RS | Part 6
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Tidak ada manusia yang baik-baik saja, semua tengah berjuang dengan polemik masing-masing."
-Rintik Sendu-
by Idrianiiin
KALIMAT yang mengatakan bisa bahagia saat melihat sosok yang dicintai bahagia bersama pilihannya itu ternyata tidaklah benar. Karena yang dirasakan Hamzah justru sebaliknya, rasa sesak di dada kian menyeruak hebat.
Dia belumlah sembuh seutuhnya, luka itu masih ada, sangat amat nyata dan sulit untuk dienyahkan begitu saja. Melihat bagaimana hangatnya perlakuan Dipta pada Zanitha, membuat Hamzah termenung cukup lama.
Bisakah dia sejenak menggantikan posisi tersebut?
"Saya dengar kalian akan membangun rumah qur'an, apa benar?" tanya Hamzah tak ingin terlalu larut dengan perasaannya.
"Bukan akan, tapi alhamdulilah sudah berjalan sekitar satu bulan lalu. Kenapa memangnya, Ham?" sahut Dipta meluruskan.
"Enggak papa, saya hanya ingin memastikan saja."
Zanitha yang tengah fokus menyuapi Haleeza ikut angkat suara, "A Hamzah mau menitipkan Haleeza di sana?"
"Memangnya boleh?"
"Boleh, lha, Ham. Itu, kan untuk umum."
"Za mau belajar ngaji di rumah qur'an Tante Zani?" tanya Zanitha.
Kening bocah itu terlipat. "Rumah qur'an?"
Zanitha mengangguk semangat. "Ya, di sana nanti Za punya banyak teman sekaligus belajar ngaji bareng."
Haleeza mengerjapkan matanya beberapa kali. "Za lebih suka ngaji diajari Papa, Tante Zani."
Dengan gemas Zanitha mencubit kedua pipi gempal Haleeza. "Za ini memang benar-benar anak Papa, ya."
Haleeza tertawa kecil. "Za, kan emang anak Papa. Tante Zani lupa ya kalau Za nggak punya Mama."
Kalimat singkat tersebut sangat amat menohok. Ketiga orang dewasa itu saling berpandangan dan diam dalam waktu yang cukup lama.
"Tapi sebentar lagi Za akan punya Mama kok, Tante Zani. Iya, kan, Pa?" sambungnya dengan suara riang.
"Iya," jawab Hamzah singkat.
"Serius, Ham?" tanya Dipta memastikan.
"Insyaallah."
"Kapan?" tanya Zanitha cukup antusias.
"Minggu depan."
"Alhamdulillah," timpal Zanitha dan Dipta bersamaan. Mereka ikut bahagia mendengar kabar baik tersebut.
"Za senang mau punya Mama?" seloroh Zanitha kini beralih pada bocah kecil berusia lima tahun tersebut.
Haleeza menggeleng, lalu mengangguk. Dia seperti bingung dalam menjawab pertanyaan sederhana Zanitha.
"Kenapa, hm?" tanya Zanitha lembut. Dia elus puncak kepala Haleeza penuh sayang.
"Za senang mau punya Mama, tapi Za nggak senang kalau mamanya, Tante Hanum."
"Memangnya Tante Hanum kenapa?"
Haleeza tak langsung menjawab, dia malah melihat ke arah Hamzah. Seperti meminta bantuan.
"Haleeza memang belum dekat dengan Hanum, Tha."
"Kenapa bisa?"
"Zani," tegur Dipta pelan karena merasa istrinya sudah bertanya terlalu banyak.
Zanitha langsung menunduk dan mengucapkan permohonan maaf pada Hamzah. Hanya karena rasa penasaran, dia jadi lepas kendali.
"Santai saja, Dip, Tha. Malah saya merasa dianggap saat diberondong pertanyaan oleh Zanitha. Karena selama ini, tidak ada yang sampai sedetail itu memperhatikan saya dan juga Haleeza. Mama yang seharusnya lebih aware, malah fokus untuk menyiapkan pesta."
"Beliau seolah menutup mata dan telinga, kalau saya dan Haleeza belum benar-benar bisa menerima kehadiran Hanum dalam hidup kami. Tapi, saya sadar, bahwa tidak ada satu pun orang tua yang memiliki niat buruk untuk masa depan anaknya. Mungkin sekarang memang belum bisa menerima, tapi untuk ke depannya siapa yang tahu coba?"
"Boleh saya tahu calon istri kamu, Ham?"
"Namanya Hanum Mudrika Sirais, pegawai bank swasta yang saat ini baru berusia 25 tahun. Saya hanya tahu sebatas itu, kalau penasaran sama orangnya bisa lihat di instagram. Fotonya bertebaran di sana," beritahu Hamzah.
Zanitha meminta izin terlebih dahulu pada Dipta sebelum mengetikan nama calon istri Hamzah di kolom pencarian. Dan dia cukup tercengang mendapati feed instagramnya.
"Mas jangan lihat," tukasnya lalu kembali memasukkan gawai ke dalam tas.
"Memangnya kenapa?"
"Pokoknya nggak boleh!"
Dipta mengangguk patuh.
"Memangnya A Hamzah kenal Hanum di mana?"
"Dikenalkan Mama."
Zanitha manggut-manggut. "A Hamzah ragu karena Hanum nggak menutup aurat?"
"Ya, itu salah satunya."
"Mungkin nanti setelah menikah bisa diberi pemahaman sedikit demi sedikit. Insyaallah, pelan-pelan kalau dibimbing dengan kelembutan Hanum bisa mengubah penampilannya."
"Perkataan kamu persis sama seperti Mama, Tha. Bukannya saya menilai seseorang dari tampilan luar, tapi saya pun ingin memiliki istri yang pandai dalam menjaga auratnya. Apa itu salah?"
"Sebetulnya itu hal yang wajar, setiap orang pasti memiliki gambaran masing-masing terkait calon jodohnya. Mungkin, Mama Anggi menjodohkan A Hamzah dengan Hanum supaya A Hamzah bisa membimbing Hanum ke arah yang lebih baik. Kita, kan nggak pernah tahu ke depannya akan seperti apa. Sekarang Hanum memang bukan sosok yang A Hamzah inginkan, tapi bisa jadi nanti malah menjelma sebagai sosok idaman?"
"Apa yang dikatakan Zanitha ada benarnya juga, Ham. Setelah akad, perasaan juga pasti akan lambat laun tumbuh. Niatkan untuk ibadah, insyaallah dimudahkan dan dilancarkan," timpal Dipta.
"Aamiin semoga saja ini memang yang terbaik," putus Hamzah berusaha untuk mengukir senyum.
"Lancar-lancar sampai hari-H ya, A Hamzah. Selamat menyelami fase baru dalam kehidupan. Semoga bisa menjadi pemimpin yang amanah, dan rumah tangganya nanti diliputi sakinah mawadah warahmah," ujar Zanitha turut mendoakan.
Lagi-lagi Hamzah hanya mengaminkan.
Zanitha mencuci tangannya terlebih dahulu, lalu dia mendudukkan Haleeza di atas pangkuannya. "Cerita sama Tante Zani, kenapa Za nggak mau Tante Hanum jadi mamanya, Za?"
Haleeza memeluk leher Zanitha dan menatap lekat wajahnya. "Za maunya punya Mama kayak Tante Zani."
"Za nggak boleh ngomong kayak gitu!" tegur Hamzah merasa tidak enak hati pada Dipta yang duduk di sampingnya.
Zanitha mengelus lembut salah pipi Haleeza. "Memangnya Tante Zani kayak gimana, hm?"
Haleeza mengecup singkat pipi Zanitha. "Tante Zani baik, cantik, sayang sama Za. Beda sama Tante Hanum, yang lebih sayang uangnya Papa."
Mendengar hal tersebut Hamzah menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Kenapa bisa Haleeza memiliki pemikiran seperti itu, Ham? Memangnya benar apa yang dia katakan?" Kini Dipta yang mengajukan pertanyaan.
"Saya pun kurang tahu, tapi mungkin karena kami pernah pergi bersama dan Haleeza melihat bagaimana borosnya Hanum saat berbelanja. Hanum pun kerapkali merajuk saat saya melarangnya untuk membeli sesuatu, tapi setelah dibujuk dan saya turuti keinginannya, dia luluh dengan sangat mudah. Mood-nya bisa dibeli dengan materi, itu hanya sekadar asumsi saya pribadi."
"Apa sudah dibicarakan bersama? Masalah seperti ini haruslah dirundingkan untuk mencari jalan tengahnya, apalagi kalian hendak berumah tangga. Apa tidak akan jadi masalah untuk ke depannya?"
"Sudah, tapi tak membuahkan hasil. Kalau sudah menjadi tabiat kadang tidak bisa diubah dengan mudah," sahut Hamzah diakhiri helaan napas berat.
Dipta menepuk pundak Hamzah pelan, bermaksud untuk memberi dukungan serta kekuatan.
"Za dengerin Tante Zani ya," pinta Zanitha seraya menangkup wajah Haleeza lembut.
Haleeza mengangguk patuh.
"Tante Hanum pernah jahatin, Za nggak?"
Haleeza menggeleng pelan.
"Tante Hanum pernah marahin, Za nggak?"
Haleeza kembali menggeleng.
Zanitha tersenyum lembut. "Itu artinya Tante Hanum baik sama Za, sama kayak Tante Zani yang sayang banget sama Za. Paham, Sayang?"
Haleeza mengangguk.
"Tante Hanum baik, Tante Hanum cantik, Tante Hanum sayang sama Za. Itu yang harus Za ingat ya, Sayang," ujar Zanitha berusaha untuk membangun mindset positif di benak bocah kecil tersebut.
Lagi-lagi Haleeza mengangguk patuh.
Hamzah sama sekali tak berkedip melihat bagaimana cara Zanitha dalam memberi pemahaman pada keponakannya. Terlihat begitu cekatan dan juga sangat paham betul dengan apa yang dilakukannya.
Dipta pun menatap takjub pada istrinya. Hal itu ditangkap basah oleh Hamzah. Tanpa sungkan dia merangkul pundak sang sahabat. "Insyaallah, di waktu yang tepat kalian akan dikaruniai buah hati."
"Aamiin," sahut Dipta diakhiri sunggingan lebar.
-BERSAMBUNG-
Padalarang, 08 November 2023
Yakin masih mau lanjut? 😉
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top