00

"Kamu yakin, Nak?"

Kyla agaknya sedikit bergetar, tetapi ia berusaha tenang memantapkan diri. Sudah lama sejak ia bertekad untuk menemui kepala sekolahnya, menegosiasikan nasib hidupnya di sekolah.

"Saya enggak pernah seyakin ini Pak. Lagi pula, saya udah mikirin ini dari jauh-jauh hari, dan ya, ini keputusan final saya."

"Tapi kamu tahu 'kan kalau sekolah kita punya aturan? Jelas-jelas keinginan kamu ini melanggar aturan."

"Maaf Pak, tapi aturan yang mana, ya?"

"Pindah peminatan diperbolehkan selambat-lambatnya sebelum penilaian akhir semester pertama. Dan sekarang kamu baru mengajukannya setelah penilaian akhir semester dua," jelasnya.

"Bapak punya wewenang, dan saya rasa sekolah ini enggak seketat itu—" ucapan pelan Kyla terpotong.

Masih dengan senyum di wajahnya, kepala sekolah mengangguk. "Ini bukan soal itu. Yang jadi permasalahannya di sini adalah kamu. Kamu ini salah satu murid berprestasi, memangnya kamu enggak sayang dengan pencapaianmu?"

"Pencapaian saya enggak buat hidup saya damai. Lagi pula Pak, saya merasa enggak cocok di peminatan IPA. Kalau Bapak teliti lagi, nilai saya hanya bagus di kelompok mapel wajib. Di kelompok B dan C enggak begitu bagus, apalagi kelompok peminatan." Kyla kembali menyodorkan buku hasil pencapaian belajarnya kepada sang kepala sekolah.

Setelah ditelisiki kembali, kepala sekolah menemukan sebuah angka tujuh di antara banyaknya angka sembilan dan delapan di dalam raport Kyla. "Tapi kamu pintar, saya yakin kamu pasti bisa bertahan. Kamu hanya perlu belajar lebih rajin."

"Itu dia masalahnya, Pak," cicitnya, nyali Kyla hilang lagi. "Saya enggak bisa dipaksa belajar."

"Kamu sudah konsultasikan ke guru BP?"

"Dua kali, Pak. Awal semester dua ini, dan kemarin sebelum penilaian akhir semester. Ada jeda panjang untuk saya berpikir matang-matang. Ibu Dian juga menyarankan saya untuk bertemu Bapak."

Kepala sekolah masih terdiam mempertimbangkan keinginan Kyla. "Kamu yakin? Kamu harus menyusul materi dari semester satu dan mengikuti banyak penilaian tambahan. Saya bahkan tidak yakin nilai susulanmu akan lebih tinggi dibanding nilai peminatanmu sekarang."

Kyla mengangguk mantap. "Iya, Pak."

"Orang tuamu bagaimana? Kamu tidak bisa pindah tanpa persetujuan orang tuamu."

Kyla mengumpat dalam hati. Sedari tadi, kepala sekolah terus saja meragukan keputusannya. Beliau benar-benar sedang mengulur waktu.

"Mereka setuju, Pak," jawabnya tidak sabar. Ia menyodorkan kertas permohonan yang ia buat atas bimbingan Bu Diah—guru BPnya. Di sana tertulis berbagai alasan mengapa Kyla mengajukan permohonannya, lengkap dengan tanda tangan kedua orang tua di akhir suratnya.

Pintu ruangan diketuk, Bu Dian masuk bersama ibu Kyla di belakangnya. "Maaf mengganggu Pak, ini ibu Kyla."

"Oh, silakan duduk, Bu." Kepala sekolah berujar dengan ramah.

Kyla yang duduk di hadapan ibunya memberikan isyarat ibu-ngapain-di-sini dengan tatapan. Tanpa menghiraukan Kyla, beliau tersenyum ramah kepada kepala sekolah.

"Maaf, Pak. Belakangan ini Kyla terus saja mengeluhkan masalah sekolah. Dari cara hingga lingkungan belajarnya. Ia terus saja mengkhawatirkan nilai sekolahnya."

"Maksud Ibu?"

"Saya memasukkannya ke sekolah ini dengan niatan agar ia mendapatkan ilmu yang berguna dan tahu potensi diri, bukan semata mengejar nilai. Saya prihatin melihat dia harus begadang semalaman untuk belajar, padahal dia sendiri tidak tahu apa gunanya." Kyla terkejut karena kalimat-kalimat ini ibunyalah yang mengatakan. "Beberapa kali saya melihatnya dia kesulitan mengerjakan tugas, bahkan sampai melewatkan jam makannya. Kalau bukan lingkungannya yang memaksa, siapa lagi?"

"Maksud Ibu, Kyla terlalu memaksakan diri dalam belajar karena dia masuk ke dalam IPA 1 yang mana semua anaknya dipersiapkan secara maksimal untuk mendapatkan nilai tinggi?" Kepala sekolah beralih kepada Kyla. "Kamu merasa lingkungan ambisius tidak cocok denganmu? Bagaimana kalau kamu saya pindahkan ke kelas IPA yang lain?"

"Dari awal saya enggak punya minat di jurusan IPA, Pak."

Kepala sekolah menghela napas panjang. Sementara Bu Dian tidak banyak berbicara karena sudah mendengar semuanya dari Kyla, dan sedikit dari ibunya. Beliau rasa, pindah jurusan bukan merupakan langkah yang salah.

"IPS 6, bagaimana?"

Kyla terkejut. Alhasil setelah sekian lama, kepala sekolah menyetujuinya juga. Namun hal tersebut tidak bertahan lama tatkala ia mengingat kelas IPS 6.

Kelas IPS 6 bagai neraka bagi Kyla. Kelas buangan dari segala buangan. Dari desas-desus yang ia dengar, dalam satu tahun ini sekolah telah mengeluarkan lima siswa dari delapan belas jumlah awalnya. Dari sanalah kebanyakan penghuni ruang BP berasal, dari yang suka ribut dengan siswa kelas lain, guru-guru, bahkan sekolah lain.

"Boleh, Pak."

"Kamu yakin?" Akhirnya Bu Dian angkat bicara. "Kamu tahu kan, bagaimana kelakuan anak IPS 6 itu? Bagaimana kalau kamu tambah tidak betah?"

"Iya, Bu. Saya akan bertahan, Bu."

"Baiklah kalau begitu, permohonan kamu akan secepatnya kami urus. Kami usahakan libur sekolah ini kamu sudah bisa mengejar materi sebelumnya."

Selepas mengucapkan terima kasih banyak, Kyla dan ibunya keluar dari ruangan. Dalam hati, ia bersyukur karena mengajukan permohonan tepat saat pembagian raport, karena dengan begitu, ia bisa mendapat dukungan dari ibunya yang memang berada di sekolah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top