Chapter 13

Kau pikir. Apa yang sedang kau lakukan Renesya?" Aku terperanjat kaget mendengar suara itu. Astaga! kenapa dia tiba-tiba muncul lagi? dengan cepat kukembalikan gagang telepon ke tempatnya, menggaruk tengkukku yang sebenarnya tidak gatal, lalu menolehkan kepalaku secara perlahan.

Cepat berpikir Renesya! kau harus mencari alasan. Sedikit kupaksakan menarik kedua sudut bibirku ke atas, berusaha tersenyum senormal mungkin. Berdoa dalam hati, semoga wajahku tidak terlihat aneh. Tatapannya menghujam padaku, menuntut penjelasan. Ck! aku terlihat seperti pencuri yang tertangkap basah! siapa yang sebenarnya merasa dirugikan? Sial!

"Ahhh! maaf, aku tidak bermaksud lancang menggunakan barang-barangmu." Dia berjalan mendekatiku. Pandangannya menatapku lurus, oh sial! apa kabar dengan jantungku? degupannya sungguh menggila.

"Emmbb sebenarnya aku menginginkan Pizza, barusan aku ingin delivery." Masa bodoh! hanya alasan klise itulah yang muncul di kepalaku. Mengumpati perutku, yang sejak tadi ingin sekali memakan nasi. Tubuhku sangat membutuhkan sesuatu yang mengandung karbohidrat. Menunduk, aku enggan melihat matanya, berharap semoga dia percaya, kalau tidak tamatlah riwayatku, kesempatanku kabur dari sini akan semakin menipis.

Ibu jari dan telunjuknya menyentuh daguku, mendongkakan kepalaku secara perlahan, pandangan kami bertemu. Ingin sekali melempar sesuatu pada wajah menyembalkannya itu. Lihatlah! dia justru menahan tawa atas penderitaanku, detik selanjutnya tawa itupun pecah, membahana di penjuru ruangan. "Kenapa tidak bilang dari tadi, aku kembali karena ingin menanyakan minuman apa yang kau mau? baiklah, kalau begitu kita pesan Pizza saja." Oh tidak! selamat tinggal nasi.

"Tunggu sebentar, aku akan memesannya." Dia mulai sibuk dengan ponselnya, sedangkan aku dengan berat hati harus mendudukkan kembali tubuhku ke atas sofa, menunggu dalam diam dengan hati bergemuruh kesal. Sial! sepertinya aku harus bersabar lebih lama lagi.

"Sudah! kita tinggal menunggunya, tidak lama lagi akan datang."

"Karena tidak ada asupan pada tubuhmu sejak pagi tadi, kau harus tetap memakan nasi, sambil menunggu Pizza datang, aku akan menyuapimu, tunggu sebentar."

"Hei! aku bisa makan sendiri!" teriakku padanya sebelum tubuhnya tak terlihat, mengilang di balik sekat dinding. Melipat kedua tanganku di depan dada bibirku tidak berhenti merutuki sikap sok perhatiannya. Baiklah! terserah apa yang dia inginkan, yang terpenting perutku bisa terselamatkan saat ini.

Dia kembali membawa nampan yang sempat kuabaikan sejak tadi pagi, meletakannya di atas meja. Aku nyaris meneteskan saliva ketika hidungkan mencium aroma sup iga  yang begitu menggungah selera. Marcus menghempaskan tubuhnya tepat di sampingku. "Kita makan bersama." Aku mengerutkan kening, makan bersama dia bilang! aku bahkan tidak melihat mangkuk lainnya disini.

"Aku akan makan dan menyuapimu secara bergantian." Bola mataku membulat seketika. Apa dia baru saja mengatakan ingin memakai sendok yang sama, itu berarti secara tidak langsung kami ─'berciuman'─ aku menggeleng keras. "Tidak!" Dengan gerakan cepat, aku merebut mangkuk di tangannya. "Kau pasti sudah makan, aku ingin memakan ini sendiri tanpa perlu kau suapi." mendekap erat mangkuk putih di depan dadaku.

Dia terkekeh geli."Aku hanya bercanda, kau bisa memakannya sendiri tapi dengan syarat aku yang menyuapimu." Dia merebut kembali dengan paksa mangkuk yang telah kulindungi. Aku hanya bisa merengut pasrah saat tangannya mulai sibuk menyendok nasi serta kuah hangat, lalu menyodorkannya padaku. Aku masih menutup mulutku rapat, berusaha meraih sendok yang dipegangnya, namun dia tetap bersikeras ingin menyuapiku.

"Aaaaaaa..... ayo buka mulutmu." memutar bola mataku malas. Terpaksa membuka mulutku secara perlahan, menerima suapannya dengan berat hati. See! Aku memang kalah karena mengikuti keinginannya, dan perlu kalian ingat ini semata-mata demi perutku. Sangat tidak lucu jika nanti beredar berita seorang model internasional mati konyol hanya karena alasan 'kelaparan'. Oh! itu berlebihan sekali.

"Kau membuatku terlihat seperti kucing peliharaanmu." ujarku sinis, setelah berhasil menelan makananku. Lagi-lagi dia terkekeh geli, heeiss! apa aku sedang melucu? dia kembali menyodorkan sendok penuh nasi di depan mulutku.

"Tentu saja kau lebih berharga dari seekor kucing."

"Sialan! kau pikir aku hewan huh!"

"Kau sendiri yang mengatakannya." jawabnya acuh.

"Baiklah, cukup berpura-pura bodoh tuan Marcus yang terhormat. Yang jelas aku ingin bertanya mengenai hal krusial, sampai kapan kau akan mengurungku di sini?" Aku memang tidak pandai bersandiwara, terlalu banyak pertanyaan yang muncul di kepalaku, dan aku tidak tahan jika harus diam saja. Bukan gayaku bertutur kata manis dengannya, aku sungguh tidak bisa.

"Kau memang tetap sama seperti dulu, tidak sabaran, baby." Alih-alih menjawab, dia justru menggodaku dengan kerlingan matanya. Astaga! apa pria ini salah makan sesuatu? tolong kembalikan otak warasnya. Dan panggilan apa itu tadi? Benar-benar menjijikkan. Seketika perutku bergolak seolah ingin mengeluarkan lagi seluruh isinya.

"Aku sedang bertanya!" tekanku lagi, lalu memalingkan wajahku, menolak suapannya untuk kali ini.

"Kau harus makan, aku tidak ingin melihatmu sakit lagi." Dia menghela nafas penjang, menjatuhkan kembali sendoknya ke atas mangkuk."Bukankah aku sudah mengatakan kau akan mengerti suatu saat nanti, dan kumohon tetaplah di sini bersamaku."

Chieva
08 Mei 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top