RS | Part 52

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Saya ingin menjadi rintik yang bisa menghapus segala sendu yang pernah singgah mewarnai hatimu."

-Rintik Sendu-
by Idrianiiin

HAMNA termenung kala melihat potret dirinya di dalam cermin. Sebuah gamis rumahan menempel apik, menunjukkan baby bump yang semakin terlihat jelas. Sedikit tidak percaya diri, terlebih karena tubuhnya yang pendek terlihat bak kue bantat. Tidak mengembang sempurna, dan hanya membesar di bagian perut saja.

"Al mar'ah kal mir'ah."

Perempuan itu pun menoleh seketika, saat mendapati suara sang suami yang baru saja memasuki kamar.

"Apa?"

Hamzah terkekeh pelan. "Pepatah Arab pernah mengatakan, 'Al mar'ah kal mir'ah' yang memiliki arti perempuan itu ibarat sebuah cermin. Semula saya kurang begitu memperhatikan, tapi semenjak menikah dengan kamu saya setuju dengan pepatah tersebut."

"Kamu senang bercermin, di mana pun dan kapan pun. Pokoknya kalau mata kamu mendapati kaca, pasti langsung tertuju pada benda yang memiliki kegunaan untuk berkaca itu."

"Ya terus kenapa?"

Hamzah menggeleng lalu berjalan lebih mendekat ke arah istrinya. Dia berdiri tepat di belakang sang istri, memegang kedua pundak istrinya lalu berkata, "Bahasa Arabnya laki-laki adalah rajulun, dan bahasa Arabnya kaki adalah rijlun, berasal dari bentukan kata yang sama. Maka dari itu laki-laki identik dengan jalan, keluar, pergi, yang memang menjadi pekerjaan kaki."

"Sedangkan perempuan dalam bahasa Arab ialah mar'atun, dan bahasa Arabnya cermin adalah mir'atun, artinya perempuan identik dengan cermin. Perempuan memang tempatnya bersolek, bergaya, atau mempercantik diri. Saya menyadari betul kodrat kamu sebagai istri, jadi saya bekerja siang dan malam untuk memenuhi kodrat kewanitaan kamu. Mempercantik diri dengan tujuan untuk menyenangkan hati suami."

Hamna menoleh sekilas, lalu kembali tertuju ke arah cermin. Bayangan mereka tergambar jelas, bahkan lengkungan senyum di bibir Hamzah tak pernah sedikit pun luntur.

"Ustaz Adi Hidayat pernah berkata, saat cermin sudah pecah ia bisa direkatkan kembali, namun sulit memantulkan bayangan yang sempurna. Layaknya hati para wanita yang konon saat ia sudah pecah dan tersakiti, ia mudah untuk kembali memaafkan, tapi sulit untuk melupakan."

Hamna sedikit mengulas senyum, dia membawa tangan suaminya agar berada di atas perutnya yang kian membuncit, karena memang sudah memasuki usia lima bulan. "Perempuan juga seperti memori card, pengingat paling baik yang kapasitasnya tidak bisa diragukan lagi."

Hamzah tertawa kecil dan mengangguk setuju. "Kalau sekiranya di masa mendatang nanti saya mengukir luka, menyakiti hati kamu dengan sengaja. Tolong maafkan saya dan jangan mengungkitnya hingga menimbulkan banyak prahara."

Kening Hamna mengernyit heran. "Kenapa tiba-tiba ngomong kayak gitu?"

"Sesempurna apa pun saya berusaha untuk membahagiakan kamu, saya tidak bisa melupakan fakta kalau sewaktu-waktu saya bisa saja mengambil langkah keliru, yang mungkin akan menyakiti kamu."

"Saya juga belum bisa menjadi istri yang sempurna, bahkan untuk menjadi al mar'atus shalihah sebagaimana yang Aa pinta pun saya belum mampu."

Hamzah mengelus lembut perut sang istri. "Dengan kamu bersedia untuk mengandung buah hati saya saja sudah sangat alhamdulilah. Kamu sehat-sehat ya, dijaga baik-baik kehamilannya."

Hamna mengangguk lalu menyandarkan tubuhnya pada Hamzah. Menikmati setiap elusan yang sang suami beri. Ada kenyamanan yang enggan dia lepaskan.

"Saya ingin berterus terang sesuatu."

"Apa?"

Hamna mendongak sekilas, lalu berbisik tepat di samping telinga Hamzah. "Saya sudah kalah."

"Kalah?"

Perempuan itu pun mengangguk kecil. "Doa Aa terlalu kuat sampai dengan mudah Allah ijabah, sekarang hati saya sudah benar-benar terpaut pada satu nama. Tapi saya nggak mau jatuh cinta, maunya bangun cinta sama Aa."

Hamzah berkawan geming, dia masih mencerna dengan baik kata demi kata yang baru saja istrinya paparkan.

"Jatuh cinta itu sakit, sedangkan bangun cinta itu merakit. Saya ingin kita saling berpegangan tangan untuk membangun sebuah mahligai, di mana Aa yang berperan sebagai pondasi utama. Mau, kan?"

Direngkuhnya tubuh sang istri dengan hangat. "Tentu, apa pun akan saya usahakan untuk kamu."

Hamna memutar tubuh hingga keduanya saling berhadapan, pandangan mereka terkunci beberapa saat. "Aa tahu apa itu rintik sendu?"

Hamzah menggeleng lemah.

"Rintik itu hanya berupa titik-titik air yang membasahi bumi, ringan dan jejaknya mudah hilang. Lain hal dengan hujan, konotasinya terlalu berat dan kerapkali disertai petir yang saling menyambar."

"Sedangkan sendu, memiliki arti sedih atau pilu. Jika dua kata itu digabungkan, maka akan menghadirkan makna yang sederhana tapi cukup berkesan. Segala hal yang membuat kita sedih, kisah yang memilukan sejatinya tidak akan bertahan lama."

"Serupa dengan rintik, bisa kering dengan cepat dan berlalu seiring dengan berjalannya waktu."

"Dari banyaknya luka masa lalu, kisah kelam yang telah Aa lalui. Saya hanya ingin menjadi sebuah rintik yang bisa menghapus segala bentuk pilu."

Tanpa kata Hamzah merengkuh tubuh Hamna, dia mendaratkan kecupan beruntun tepat di puncak kepala istrinya.

"Kamu itu nggak pernah bilang suka, nggak pernah bilang cinta. Tapi sekalinya kayak gini berhasil memporak-porandakan hati saya."

Hamna tertawa dibuatnya. "Sebagaimana yang pernah Aa bilang, saya ini limited edition, dan itu juga berlaku untuk ungkapan cinta saya. Tidak bisa dengan mudah Aa dengar, ya karena stoknya yang limited. Tapi, Aa nggak usah khawatir cinta saya unlimited."

Pelukan mereka terurai, Hamzah bersimpuh supaya bisa menempelkan wajahnya tepat di atas perut Hamna. Dia mendongak sejenak. "Tadi saya merasakan sesuatu yang menendang perut saya, saat kita berpelukan."

Hamna terkikik geli. "Jagoannya Papa lagi asik main bola di dalam," cetus Hamna masih diselingi tawa.

Hamzah menatap takjub. "Ini adalah pengalaman pertama saya, masyaallah sehat-sehat ya di dalam perut Buna."

"Aamiin, siap Papa," jawab Hamna menirukan suara anak kecil.

Dari arah pintu terlihat bocah kecil yang berlari riang dan langsung naik ke atas punggung Hamzah, karena sang ayah belum beranjak dari posisinya.

"Za mau digendong Papa."

"Mau digendong ke mana Tuan Putri?" sahutnya lalu beranjak untuk berdiri.

"Ketemu adik bayi. Kata Oma adik bayinya ada dua, kan, Papa?"

"Ketemu adik bayinya nanti, Za harus sedikit bersabar lagi," ungkap Hamna menimpali.

"Adik bayinya perempuan, kan Buna?" tanyanya menyakinkan.

"Karena Za spesial, Allah kasih adik bayi sepasang. Laki-laki dan perempuan," jawab Hamna seraya tersenyum lebar.

"Horeee! Za punya dua adik bayi!" serunya riang.

Hamzah mengubah posisi, kini Haleeza dia gendong di depan. "Za happy?"

Tentu saja Haleeza langsung mengangguk semangat.

"Kiss Buna dulu kalau gitu," pinta Hamna seraya menunjuk pipi kanannya.

Dengan patuh bocah kecil itu pun menurut, dan menghadiahi banyak kecupan di wajah ibu sambungnya.

"Kamu mau cookies nggak, Na?"

Mata perempuan itu berbinar seketika. "Mau."

Hamzah tersenyum simpul lalu mendaratkan kecupan singkat di kening sang istri. "Maksud saya ku-kiss, bukan cookies."

Wajah Hamna jadi merah padam seketika. "Aa curang!"

Tanpa dosa Hamzah dan Haleeza malah tertawa puas.

-SELESAI-

Padalarang, 14 Desember 2023

Alhamdulillah, akhirnya berada di penghujung juga. Terima kasih untuk teman-teman yang sudah singgah dan membaca kisah Hamna & Hamzah.

Aku mau rehat dulu beberapa hari, sebelum menggarap cerita ini 👇

Sampai ketemu lagi di lapak baru. 😉

Silakan drop pesan/kesan setelah membaca Rintik Sendu di sini. 👉 ☺️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top