraturan masing-masing yang tidak boleh dilanggar oleh ras-ras lain. Jika ada yang melanggar akan diberikan hukuman yang ditentukan langsung oleh semua pemimpin ras.

Para malaikat menyendiri dan menjauhkan diri mereka ke surga sejak manusia-manusia punah. Tetapi beberapa dari mereka terkadang akan menyelinap hanya untuk mencari kesenangan. Tetapi sangat jarang untuk menemukan seorang malaikat lagi. Rumor mengatakan mereka sudah bosan mencampuri urusan makhluk-makhluk supernatural lainnya. Walaupun sebagian ras beranggapan bahwa para malaikat sudah menyerah sejak Dewi Cahaya mereka menghilang.

Sudah lama perang berkecamuk di antara ras-ras itu, yang dimulai oleh para leluhur masing-masing. Karena bosan dan lelah dengan perang, Nicholas of Rivalian, pemimpin ras Druid saat ini, mengajukan perdamaian yang disetujui. Isi dari kesepakatan itu adalah bahwa semua ras harus menghentikan peperangan yang terjadi. Tidak boleh ada darah yang tumpah lagi. Tapi namanya juga musuh, ada saja ras-ras yang masih haus darah dan tetap berperang.

...

Rambut peraknya basah karena air danau dingin. Tidak, dia tidak mandi. Atau mungkin itu bisa di sebut sebagai mandi dadakan karena dia tidak akan pernah mengira untuk bertemu dengan seekor monster air. Itu adalah anak-anak Kraken, sang monster laut, yang sudah mengotori rawa-rawa dengan anak-anak monsternya. Cuaca yang dingin membuatnya merasa seperti kulitnya membeku di setiap sapuan angin.

Dia seharusnya mengambil jalan utama saja, jika dia tahu rawa-rawa berisikan monster menjijikkan seperti itu. Dia sedang dalam perjalanan ke Rivalian, dari Troich. Ini adalah akhir tahun yang sangat menyebalkan. Para bangsawan akan melakukan pertemuan dan dia diminta untuk hadir. Dia menyimpan pedang di punggungnya dan berjalan ke sebuah bar di pinggiran kota tersebut.

Tapi hei, malam ini di saat semua orang tidur, dia malah melawan monster. Tidak adil. Jadi dia harus bisa membuat dirinya mendapatkan istirahat yang layak. Mendorong pintu, dia masuk ke dalam sebuah bar. Ini masih Troich, mungkin dia akan mencapai Rivalian besok pagi. Mendesah lelah, dia mendekati bartender dan memesan.

“Satu bir, tolong,” pintanya sambil duduk. Jubahnya terasa lembab sekarang. Tudungnya menutupi kepalanya, tidak ingin orang-orang melihat rambut peraknya yang megah dan basah. Bartender itu menuangkan bir pada gelasnya dan menyodorkan itu.

“Dalam perjalanan, kurasa?” tanya bartender itu. Dia mengambil gelas dan menyesapnya dengan rakus. Sebelum mengangguk pada bartender tersebut.

“Ke Rivalian.” Dia meletakkan gelas itu di meja.

“Kau datang dari jauh rupanya,” ujar sang bartender. “Untuk apa datang ke Troich?” Sebenarnya Troich adalah pilihan terakhirnya untuk dikunjungi. Tetapi karena jarak antara Rivalian dan wilayah para Dwarf tidak sejauh itu, dia memutuskan untuk melewati Troich daripada harus melintasi Nisse.

“Aku seorang pengelana,” katanya, alih-alih menjawab tidak tahu. “Aku mencari tujuan hidupku, sulit untuk ditemukan.” Dia menyesap minumannya lagi. “Sepi pelanggan?”

“Kau datang di hari yang salah,” desah si bartender. “Ini malam Senin, semuanya sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Siapa namamu, Nak?”

“Luke,” jawabnya.

“Sebaiknya kau mencari penginapan malam ini, Luke,” kata bartender itu tiba-tiba. Luke mengerutkan dahinya, dan pria tua itu melanjutkan, “ada teror pembunuhan. Banyak Dwarf dan ras lain di Troich ini yang sudah terbunuh.”

“Apakah kau tahu ciri-ciri pembunuh itu?” Si bartender terdiam, mungkin mencoba mengingat-ingat gosip apapun yang dia dengar. “Kabar ini sudah di dengar oleh Raja di sini, ‘kan?”

“Tentu saja sudah, banyak warga yang mengeluh, bahkan sang Raja sudah mengerahkan pasukan terbaiknya. Soal ciri-ciri, Menurut saksi yang berhasil selamat, pembunuh itu menggunakan tudung dan jubah hitam kusut, dia menyerang menggunakan panah,” jawab si bartender. “Karena sudah malam, tidak ada yang melihat wajahnya dengan jelas.”

“Apa saja yang dilakukannya selain membunuh? Apakah dia mencuri?”

Bartender itu mengangkat bahunya. “Tidak tahu, belum ada rumor soal pencurian.” Luke mengangguk-anggukkan kepalanya. Entah kenapa pembunuh ini sangat menarik perhatiannya. “Yang satu ini sangat cerdik, sampai-sampai para prajurit gagal menangkapnya.”

“Pembunuh itu seorang Dwarf atau dari ras lain?” tanya Luke. Jika itu seorang Dwarf, pasti akan mudah bagi sesama mereka untuk menangkap satu sama lain. Tapi jika itu dari ras lain, misalnya vampire yang memiliki postur tubuh berbeda dari para Dwarf, maka adalah hal yang wajar jika mereka sangat kesulitan.

Lagi-lagi bartender itu mengangkat bahu. “Dia jelas bukan seorang Dwarf, tapi aku tidak tahu dari ras mana dia berasal.”

Luke meminum minumannya sampai habis. Dia ingin mencari tahu lebih dalam tentang pembunuh itu, lagipula perjalanan ke Rivalian tidak terlalu jauh karena dia mengetahui jalan pintas, mungkin hanya satu atau tiga jam jauhnya. Dia mengeluarkan tiga keping koin emas Rivalian yang bernama d’or dan memberikannya kepada bartender itu.

“Jika kau menukarkan koin ini dengan mata uang Troich, maka itu akan menjadi tiga kali lipat lebih banyak,” katanya sebelum bangkit berdiri.

“Ini terlalu banyak, bir hanya berharga satu òir — koin emas Troich,” ujar sang bartender. Luke tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

“Anggap saja sebagai rasa terima kasih ku untuk informasi yang sangat berguna ini.” Dia berbalik untuk keluar dari bar. Dia mendengar pria itu mengucapkan terima kasih sebelum dia benar-benar meninggalkan tempat itu.

Sekarang, dia hanya harus mencari — oh astaga, dia lupa menanyakan di mana tempat insiden pembunuhan itu sering terjadi. Tapi tidak masalah, tidak perlu merepotkan orang tua itu lagi. Pembunuh itu tidak mungkin membunuh langsung di pusat kota. Jadi mungkin ada di pinggiran Troich.

Tapi dia mendengar bahwa akan ada festival khas Troich yang diadakan sebagai ucapan terima kasih kepada Dewi Cahaya untuk hasil panen yang berlimpah. Karena itu, pusat kota akan menjadi kemungkinan besar terjadinya insiden pembunuhan lagi. Orang-orang akan sibuk dengan festival sehingga tidak ada yang akan menyadari pembunuhan terjadi.

Sisi positifnya, Luke juga bisa menikmati hiburan yang ditawarkan oleh Troich.

...

Pusat kota sangat ramai. Banyak pedagang-pedagang yang berjualan dan anak-anak yang bermain. Luke bisa mencium aroma daging yang dipanggang, membuatnya merasa lapar. Dia pun berjalan ke sebuah kios yang menjual daging, walaupun di sana banyak sekali orang, mungkin daging di sana enak. Dia mendengkus kesal saat seorang wanita muda tidak sengaja menyenggolnya.

Keramaian itu jelas bukan apa-apa bagi seorang Druid sepertinya. Tubuhnya lebih tinggi daripada para Dwarf yang berada di sana, mudah baginya untuk menyerobot kerumunan itu.

Luke akhirnya mendapatkan daging panggang itu, meskipun butuh sedikit usaha. Banyak ibu-ibu yang tidak ingin di dahului, jadi dia dengan sabar menunggu. Padahal rencananya untuk menyerobot kerumunan itu sudah bagus. Tapi tidak masalah, selagi dia mendapatkan apa yang diinginkannya. Dia memakan itu dengan lahap, faktanya, dia sudah sangat kelaparan, minum bir itu bukanlah keputusan yang baik, karena pengaruh alkohol di sini tidak sehebat di Rivalian.

Tiba-tiba ada salah satu Dwarf yang berteriak, terdengar sangat panik. Luke melirik ke arah keributan itu dengan penuh minat, itu dia yang ditunggu-tunggu olehnya. Di atas atap salah satu rumah warga, berdiri seseorang yang menggunakan jubah dan tudung hitam kusut, dengan penutup wajah. Senjata busur dan panahnya sudah diarahkan ke Dwarf yang berteriak tadi. Luke tersenyum senang, melompat ke atap untuk mengejar.

Si pembunuh mendengarnya, langsung berlari ke arah yang berlawanan, melupakan targetnya. Luke terkekeh dan mulai berlari juga. Inilah hiburan yang dia cari. Atap-atap rumah tidak lagi menjadi pelarian yang bagus bagi sang pembunuh karena penjaga mulai menembakinya dengan anak panah, salah satu anak panah, sialnya, mengenai bahu Luke, membuatnya mengerang kesakitan. Si pembunuh balas menembaki para penjaga dengan panahnya.

Pembunuh itu melompat ke tanah ketika para penjaga sudah tertinggal di belakang. Luke melakukan hal yang sama. Setelah dipikir-pikir, keputusan yang buruk untuk mengejar langsung penjahat ini. Seharusnya dia menunggu para penjaga, maka dia tidak akan mendapatkan luka di bahunya ini. Tapi siapa yang peduli? Di sini dia berlari mengejar seorang pembunuh, benar-benar mengabaikan cederanya.

Rawa-rawa, dia harus menggiring pembunuh ini ke rawa-rawa sehingga dia bisa menginterogasinya di sana. Ada pasir hisap di sana, saat perjalanan Luke hampir terjebak jika dia tidak teliti. Si pembunuh mungkin sudah tahu, tapi apa salahnya mencoba. Dia mengeluarkan pedangnya dan berlari lebih cepat. Pembunuh ini tidak begitu berani seperti yang dia bayangkan.

Pembunuh itu kemungkinan bukan berlari karena ketakutan, jika dia memang berani. Dia ingin berlari sampai Luke lelah dan pada akhirnya menyerah. Strategi paling dasar, Luke menyadari. Karena dia sendiri pernah menggunakan strategi serupa untuk menghindari dari Nicholas saat dia masih kecil. Mengajak Druid itu untuk berlari mengitari kastel hingga kelelahan menguasai diri mereka. Tapi Nicholas selalu memiliki cara, yaitu dengan meminta bantuan peri pohon yang ada.

Hutan Troich tidak hanya dipenuhi oleh monster tetapi juga peri, jadi, Luke bisa meminta bantuan mereka. Dia bersiul untuk memanggil para peri pohon. Mereka mulai bermunculan, mengenali panggilan itu. Itu adalah sesuatu yang sangat bermanfaat yang pernah diajarkan Nicholas padanya. Luke mengangkatnya pedangnya tinggi-tinggi, membiarkan cahaya bulan menyinari pedangnya sehingga para peri pohon bisa melihat lambang kerajaan druid di sana.

Begitu peri-peri pohon melihat lambang kerajaan tersebut, mereka mencoba menghalangi pembunuh itu. “Giring dia ke pasir hisap di tengah hutan,” bisik Luke ke salah satu peri pohon yang paling dekat dengannya. Para peri menurut dan menggiring penjahat itu ke pasir hisap.

Luke melambat, bahkan berhenti. Biarkan pembunuh kecil itu merasa bahwa rencananya sudah berhasil, maka dia akan terus berlari dan akhirnya akan jatuh ke pasir hisap. Dia berjalan perlahan ke pasir hisap yang tidak jauh dari tempat di mana dia berhenti, melihat bahwa sang pembunuh sudah jatuh ke dalam perangkap alami itu.

Dia menyimpan pedangnya dan melipat kedua tangannya di dada, menyeringai kepada pembunuh yang sekarang terjebak.

“Yah, tidak terlalu pintar, kan,” kata Luke kepada penjahat itu sambil mendesah lega. “Jujur saja, berlari sejauh itu melelahkan. Kau sangat merepotkan.” Dia berbisik kepada salah satu peri pohon untuk melepaskan kain yang menutupi wajah si pembunuh.

Mata abu-abu menatapnya dengan tajam, dan begitu kain tersebut di buka, dia bisa melihat dengan jelas wajah orang itu. Rahangnya bagaikan kayu yang dipahat dengan sempurna. Hidungnya mancung, bibirnya merah muda, tapi cemberut dan kekesalan terlukis dengan jelas di wajah itu.

Luke berkedip, mencoba menyingkirkan pikiran itu dari kepalanya. Dia bisa bercinta dengan banyak orang, tapi ini pembunuh. Jadi, dia memarahi dirinya sendiri secara mental karena berpikir bahwa penjahat ini sempurna.

“Jadi kenapa kau membuat keributan?” tanya Luke.

“Apa pedulimu?” suaranya seperti seorang perempuan — astaga, dia tidak mengamati tubuhnya dengan benar. “Keluarkan aku dari sini!” bentak gadis itu.

Well, beri aku satu alasan tentang mengapa aku harus?”

“Aku akan memberikanmu dua keping koin emas òir ku. Itu akan cukup untuk membeli pakaian baru untukmu!” sahut gadis itu dengan kesal.

“Hanya itu? Maaf saja, aku tidak tertarik.” Luke tertawa. “Lagi pula, kenapa aku harus menolong seorang pembunuh? Aku bisa membiarkanmu di sini sampai para penjaga menemukanmu.” Luke berbalik, siap untuk pergi.

“Tunggu! Aku bukan pembunuh!”

-
Merry Christmas!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top