RS | Part 9
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Dipandang hina oleh manusia itu biasa, asal jangan sampai benar-benar hina di mata Sang Pencipta."
—Rintik Sendu—
by Idrianiiin
SEPERTI sudah menjadi kewajiban jika perempuan yang sudah bergelar sebagai istri harus piawai memasak. Seolah, jadi standar khusus yang tidak boleh luput dari pantauan, terlebih pantauan mertua yang katanya mengharapkan menantu 'idaman'.
"Kamu hanya saya suruh potong bawang, bukan saya suruh potong jari tangan sendiri. Malah nangis pula lagi!" omel Anggi kesal.
Hamna mengelap sudut matanya yang berair dengan ujung khimar. "Saya nangis bukan karena jari saya teriris, tapi karena bawang merah yang antagonis."
Anggi mendengus kasar. "Kamu memang nggak bisa apa-apa! Mau dikasih makan apa anak saya kalau berumah tangga sama kamu, hah?"
"Makan hati, Bu. Sama kayak saya, makan hati mulu semenjak jadi menantu Ibu," jawabnya asal.
Mata Anggi melotot seketika. "Nggak ada sopan santunnya kamu sama yang lebih tua. Nggak pernah makan bangku sekolah ya?!"
Hamna membersikan jari telunjuknya yang terus mengeluarkan darah seraya berujar, "Saya ini manusia, bukan rayap. Kenapa pula harus makan bangku sekolahan. Ibu aneh ya."
Anggi menjatuhkan pisau yang dia gunakan untuk memotong sayuran secara asal. "Kamu ini benar-benar menguji kesabaran saya. Bukannya sadar, malah terus berkomentar. Begini, nih kalau nikahin perempuan yang nggak berpendidikan."
"Saya memang hanya lulusan SMA, tapi saya tahu bagaimana caranya bersikap. Ibu baik pada saya, maka saya akan baik pada Ibu. Tapi, kan Ibu tak memperlakukan saya dengan baik, lantas sekarang Ibu menuntut saya untuk melakukan hal tersebut? Apa Ibu tidak memiliki kaca? Tidak malukah?"
Anggi berkacak pinggang. "Dasar menantu tidak tahu diri!" katanya lantas berlalu pergi.
Dia berpapasan dengan Hamzah yang hendak memasuki dapur. "Didik istri kamu yang betul, Ham. Ajarkan dia tatakrama dan juga etika, apalagi sama orang tua. Malu Mama punya mantu kayak Hamna."
Hamzah menggeleng tak suka. "Jaga ucapan Mama, kalau Hamna dengar gimana?"
"Biarin, orang itu fakta." Setelahnya dia melajukan langkah menuju kamar.
"Astaghfirullah, kamu kenapa, Na?" tanya Hamzah panik saat melihat Hamna tengah menghadap wastafel untuk membersihkan jarinya yang terus mengeluarkan darah.
"Keiris doang, nggak sampai kepotong. Aman," katanya diakhiri cengiran.
Hamzah geleng-geleng. "Jangan dibiarkan seperti itu, darahnya akan terus mengalir. Arahkan ke atas supaya darahnya berhenti."
Hamna menepis tangan Hamzah yang hendak menolongnya. "Jangan nyari kesempatan dalam kesempitan ya, Pak. Lupa apa sama kesepakatan kita?"
Hamzah menghela napas singkat. "Saya hanya ingin membantu, kalau memang tidak berkenan ya sudah."
"Kalau mau bantu mending cariin P3K, jauh lebih berguna untuk luka saya."
Lelaki itu menurut patuh dan membawakan kotak P3K seperti yang Hamna minta. "Saya hanya membantu kamu, bukan modus," ucapnya seraya menarik tangan Hamna, meneteskan betadine serta menutupinya dengan plester.
"Pegang tangan denda Rp. 100.000,00 ya, Pak. Enak saja pegang-pegang saya gratisan," ocehnya berhasil menghentikan kegiatan Hamzah yang tengah menutup kotak P3K.
"Kata siapa gratis? Lupa kamu, saya sudah kasih lebih dari itu, mahar."
Hamna berdecak pelan. "Bapak kira dengan mahar bisa membeli saya apa? Nggak ya. Harga diri saya tidak serendah itu!"
"Saya tidak sedang bertransaksi. Lagi pula kapan saya mengatakan hendak membeli harga diri kamu? Perasaan tidak pernah."
Hamna memutar bola mata malas. "Tahu ah!"
"Kenapa bisa sampai keiris, Na?" tanyanya.
"Nggak biasa pegang pisau."
"Kalau memang nggak bisa masak, kan bisa tolak permintaan Mama. Jangan memaksakan, apalagi sampai melukai diri sendiri," tegurnya.
Hamna melangkahkan kaki dan Hamzah mengikuti ke mana pun langkah sang istri berjalan.
"Tadi saya sedang malas untuk mendebat Ibu Anda, jadi menurut saja. Eh, tahunya malah kena kultum panjang lebar. Sudah mah nggak fokus karena perih akibat ngiris bawang merah, ditambah pula ocehan Ibu Anda yang nggak ada ujungnya. Ya saya makin nggak fokus, lha."
"Maafkan Mama saya," cetus Hamzah merasa tidak enak.
Hamna menghentikan langkah dan memutar tubuh untuk melihat ke arah suaminya. "Bukan salah Bapak, kenapa juga harus minta maaf. Ibu Anda yang salah saja, tidak mau mengakui dan malah mengatai saya. Lantas kenapa Bapak harus melakukan sesuatu yang jelas-jelas bukan kesalahan Bapak?"
"Saya hanya takut kamu sakit hati atas perlakuan Mama, saya tahu sepedas apa tutur kata beliau."
"Saya sudah biasa dipandang rendah, dan menerima omongan pedas dari orang-orang. Sudah kebal, Bapak tidak usah khawatir."
"Tapi---"
"Sudah, Pak jangan dibahas lagi. Kapan mau ke kampus untuk urus kuliah saya?" potongnya cepat.
"Selesai sarapan ya."
Hamna mengangguk paham.
"Boleh saya minta sesuatu?" tanya Hamzah berhasil menghentikan gerak tangan Hamna yang hendak membuka handel pintu.
"Apa?"
"Tolong jangan panggil saya bapak. Kamu bukan anak saya."
"Ya terus? Umur saya dan Bapak beda jauh, 15 tahun kalau perlu saya ingatkan."
Hamzah menghela napas berat. "Ya, tapi tidak bapak juga, kan, Na? Kamu istri saya. Apa tidak ada panggilan yang wajar dan lebih enak didengar?"
Alis Hamna terangkat satu. "Apa? Sayank? Geli banget!" Bulu kuduknya meremang seketika.
"Terserah kamu, asal jangan bapak."
Hamna tak langsung menjawab. Dia memilih untuk benar-benar memasuki kamar dan duduk di depan meja rias. "Kalau 'mas' terlalu standar, 'aa' juga biasa saja. Yang luar biasa apa ya?" monolognya.
Hamzah geleng-geleng kepala. "Perkara panggilan saja kamu sampai berpikir keras, Na. Apa susahnya cukup panggil nama."
"Bapak yang buat masalah sederhana ini menjadi ribet. Perkara dipanggil 'bapak' saja komplain. Heran!"
"Ya sudah terserah kamu."
"Oke, Kakang saja gimana, hm?" candanya dengan alis yang dinaik-turunkan.
"Kenapa pilih itu?"
"Kalau 'akang' terlalu biasa, kalau ditambah jadi 'kakang' agak beda," jawabnya asal.
"A Hamzah saja lha, tidak nyaman saya."
Hamna menyemburkan tawanya. "Oke, Aa siap laksanakan."
"Mau ambil jurusan apa?" tanya Hamzah kemudian.
Hamna mengedikan bahunya. "Nggak tahu. Menurut Aa bagusnya ambil jurusan apa?"
"Kamu yang mau kuliah, kenapa malah tanya saya?"
"Saya kuliah karena supaya dapat gelar sarjana dan nggak direndahkan orang saja. Nggak ngebet-ngebet banget sebenarnya, tapi ya kayaknya keren kalau punya gelar di akhir nama."
Hamzah melongo dibuatnya. "Itu namanya kamu tidak bersungguh-sungguh untuk menuntut ilmu. Perbaiki dulu niatnya, baru saya akan urus berkas-berkas kuliah kamu."
"Kok gitu sih? Kan, kesepakatannya Bapak membiayai kuliah saya sampai selesai. Kenapa sekarang beda lagi. Ingkar janji itu namanya!"
Hamzah menghela napas singkat. "Kenapa jadi bapak lagi?" protesnya.
Hamna cengengesan. "Keceplosan itu, ya maklum belum terbiasa."
Anggukan pelan Hamzah berikan. "Saya menanyakan ihwal jurusan yang hendak kamu ambil, karena saya tidak ingin kamu salah dalam memilih dan malah menyesal di pertengahan jalan. Minat dan bakat kamu ada di mana? Nah, itu bisa dijadikan bahan pertimbangan dalam mengambil jurusan. Cari jurusan yang memang kamu sukai dan yakin akan bisa menuntaskannya hingga selesai."
"Saya itu nggak ada bakat apa-apa. Nggak ada tujuan hidup saya, makanya saya setuju nikah sama Bapak. Karena Bapak menawarkan tujuan yang lumayan jelas dan tahu arahnya mau dibawa ke mana. Hidup saya juga terjamin kalau dinikahi Bapak. Jadi, nggak usah repot-repot kerja, dan nggak akan mikirin besok makan apa karena uang gaji yang habis sebelum waktunya."
Hamzah termenung mendengar jawaban polos Hamna. Dia jadi teringat pada kejadian kemarin, di mana dia nekad meminta Hamna untuk menjadi istrinya.
"Saya tahu tidak ada cinta di antara kita, tapi saya punya tujuan dan keinginan untuk berumah tangga bersama kamu, Hamna."
"Apa?"
"Saya menyadari betul kalau saya tidak bisa hidup sendiri, saya perlu dampingan seorang istri. Apalagi ada Haleeza yang memang membutuhkan figur seorang ibu untuk menemani tumbuh kembangnya."
"Tujuan utama menikah memang untuk beribadah, dan saya ingin menua bersama kamu hingga Jannah. Maka dari itu, bantu saya untuk menyempurnakan separuh agama saya, agar bisa mencapai tujuan tersebut dengan mudah."
Hamna menatap curiga ke arah Hamzah. "Kenapa senyum-senyum sendiri? Mau singgah ke RSJ Cisarua ya."
—BERSAMBUNG—
Padalarang, 12 November 2023
Update lagi 🥳 ... Maaf kemarin libur, healing tipis-tipis dulu akunya 😂🤭 ... Semoga bab ini juga bisa jadi obat sekaligus hiburan buat kalian ya ☺️
Kalau ada typo bantu koreksi ya 😉
Masih mau dilanjut?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top