RS | Part 51

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Sering-seringlah berkawan dengan kata sabar, sebab dengan demikian hati akan merasa jauh lebih lapang."

-Rintik Sendu-
by Idrianiiin

HAMZAH mengerjapkan mata saat dia merasakan ada tangan usil yang tengah menoel-noel wajahnya. Melirik ke samping, langsung disambut senyum polos sang istri.

"Ada apa, hm?"

"Mau sate padang," jawabnya disertai cengiran.

Hamzah melirik arloji yang sudah menunjukkan pukul 11 malam. Memangnya di tengah malam seperti ini masih ada yang jualan sate padang? Kurang lebih seperti itulah yang ada di dalam benaknya.

"Saya cari dulu ya," katanya seraya bangkit. Dia merenggangkan otot-ototnya terlebih dahulu sebelum beranjak menuruni ranjang.

"Mau yang lain?" imbuhnya saat melihat mimik wajah sang istri yang sedikit janggal.

Hamna menggeleng kecil. "Mau sate padang, tapi yang jualannya harus mamang berkumis."

Seketika itu juga Hamzah membulatkan mata tak percaya. "Na kamu jangan ngerjain saya dong. Kalau untuk nyari sate padang, mungkin masih bisa tapi masa iya saya harus pilih-pilih penjual sih. Mana harus ada kumisnya lagi, yang benar saja atuh. Tukang sate padang itu jarang ada yang berkumis, Hamna."

"Saya nggak mau tahu, maunya emang kayak gitu kok. Ya sudah kalau emang Aa keberatan, nggak usah!"

Hamzah menghela napas singkat. "Kok jadi kamu yang ngambek sih, Na?"

"Ya Aa pikir saja sendiri, ini juga bukan kemauan saya kok, tapi kemauan anak Aa."

"Iya, iya, saya carikan ya, Na."

"Saya mau ikut, mau makan di sana supaya Aa nggak ngibulin saya."

"Sudah malam atuh, Na. Angin malam nggak baik untuk ibu hamil."

"Saya punya jaket."

"Oke," putusnya tak ingin memperpanjang perdebatan.

Wajah sumringah Hamna, sedikit bisa mengobati kedongkolan yang sempat menghinggapi Hamzah. Meskipun rasa kantuk masih dirasakan, tapi dia akan berusaha untuk memenuhi apa pun yang istrinya mau dan butuhkan.

Mereka berkeliling, mencari restoran atau penjual kaki lima yang sekiranya masih menjajakan dagangan. Sepanjang jalan, diisi dengan celotehan-celotehan Hamna, yang cukup bisa membuat Hamzah tertawa.

"Saya punya tebak-tebakan, Aa jawab ya," katanya.

Hamzah mengangguk singkat dengan pandangan fokus ke depan, sebab dirinya tengah mengemudikan mobil.

"Kenapa matahari tenggelam?"

Hamzah berpikir sejenak lalu akhirnya berujar, "Karena nggak punya pelampung, lha."

Hamna tertawa pelan. "Salah."

"Lalu?"

"Karena matahari nggak bisa berenang," sahutnya diakhiri tawa kencang.

"Garing ah, lucuan jawaban saya yang tadi. Sekarang kamu coba jawab ya."

"Siap."

"Kuda, kuda apa yang bikin senang?"

"Nggak tahu saya."

Hamzah melirik sekilas ke arah istrinya lalu berucap, "Kudapatkan istri sepertimu."

Bukannya tersipu, perempuan itu malah menaikkan satu alisnya. "Krik banget sih gombalan berkedok teka-tekinya."

Hamzah tertawa kecil. "Namanya juga usaha."

"Stop, A, stop di depan," pinta Hamna tiba-tiba.

Refleks Hamzah pun menginjak pedal rem. "Apa sih, Na ngagetin saja. Kenapa?"

Hamna menunjuk ke arah depan. "Mau mangga itu dong, A."

"Itu punya orang, Hamna."

"Nggak papa, nyolong satu atau dua biji doang mah."

Detik itu juga Hamzah mendelik dan menggeleng keras. "Berdosa saya kalau menuruti permintaan kamu, saya juga akan dimintai pertanggungjawabannya terkait apa yang kamu dan calon anak saya konsumsi. Saya tidak ingin ada sesuatu yang haram masuk ke dalam perut kalian."

"Ini saya lagi ngidam atuh, ditolerir kok."

"Nggak ada ya, Na. Mana ini sudah tengah malam, kamu minta saya untuk nyolong. Yang betul atuh kalau minta sesuatu, ini sate padang saja belum ketemu. Ehh, kamu malah sudah minta yang lain lagi."

"Tuh, kan Aa mah gitu. Padahal saya cuma minta mangga mengkel matang pohon, masa gitu saja langsung ditolak. Jahat!"

"Masalahnya kamu nyuruh saya mencuri milik orang lain. Ya jelas saya nggak mau, lha."

"Berarti Aa lebih milih anak Aa ileran kalau gitu. Dasar nyebelin. Punya suami ng---"

"Kita beli kalau memang kamu mau," potong Hamzah cepat.

"Maunya yang matang pohon, Aa yang naik sendiri."

Hamzah menghela napas frustrasi. "Ini kamu emang ngidam atau ngerjain saya sih, Na? Perasaan mintanya aneh-aneh terus."

"Salah sendiri ngehamilin saya. Itu namanya risiko!"

"Tapi nggak sampai sebegininya juga kali, Na."

"Kok ngajak ribut terus sih. Kapan ambil mangganya coba? Buruan atuh, Aa. Saya sudah kadung ngiler ini."

Lagi-lagi Hamzah menggeleng. "Nggak mau, pohon mangga itu punya orang lain."

"Nggak papa, satu atau dua biji doang juga. Lagian yang punya juga nggak akan ngeh."

"Yang punya emang nggak tahu, tapi Allah Maha Mengetahui, Hamna."

Sang istri mencebik kesal, lalu mengelus perutnya sembari berujar, "Papa kamu nyebelin banget, kan. Makanya nanti kalau kamu lahir, jangan ngikutin jejak papa kamu ya. Nyebelin parah, sudah akut menahun!"

"Buna kamu justru yang nyebelin. Masa Papa disuruh nyolong mangga orang, mana tengah malam lagi. Dosa itu, nggak boleh. Kamu jangan mau dikambinghitamkan sama Buna ya, pasti sekarang juga bukan kamu, kan yang mau mangga? Itu pasti hanya akal-akalan, Buna kamu saja."

Hamna mendengus kasar. "Apaan sih, kok malah nyaut. Perasaan nggak saya ajak ngomong juga!"

"Ya suka-suka saya, lha."

"Tuh, kan nyebelin!"

"Ini jadinya gimana? Mau sate padang atau mangga?"

"Dua-duanya atuh, pokoknya saya nggak mau tahu sekarang Aa turun dari mobil dan manjat pohon itu. Mangganya harus yang mengkel, matang, dan manis. Awas kalau sampai salah!"

"Saya bukan penjual buah, mana saya tahu mangga yang manis dan nggak. Kamu ini ada-ada saja, Na."

"Ya harus tahu!"

"Kalau sampai saya ditangkap hansip gimana? Memangnya kamu tega melihat suami kamu babak belur di amuk masa?"

"Nggak usah lebay deh, A. Orang sepi juga, nggak ada orang. Buruan ih, saya tunggu di sini."

Sebelum turun dari mobil, dia mengambil notes serta menuliskan sesuatu di kertas kecil tersebut.

Bapak/Ibu maaf saya hendak mencuri mangga untuk memenuhi ngidam istri saya. Mungkin hanya satu atau dua biji saja yang akan saya ambil. Saya harap Bapak/Ibu rida, dan ini ada uang sebagai bentuk kompensasi. Sekali lagi, maaf dan terima kasih.

Setelahnya dia melipat uang beserta kertas tersebut jadi satu, mengambil karet gelang, lalu turun dan mencari batu sebagai pemberat agar bisa dia letakkan di depan pintu rumah pemilik pohon mangga tersebut.

"Kalau bukan karena kamu lagi hamil, saya nggak akan mungkin mau melakukan hal-hal konyol semacam ini, Na. Manjat pohon mangga tengah malam, sudah seperti maling betulan saja saya ini," gerutunya lalu mulai memanjat pohon.

Setelah sampai di atas, dia terdiam cukup lama karena kebingungan harus mencari mangga mengkel matang pohon yang manis sesuai permintaan sang istri. Seumur-umur baru kali ini dirinya melakukan hal yang sangat tidak patut untuk ditiru tersebut.

Matanya berkeliaran untuk menerka-nerka. "Semoga pilihan saya nggak salah. Habis saya kalau sampai gagal dan ngasih yang nggak sesuai."

Saat sudah mendapatkannya, dia bergegas turun dan berlari tunggang langgang untuk memasuki mobil.

"Sudah ya, Na, awas kalau minta yang aneh-aneh lagi," tutur Hamzah seraya menyerahkan dua buah mangga yang masih memiliki tangkai.

Hamna tersenyum lebar dan langsung mengambil alihnya. "Hatur nuhun Aa."

"Ya."

"Jangan judes-judes atuh jawabnya."

"Iyaaa."

"Nah gitu atuh, boleh minta tolong?"

"Apa?"

"Kupasin mangganya dong."

Hamzah menggeleng beberapa kali. "Di sini nggak ada pisau, Hamna."

"Pakai apa saja terserah, Aa, yang penting sekarang saya bisa makan mangganya."

"Di rumah juga, kan bisa."

"Maunya di sini, sekarang!"

-BERSAMBUNG-

Padalarang, 13 Desember 2023

Update tengah malam, masih ada yang melek, kan? Hehe, maaf ya baru sempat up sekarang nih.

Kalau ada typo tolong diingatkan ya.

Mau digasskeun?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top