Chapter 33

"Berhentilah bercanda, Mark!" sentakku menyingkirkan tangan nakalnya yang hendak berlabuh di area sensitifku. "Pembicaraan kita belum selesai." tekanku lagi memberinya peringatan. Diapun mengalah, dan memfokuskan kembali perhatiannya padaku.

"Apalagi yang ingin kau katakan?" tanyanya kemudian dengan nada malas. Tentu saja aku tahu apa yang paling dia inginkan saat ini. Tapi tidak! Bukan waktunya kami untuk bermesraan hingga lupa diri, masih ada banyak hal yang harus kujelaskan padanya.

Berbaring saling berhadapan, tubuh kami begitu dekat,nyaris tidak ada jarak. Lengan kekarnya memelukku dengan sebelah kakinya ditumpukan pada betisku. Dalam hati aku mengumpat tatkala tubuhku bergerak sedikit dan tanpa sengaja menyentuh sesuatu di bawah sana yang sedang terjaga. Namun aku berusaha tenang tidak terpengaruh sama sekali.

"Kau sudah menolak putrinya. Meskipun terkesan sederhana, tapi ini bisa saja terjadi." ungkapku padanya. "Seorang ayah tidak akan tinggal diam melihat putrinya yang terluka, sebaiknya kau harus mencari tahu apa yang terjadi pada Emely, hingga membuat Rudolf berubah membencimu." jelasku lagi.

"Sebenarnya, aku sempat mendengar kabar bahwa Emely mengalami kecelakaan tunggal, dia tewas di tempat kejadian. Tapi aku sama sekali tidak tahu penyebab pasti kecelakaan tersebut."

"Apa mungkin Rudolf menyalahkanmu atas kematian putrinya? Kita tidak tahu kesimpulan apa yang telah dia ambil hingga membuatmu seolah menjadi tersangka utama atas kematian putrinya."

"Itu tidak masuk akal." tukasnya tidak terima. "Aku bahkan tidak tahu secara pasti kapan kejadian itu, aku hanya mendengar kabar dari orang lain. Lagipula semenjak aku mengenalmu, Emely memang nyaris tidak pernah menemuiku lagi. Aku menganggap dia sudah menyerah karena aku telah menentukan pilihanku sendiri."

"Jadi memang karena aku? Kau mengabaikannya karena sibuk mengejarku saat itu."

"Tidak! Bukan karenamu, ini memang sudah takdir. Dan aku sendiri yang menentukan pilihanku padamu."

"Tapi saat itu kau melakukan pemaksaan padaku, masihkah kau mengatakan bahwa itu semua takdir." ujarku kesal seraya memicingkan mataku.

Sudut bibirnya tertarik ke atas. Dia justru hanya terkekeh. "Yang jelas kau sudah menjadi milikku." Dia semakin mengeratkan pelukannya.

"Kau tidak tahu saja, dampak apa yang kualami saat kau intens mendekatiku, apalagi saat kau memaksaku menikah denganmu."

"Apa maksudmu?" Marcus mengerutkan keningnya. Aku menghela napas berat, inilah saatnya. Aku harus menceritakan semua ini padanya.

"Sebenarnya saat kau mendekatiku, saat itu pula hidupku menjadi tidak tenang, aku terus -terusan menerima terror bahkan dari orang yang sama sekali tidak kukenal, awalnya aku tidak mengerti penyebabnya aku mengira itu hanya ulah antifans yang tidak menyukaiku."

"Kenapa saat itu kau tidak mengatakannya padaku!"

"Aku pikir itu bukanlah hal yang penting! Aku bukan wanita yang suka merengek dan bersembunyi di balik ketiak pria, aku menganggap terror-teror itu hanyalah angin lalu, berusaha menjalani hari-hariku seperti biasanya.

"Kau memang wanita keras kepala, seharusnya kau bercerita padaku, agar aku bisa melindungimu." sergahnya terlihat gusar.

"Kau ingat saat aku menginginkan kita pergi Honeymoon?" Dia mengangguk.

"Sebenarnya itu hanya alasanku saja. Saat itu, sehari sebelum kita pergi ... "

Ingatanku kembali melayang pada pertemuan pertamaku bersama Rudolf. Pria paruh baya itu tiba - tiba saja mendatangiku di apartement, saat Marcus masih berada di kantor.

Awalnya aku tidak mengerti maksud kedatangan Rudolf yang notabene belum pernah kukenal sama sekali. Saat itu aku mempersilakannya masuk begitu saja.

"Maaf sebelumnya, jika boleh tahu, apa maksud kedatangan anda kemari? Saat ini Marcus masih berada di kantor." jelasku padanya.

"Kedatanganku kemari untuk bertemu denganmu, nona."

Aku mengerutkan kening tidak mengerti. Ini pertama kalinya aku bertemu dengannya.

"Perkenalkan, aku Rudolf." Aku menyambut uluran jabat tanganya. "Renesya."

"Urusan apa yang membawa anda datang kemari Tuan?" tanyaku kemudian, berusaha bersikap setenang mungkin.

"Kau memang wanita keras kepala ternyata." Aku tersentak mendengar ucapannya, aku bahkan tidak mengenalnya sama sekali, kenapa tiba-tiba pria tua ini mengataiku wanita keras kepala. Diam- diam tanganku terulur mengambil ponsel yang kuletakkan dibawah bantal sofa, aku harus segera melakukan sesuatu apabila pria tua ini melakukan hal berbahaya.

"Apa maksud anda Tuan?"

"Tinggalkan Marcus."

Deg, jantungku seolah terlepas dari rongganya. Dua kata itulah yang sering kuterima selama ini. Keringat dingin tiba - tiba menerjang tubuhku. Rasa takut yang menguar dari aura tubuhku, mendominasi ruangan ini, membuat pria itu merasa menang. Jadi ... Pria inilah yang menerorku selama ini.

"Sudah berkali - kali aku memperingatimu, tinggalkan Marcus, jika tidak nyawa salah satu diantara kalian yang akan menjadi taruhannya."

"Anda tidak berhak mengancamku, sekarang silakan pergi dari tempat ini." Berusaha kerasa  meredam rasa takutku. Aku memberanikan diri mengusirnya.

Dia hanya tertawa sinis. Tanpa berkata apa - apa lagi, pria paruh baya itu mulai berdiri dan berjalan meninggalkan Sofa. Lalu menghilang begitu saja dari balik pintu.

Tubuhku lemas seketika. Perasaan bingung mendera diriku. Tanda tanya besar menyeruak dalam diriku. Untuk apa pria itu menyuruhku meninggalkan Marcus? Akupun semakin menyadari bahwa teror-teror yang kualami selama ini karena aku hidup bersama Marcus.

"Jadi pria tua itu melakukan ini semua!" kurasakan sebuah usapan lembut menangkup kedua pipiku, membuatku mengerjap dan kembali pada memori saat ini. "Keparat! Bagaimana mungkn aku sampai tidak mengetahui hal ini."

"Kesalahan terbesarku karena aku bersikap egois, aku mengabaikan ancamannya. Aku tidak suka orang asing yang tidak kukenal nengatur- ngaturku. Aku benci jika harus melakukan keinginannya. Aku tidak ingin pergi sendirian, karena aku mulai sadar bahwa kau telah berhasil mencuri perhatianku, aku tidak ingin kehilanganmu."

"Lalu keputusan terkutuk itulah yang kuambil, aku memilih mengajakmu pergi bersama dengan alasan ingin honeymoon. Besar harapanku jika kepergian kita bisa meninggalkan semua masalah yang menghantui, melupakan semua ancaman konyolnya."

"Saat itu diam-diam aku telah merencanakan semuanya, aku memiliki bukti rekaman setiap detail percakapanku saat Rudolf mengancamku. Aku berniat memberitahukanya pada Aiden saat kita sudah sampai di tempat tujuan, aku ingin Aiden yang mengurusnya agar Rudolf segera dijebloskan ke penjara setelah kita berhasil pergi."

Helaan napasku terasa berat. "Sayangnya aku terlalu naïf dan bodoh, aku sama sekali tidak menyadari bahwa saat itu pula Rudolf telah merencanakan hal buruk untuk kita berdua. Entah darimana dia bisa tahu, Rudolf murka karena aku tidak mengikuti keinginanya. Dia benar-benar melakukan ancamannya, karena aku merupakan saksi hidup atas kejahatannya.Dialah otak yang menjadi penyebab kecelakaan kita."

Semua rentetan kalimat panjang yang kuucapkan, membuat amarah Marcus meluap. "Keparat! Pria tua sialan itu memang harus diberi pelajaran."

"Saat kau hilang ingatan, apakah ada hal aneh yang mengganggumu?" tanya Marcus kemudian.

Aku mengangguk. "Aku kembali mendapatkan ancaman-ancaman serupa saat kau kembali hadir padaku. Saat itu aku masih belum ingat siapa dan apa tujuan pengirimnya, aku bahkan sempat mencurigaimu. Aku mengira kaulah pelakunya."

"Aku?" Marcus menunjuk dirinya sendiri.

"Ya! Apa kau lupa, siapa yang tiba-tiba memukul temanku di klub. Kau keterlaluan sekali." aku mendengkus sebal.

"Aku tidak suka ada pria lain yang akrab denganmu, aku sudah cukup tersiksa karena harus mengawasimu dari jauh. Saat itu kesabaranku sudah benar-benar habis."

"Kau sangat berlebihan!"

"Tidak! Jika itu menyangkut milikku." Marcus bersikeras.

"Dan aku tidak akan membiarkan Rudolf lepas setelah ini, karena dia sudah menggangu milikku!"

Chieva
11 November 2022

Cerita ini 2 part lagi akan tamat, jdi rada slow updatenya gpp ya.. Hehe soalnya aku bikin bnyak revisi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top