Chapter 3
Coach Inc.
Milan, Itali
10.46 DST
Ketika berada di club malam, pandangan kagum dan memuja para prialah yang sering aku terima. Berbeda saat aku menginjakkan kaki di tempat umum seperti ini. Ke mana pun aku melangkah, tatapan penuh rasa iri, tercetak jelas pada setiap mata wanita yang tanpa sengaja kulewati.
Tentu saja telingaku masih cukup baik, untuk dapat mendengar bisikan-bisikan sinis. Saat mereka mengomentari bagaimana gerakan lihaiku ketika menaikan kacamata ke atas kepala, atau langkah kaki jenjangku dengan stilettos yang menurut mereka kurang pantas, jika dipadukan dengan Blouse yang kupakai saat ini.
Mengabaikan itu semua, tidak ingin membuang waktu berhargaku. Aku langsung bertanya kepada resepsionis. "Katakan di mana ruangan pimpinan kalian?"
"Apa Anda sudah memiliki janji, Miss?" tanya sang Resepsionis. Caranya menatapku, membuatku ingin mendengkus kencang.
Persetan! dengan janji temu atau apa pun itu namanya. Aku bahkan tidak tahu siapa pimpinan mereka, yang berani sekali membatalkan kontrak kerjaku dengan perusahaan lain. Sialan memang! Segala macam umpatan, seolah ingin mendesak keluar dari sela bibir merahku sekarang juga.
Mengembuskan napas sejenak, kupamerkan senyum tipis tak sampai ke mata untuk menanggapi ucapan resepsionis. Mengontrol kembali mimik wajahku, agar terlihat lebih tenang.
"Katakan saja, Renesya, ingin bertemu."
"Baiklah tunggu sebentar, Miss."
Aku hanya mengibaskan tanganku sekilas untuk menanggapinya. Mengalihkan perhatianku pada ponsel selagi menunggu. Resepsionis itu sedang menelepon atasannya.
"Anda sudah ditunggu Miss, silahkan menggunakan lift khusus yang berada di samping loby sebelah kanan, ruangan pimpinan kami ada di lantai paling atas."
Aku langsung melenggang pergi begitu saja, setelah mendengar instruksinya. Bibirku terlalu malas menggumamkan kata terimakasih.
Disinilah aku sekarang. Berdiri mematung, dalam diam. Mengamati dari arah belakang. Kedua mataku terpusat pada sosok tubuh tinggi. Dengan ponsel yang menempel di telinga kanannya.
Ketika panggilannya berakhir. Pria itu belum menyadari kehadiranku. Dia masih berdiri membelakangiku, menghadap jendela kaca besar yang menampilan view kota Milan di siang hari. Pemandangan punggung tegapnya. Mengingatkanku kembali pada kejadian malam itu.
Suara bising kendaraan yang melaju di jalan raya semakin terdengar jelas saat kami hampir mencapai pintu keluar Club. Deru nafasku menjadi tak teratur akibat kewalahan mengikuti langkah cepatnya. Kedua mataku memicing. Menatap punggung tegapnya dengan kening berkerut. Rahangku berkedut, siap melontarkan makian sekarang juga.
Aku diam di tempat. Menahan helaan tangannya. Mengabaikan tatapan bertanya orang - orang yang berjalan di sekitar kami."Ikut aku sekarang, dengan patuh atau paksaan!" ujarnya dingin, menyiratkan sebuah ancaman.
Dia berkata tanpa sedikitpun menoleh padaku. Pria ini bahkan sudah berani mengganggu acara minumku bersama Marshal. Hey!memangnya siapa dia? Aku menyentak genggaman tangannya, hingga terlepas.
"Kau siapa? berani sekali mengaturku. Kita bahkan tidak punya urusan apapun, Sir." bentakku sinis. Aku mendorongnya kuat. membuat tubuhnya tersentak mundur. Sedetik dapat kutangkap raut kekagetan di matanya. Lalu helaan nafas lelah itu menguar di udara seiring dengan fokus kedua matanya yang kini menatapku lekat.
"Ikut denganku, dan kau akan tahu siapa aku."
Aku berdecih menanggapi ucapannya barusan. Bagaimana kalau ternyata dia seorang mucikari yang berniat memperjual belikan wanita. Aku tidak ingin mengambil resiko apapun. "Kau kira aku sebodoh itu!" Tanpa menunggu responnya. Kakiku berderap, pergi meninggalkannya. Dasar pria gila!
"Selamat datang nona. Apa kau sudah cukup puas menikmati punggungku?" Aku tersentak, sadar dari lamunan, begitu mendengar suara yang tidak asing lagi di telingaku.
Pria itu memutar tubuhnya menghadapku. Bola mataku membulat seketika. Ya Tuhan! sepertinya mimpi burukku tidak akan pernah berakhir. Kapan pun dan di mana pun, kenapa harus selalu pria gila itu lagi.
"Kau!" Kemarahanku semakin memuncak saat mengingat kembali, siapa orang yang berani menggagalkan kontrak kerjaku dengan Victoria Secret. Dia tersenyum manis, bahkan sangat manis hingga membuatku muak.
"Jadi, kau yang melakukan itu semua?" tanyaku sinis.
Seharusnya aku tidak perlu bertanya lagi. Semuanya sudah cukup jelas.
"...."
Mengabaikan pertanyaanku tadi. Pandangan matanya justru tak lepas menatapku tajam. Apa yang sedang dia pikirkan? gumamku dalam hati. Menghalau rasa penasaraku. Sudah cukup. Tidak ada alasan lagi untukku berada di tempat ini. Aku tidak ingin berurusan lebih lama dengan pria ini.
"Baiklah aku rasa sudah cukup, terimakasih banyak atas semuanya. Oh ya! Aku juga sudah mentransfer kembali uang yang kau kirimkan kemarin malam." Menghela napas sejenak.
"Kuperingatkan untuk yang terakhir. Jangan pernah lagi memunculkan batang hidungmu di depanku!" ujarku sinis lalu membalikkan tubuhku. Melangkahkan kaki dengan cepat, siap meninggalkan ruangan sialan ini. Tapi belum sempat tubuhku melewati batas pintu, kurasakan sesuatu yang kuat mencengkeram pergelangan tanganku.
"Kau pikir, aku akan membiarkanmu pergi lagi untuk yang kedua kalinya." desisnya tajam, dengan sorot mata menghujam penuh padaku.
Chieva
18 September 2017
04 Oktober 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top