Chapter 9

Kelopak mataku mengerjab, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya di sekitar. Untuk sesaat, aku masih terdiam, menyatukan kembali kesadaranku.  Ekor mataku mengedar ke sekeliling. Seketika itu juga, aku menyadari sedang berada di tempat asing. Di mana aku sekarang? Dewi batinku bertanya - tanya, merasa kebingungan.

Kilasan mengerikan itu tiba-tiba muncul memenuhi isi kepalaku, layaknya roll film yang baru saja di putar ulang. Sontak tubuhku bergetar hebat. Jantungku terasa berat memompa darah keseluruh tubuh, hingga membuat  wajahku memucat karenanya.  Air mata itu meluruh tanpa permisi, menganak sungai di kedua pipiku. Aku terisak hebat, kedua tanganku beringsut memeluk tubuhku sendiri. Ingatan tentang kejadian menjijikkan itu, sekarang kuyakini bukan hanya sebagai mimpi buruk. Tapi  memang benar-benar terjadi. Ya Tuhan. Kenapa bisa seperti ini?

Punggung tanganku bergerak  cepat menyeka air mataku. Tidak ada gunanya menangis meratapi nasib sial yang sedang kualami. Berusaha mengontrol emosiku. Aku memutuskan turun dari tempat tidur, lalu mengamati  diriku dalam cermin.

Tidak ada lagi penutup mata, serta  tangan yang terikat. Tubuhku sendiri telah terbalut piyama tidur yang sering kugunakan. Secara teknis, tidak ada satupun yang terasa berbeda dari diriku. Keningku mengernyit bingung. Lalu melempar pandangan mataku ke segala arah. Tidak! Ini memang tempat asing. Tapi bagaimana mungkin aku memakai piyamaku sendiri. Sial! Ini benar-benar membingungkan. Untuk mendapatkan jawaban, aku harus keluar dari sini.

Ruangan ini didominasi warna putih dan abu-abu, dilengkapi berbagai macam perabotan minimalis yang terkesan maskulin. Sebuah sofa single warna grey berada di tengah, disampingnya ada meja kecil warna putih berbentuk persegi yang di atasnya terdapat vas bunga. Di samping kiri. Terdapat pintu geser full kaca yang menghubungkan dengan balkon. Terdapat dua buah pintu di sisi kanan, yang aku yakini adalah kamar mandi dan wardrobe. Jika mengamati semuanya, ruangan ini lebih menyerupai suit room sebuah hotel atau mungkin penthouse.

Kedua kakiku melangkah lebar ke arah pintu. “Shit! pintu ini terkunci.” Ayo berpikir Renesya. Aku berjalan mondar-mandir, mencari cara bagaimana agar bisa keluar dari tempat ini.

Aku berjalan mendekati meja kecil di samping sofa,  tanganku  segera meraih vas bunga berbahan kristal yang terlatak di sana. Lalu menjatuhkannya seketika, hingga menimpulkan bunyi pecahan yang cukup keras.

PRAAANGGG!!!

Aku memungut pecahan kristal tersebut, menggenggamnya kuat, tidak peduli telapak tanganku yang saat ini mulai berdarah. Beberapa saat kemudian pintu itu pun terbuka, menampilkan sosok seseorang yang beberapa minggu ini tidak pernah kulihat. “Berengsek! Ternyata dugaanku benar.” semburku langsung tepat ketika ia melangkah mendekatiku. Dadaku bergemuruh. Menahan gejolak amarah yang siap meledak sekarang juga.

“Jadi kau sempat menghilang beberapa waktu, untuk merencanakan semua ini.”

Kudengar helaan napas beratnya. “Aku bisa menjelaskan semuanya, Renesya. Kumohon tenanglah, buang benda itu.”

“KAU MENJIJIKKAN, BRENGSEK!” umpatku dengan suara lantang. Aku mundur teratur, tatkala ia semakin mengikis jarak diantara kami.

“Sebenarnya apa tujuanmu, hach! Kenapa kau tidak berhenti mengusik hidupku.” Buliran bening itu kini berhasil lolos, melewati pertahaan kelopak mataku. Aku tidak sanggup lagi menahannya, semuanya terasa pahit untuk bisa kuterima.

“Aku sudah berusaha mendekatimu secara baik-baik, tapi sepertinya itu tidak akan pernah berhasil. Aku menyerah dan kesabaranku telah habis Renesya. Aku tidak akan membiarkanmu pergi kemanapun lagi. Dan satu hal yang harus kau catat baik-baik. Jangan pernah berharap orang lain dapat melihat tubuhmu secara cuma-cuma.”

“Cuma-cuma kau  bilang?” Aku berdecih.

“Ya. Aku tidak suka orang lain melihat apa yang seharusnya menjadi milikku sendiri. Dan aku akan  pastikan majalah keparat itu tidak akan jadi meluncur ke pasaran.”

“KAU MEMANG BEDEBAH SIALAN, DASAR PRIA GILA!!.” teriakku geram. Kurasakan belakang lututku membentur pinggiran ranjang, otomatis membuat langkah kakiku terhenti. Sedangkan pria gila itu masih berjalan mendekatiku secara perlahan.

“Berhenti! jangan mendekat padaku lagi” suaraku bergetar akibat tangis. Seketika tubuhnya mematung di tempat. Helaan napas gusarnya terdengar jelas, menguar di udara. Kulihat sorot matanya menatapku sendu. Aku tak mengerti arti tatapannya tersebut.

“Biarkan aku pergi atau kau ingin melihat mayatku disini sekarang juga.” Aku mengacungkan pecahan kaca pada nadiku, siap membuat goresan cukup dalam.

“Jangan  pernah berpikiran bodoh Renesya!!”

“Kau pria gila, yang hanya terobsesi padaku.”

“Aku hanya ingin melindungimu.” Bibirku berkedut tak mampu menyembunyikan senyum sinis akibat ucapannya.

“Melindungiku katamu!" aku berdecih.

"Aku memberimu pilihan, biarkan aku pergi, atau kau ingin melihatku mati dengan pecahan kaca ini. Ahhhh…, sepertinya akan lebih menarik jika aku melompat dari jendela itu, media akan segera tahu hal bejat apa yang telah dilakukan CEO terhormat sepertimu.”

“Jangan macam-macam Renesya, tenanglah kita bisa bicarakan ini secara baik-baik.”

“Secara baik-baik kau bilang? cih!” Ekor mataku melirik ke samping pada jendela kaca besar yang menampilkan view kota di luar sana, detik itu juga aku menyadari bahwa saat ini aku tidak lagi berada di Italia.

“Sempurna!! kau bahkan sudah menculikku ke Negara lain, meniduriku, lalu mengurungku. Dan semuanya telah berhasil. Benar begitu kan rencanamu, berengsek!

Dia menunduk diam, sama sekali tidak membalas ucapanku, pandangannya menatap lurus ke lantai, apa yang sedang dia pikirkan sekarang? tidak akan kubirakan dia membuat rencana licik untuk semakin mengikatku.

“Cepat katakan! sergahku tidak sabar. “Biarkan aku pergi atau kau ingin melihatku mati disini!”

Dia mendongak, mata hitamnya kini bertemu pandang denganku, tatapannya begitu tajam seperti ingin meluruhkanku seketika.

“Aku tidak akan melepaskanmu sampai kapanpun Renesya. Kau milikku ingat itu baik-baik.”

Chieva
03 April 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top