RS | Part 8

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Mimpi buruk semua wanita ialah kala mendapat mertua yang tak tahu caranya memanusiakan manusia."

-Rintik Sendu-
by Idrianiiin

LINGGA mengumumkan bahwa pernikahan sedikit diundur, para tamu yang hadir dimohon untuk sejenak menunggu seraya menikmati hidangan yang tersedia. Agar tetap kondusif pihak WO pun ikut membantu mengubah rundown acara.

Akad nikah yang semestinya dilaksanakan di awal, jadi berada di akhir. Hal tersebut memunculkan banyak tanda tanya di benak orang-orang, tapi karena jamuan terbaik serta dimanjakan dengan hiburan semua bisa kembali dikondisikan.

Acara berjalan kondusif, tidak hancur berantakan sebagaimana yang dikhawatirkan pihak keluarga.

Hamna menatap sebal ke arah cermin, dirinya dipaksa menjadi mempelai pengantin pengganti hanya karena alasan 'malu'. Sungguh sangat di luar logika, dirinya menikah dengan cara memiriskan seperti itu.

"Mau seisi dunia yang Bapak tawarkan pun saya tidak akan mau menikah dengan Anda!"

"Hanya kamu satu-satunya orang yang bisa membantu saya. Tolong bantu saya untuk kali ini saja. Apa pun akan saya lakukan agar kamu bersedia menjadi istri saya."

Hamna berdecak seraya bersidekap dada. "Apa pun? Jika saya meminta untuk dibangunkan candi dalam satu malam apa Bapak mampu?"

"Kamu gila, mana bisa. Kamu kira kita sedang ada di dalam negeri dongeng apa?!"

"Nah segila itu jugalah tawaran Bapak. Sampai sini paham?!"

Jika Lingga tidak turun tangan, perdebatan itu kian memanas dan tidak kunjung menemukan titik temu. Beruntung dia bisa melerai, dan akhirnya Hamna bersedia untuk 'membantu' Hamzah agar tetap bisa melanjutkan pernikahan.

Dengan banyak persyaratan dan juga kesepakatan yang Hamna ajukan, akhirnya kini mereka duduk berdampingan di depan penghulu.

Wajah Hamzah yang memang sudah tegang sedari tadi, semakin menegang saat menjabat tangan ayahnya Hamna.

Meskipun sedikit tidak rela melepas sang putri bungsu menikah secara mendadak, Ikram mengucapkan ijab dengan lantang.

"Saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri kandung saya, Hamna Pramanita binti Ikram Rosadi dengan maskawin berupa uang tunai senilai Rp. 10.000.000,00 dibayar tunai."

Dalam satu kali tarikan napas Hamzah berucap, "Saya terima nikah dan kawinnya Hamna Pramanita binti Ikram Rosadi dengan maskawin tersebut tunai."

"SAH?"

"SAH!"

"Alhamdulillah. Baarakallahu laka wa baarakaa alaika wa jama'a bainakumaa fii khoir."

Hamzah menyodorkan tangannya agar disalami Hamna, tapi perempuan itu malah tertangkap basah tengah melamun. Dia masih linglung dengan apa yang baru saja terjadi.

Benarkah sekarang dirinya sudah berstatus sebagai istri orang?

Hamzah sedikit menyenggol kaki Hamna, untuk menyadarkan perempuan itu. Kening Hamna mengernyit seolah mengatakan, "Apa?"

Saat menyadari dirinya ditatap banyak pasang mata, dia berdehem sejenak lalu mengambil tangan Hamzah dan menempelkannya di kening.

Dia memundurkan kepala saat Hamzah akan memegang ubun-ubunnya, dia seperti belum rida dengan perubahan status ini. Apalagi Hamzah mau seenak jidat memegangnya, meskipun itu hanya sebatas puncak kepala, dia sangat amat keberatan.

Desas-desus mulai terdengar, terlebih saat mereka menyadari kalau nama mempelai pengantin wanita berbeda dengan nama yang tertera di undangan. Berbagai macam stigma kian bermunculan, tapi Hamzah berusaha untuk menulikan pendengaran.

Hamzah pun harus berlapang dada kala dia dan Hamna tidak bisa langsung menerima buku nikah. Karena pihak KUA membawa buku nikah atas nama Hamzah Wiratama dengan Hanum Mudrika Sirais, bukan dengan Hamna Pramanita yang kini sudah bergelar sebagai istri sahnya.

Semua berkas-berkas nikah menyusul dan akan segera diurus untuk dilegalkan secara resmi.

Setelah akad selesai, tamu undangan langsung bubar jalan. Tidak ada acara apa pun lagi, meskipun hanya sekadar berdiri di pelaminan dan saling berjabat tangan untuk mengucapkan selamat.

Hamzah sudah lelah, dia ingin mengistirahatkan tubuh serta otaknya yang masih belum bisa mencerna dengan baik atas apa yang terjadi hari ini.

"Sesuai kesepakatan, Bapak tidak boleh macam-macam pada saya, satu macam pun tidak diperkenankan. Seinci tubuh saya terjamah oleh tangan Bapak, saya pastikan akan memisahkan kepala dan leher Bapak!" ancam Hamna saat mereka sudah berada di kamar untuk beristirahat.

Hamzah berdecak sebal. "Saya masih mengingatnya, tidak perlu kamu ulang-ulang. Saya belum setua itu untuk pikun!"

"Besok Bapak harus mengurus berkas-berkas kuliah saya. Anda sudah berjanji akan membiayai pendidikan saya hingga selesai."

"Ya."

"Tempat tinggal yang Bapak janjikan pada ayah saya tolong segera diproses. Saya memang tidak bisa meminta Anda untuk membangunkan candi dalam satu malam, tapi saya bisa meminta Anda untuk memberikan hunian layak bagi orang tua saya. Bukan begitu?"

"Ya."

"Satu lagi, saya ingin kamar yang terpisah."

Hamzah memijat pelipisnya. "Ini rumah orang tua saya, apa pandangan mereka kalau sampai tahu kita pisah kamar padahal beberapa jam lalu baru sah sebagai suami istri. Apa kamu tidak berpikir sampai sana?"

"Baik, kalau gitu saya akan tidur bersama Haleeza," putus Hamna tak mau kalah.

"Silakan kalau kamu memiliki keberanian besar."

"Bapak meremehkan saya?" sengitnya tak terima.

Hamzah berdecak. "Terserah," tukasnya lalu meninggalkan Hamna dan memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri.

Hamna menghentakkan kaki kesal, dia mengambil guling serta selimut lalu keluar kamar. Langkahnya tertahan saat mendapati suara horor yang berasal dari ibu mertuanya.

"Mau ke mana kamu?!"

Dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Emh, anu ..., itu ..., saya mau menemani Haleeza tidur."

Anggi menatap Hamna tak suka. "Belum genap sehari menjadi menantu, kamu sudah banyak ulah. Kembali ke kamar!"

Hamna meneguk ludah susah payah. Ternyata mertua bak ibu peri hanya ada di dunia fiksi. Sepertinya dia kurang beruntung, hingga dianugerahi mertua bak macan yang siap menerkam.

"Jangan mentang-mentang kamu 'menyelamatkan' keluarga saya dari rasa malu, kamu bisa bertindak seenak jidat dan menindas putra saya. Paham?!"

"Seharusnya Ibu berterima kasih pada saya, karena saya Ibu dan keluarga tidak jadi bahan ghibah para tetangga. Kenapa malah menyudutkan saya? Lupakah, jika Putra Ibu yang ngemis-ngemis pada saya untuk bersedia menikah dengannya?" sahut Hamna tak gentar sedikit pun.

Dia tak ingin ditindas oleh siapapun, terlebih oleh mertuanya sendiri. Kalau memang dia benar, ya harus berani. Lawan kalau perlu!

"Kalau saya sadar, saya tidak mungkin merestui pernikahan kalian. Kamu tidak ada dalam daftar kriteria idaman!" ujar Anggi semakin meradang.

Hamna memutar bola mata malas. "Saya memang tidak tertarik untuk menjadi menantu idaman Ibu."

"Berani sekali kamu mendebat saya, hah?!"

"Bukankah setiap warga negara berhak untuk mengutarakan pendapat? Nah, saya sedang melakukannya. Saya hanya berpendapat bukan mendebat!"

"Kamu benar-benar ya!" geramnya dengan tangan yang sudah mengepal kuat.

"Mimpi apa saya semalam, sampai bisa mendapat jelmaan menantu seperti kamu?!" desis Anggi dengan tatapan tajam.

"Mimpi apa saya semalam, hingga mendapat mertua seperti Ibu!" balas Hamna.

"HAMZAH!" teriak Anggi sudah benar-benar naik darah.

"Apa sih, Ma teriak-teriak?" tanya Hamzah baru saja keluar kamar.

"Urus istri muda kamu, dia nggak punya sopan santun dan tatakrama. Makanya kalau pilih istri yang berpendidikan dan juga dewasa. Bukan bocah ingusan seperti dia!" katanya seraya menunjuk ke arah Hamna.

"Saya bukan bocah ingusan, tapi saya bokem, bocil kematian!"

Hamzah memijat pelipisnya. "Masuk kamar, Hamna."

Hamna melengos begitu saja. Lagi pula dia sudah malas berurusan dengan ibu mertua seperti Anggi.

"Kamu mungut perempuan itu di mana, hah?!"

"Mungut? Mama kira Hamna sampah apa. Tolong jangan buat posisi Hamzah serba salah."

"Apanya yang serba salah?"

Hamzah hanya mampu menghela napas singkat.

-BERSAMBUNG-

Padalarang, 10 November 2023

Update lagi nih, siapa yang minta up cepat-cepat?🤭 ... Masih mau lanjut?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top