RS | Part 46
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Dewasa itu kala kita mampu menempatkan diri dengan baik, dan tahu cara menghormati orang yang lebih tua."
—Rintik Sendu—
by Idrianiiin
TERDENGAR suara ketukan pintu, dengan langkah malas Hamzah menghampirinya. Dia tersenyum samar saat melihat Haleeza yang tengah membawa sebuah piring.
"Buat Buna dari Oma," katanya lalu menyerahkan piring berisi martabak telur tersebut.
"Omanya mana? Kok malah Za yang kasih."
Haleeza menunjuk ke arah dapur. "Oma masih masak Papa."
Hamzah pun mengangguk. "Za mau masuk?"
Bocah kecil itu menggeleng. "Malam ini Za mau tidur sama Opa."
Hamzah terkekeh lalu mengelus puncak kepala Haleeza. "Bilangin sama Oma, makasih dari Buna ya."
Haleeza mengangguk patuh lalu berlari riang menuju dapur.
"Na, jangan ngambek lagi ya. Ini martabak telur pesanan kamu sudah ada," ujar Hamzah seraya membuka selimut yang menutupi seluruh tubuh istrinya.
"Makan saja sendiri!"
"Ini Mama buat sendiri lho, khusus buat kamu. Masa nggak dimakan sih," katanya lagi.
Hamna berdecak kasar. "Bapak makan sendiri juga, kan bisa!"
Hamzah tersenyum tipis. "Mama itu sayang dan perhatian lho sama kamu, tapi emang gengsi dan nggak mau menunjukkan langsung di depan kamu. Ini saja Haleeza yang kasih, padahal Mama, kan bisa kasih langsung ke kamu."
"Paling juga takut cucunya ileran, nggak mau nanggung malu di masa depan."
Hamzah menggeleng tak suka. "Jangan buruk sangka terus dong, Na sama Mama."
"Tahu ah Bapak nyebelin!"
"Cobain dulu, martabak telurnya nggak pakai daun bawang. Mama tahu, kamu nggak suka, makanya nggak dipakein."
"Martabak telur tanpa daun bawang mana enak!"
Hamzah menyuapkan martabaknya pada Hamna, meskipun sempat menolak tapi akhirnya diterima juga oleh sang istri.
"Gimana? Enak, kan?"
"Katanya nggak pake daun bawang, itu yang hijau-hijau apa coba?" protesnya.
"Itu sayuran hijau, Na, nggak tahu apa namanya. Kamu itu setipe sama Hanin, bedanya kalau Hanin cuma nggak suka daun bawang, kamu kan semua jenis bawang nggak suka kecuali yang ada di martabak. Jadi, Mama suka ngakalin pake sayuran hijau kalau Hanin lagi mau martabak, karena anak itu antipati banget sama daun bawang."
"Enak, kan?" ulangnya lagi.
Hamna mengangguk. "Enak, rasanya lain dari yang lain. Unik juga, saya baru pertama kali nyoba martabak dengan citarasa kayak gini."
"Kalau kamu suka habiskan ya," sahut Hamzah bernapas lega.
"Mau sama nasi hangat boleh?" tanyanya seraya menampilkan cengiran.
"Sebentar saya ambil dulu," sahut Hamzah lantas berlalu pergi.
Hamna menunggu dengan riang. Mood-nya kembali membaik, sepertinya dia harus mengucapkan terima kasih pada sang mertua.
"Itu bawa apa?" tanya Hamna saat melihat Hamzah membawa nampan.
"Nasi putih hangat pesanan kamu, puding dengan vla vanilla sebagai pencuci mulut, sama jahe hangat supaya nggak mual kata Mama."
Hamna tersenyum lebar. "Kok Mama tahu saya suka vanilla?"
Hamzah mengedikkan bahunya. "Kayaknya dari Haleeza. Tadi pas saya ke dapur untuk ngambil nasi, tanpa diminta Mama langsung menyiapkan ini semua. Kata Mama, maaf, Mama nggak ada maksud buruk tadi ngelarang kamu. Beliau hanya khawatir. Maklum, Na, orang tua dulu, kan banyak pantangan apalagi untuk wanita hamil. Dimaklum ya?"
Hamna sedikit menunduk. "Saya jadi nggak enak sama Mama, sudah buruk sangka tadi. Mana ketus lagi, Ayah juga jadi ikut kena."
"Nggak papa, Ayah sama Mama ngerti kok. Orang hamil emang mood-nya suka naik turun, tapi besok kamu minta maaf ya, Na."
Hamna mengangguk patuh. "Iya."
Hamna hendak turun untuk mencuci tangan, tapi Hamzah larang.
"Apa?"
"Saya sudah cuci tangan tadi."
Kening Hamna terlipat. "Ya terus?"
Tanpa menjawab Hamzah langsung menyuapi Hamna. Perempuan itu menerimanya tanpa banyak protes. Lumayan dia tidak perlu repot-repot usaha, nasi beserta lauknya sudah mendarat mulus ke dalam mulut.
Saat Hamzah menyodorkan suapannya pada Hamna, dia menolak dan malah menuntunnya untuk masuk ke dalam mulut Hamzah sendiri.
"Aa harus cobain makan pakai nasi hangat itu gimana rasanya. Jauh lebih enak, kan?"
Hamzah menahan senyumnya mendengar hal tersebut. "Akan lebih enak kalau disuapi sama tangan kamu sendiri, Na."
Hamna berdecak. "Kalau itu modus namanya."
"Modus sama istri nggak dosa kok, Na."
"Tangan saya habis ngupil, Pak. Nggak jijik emangnya?" katanya lalu tergelak.
"Kamu ini."
Hamzah kembali menyuapi Hamna hingga nasi di piring mereka tandas tak tersisa, bahkan martabak telur home mad buatan Anggi pun sudah kosong.
"Pudingnya enak?" tanya Hamzah saat istrinya sudah beralih untuk menikmati hidangan pencuci mulut.
"Enak, cobain deh," katanya seraya menyodorkan pada Hamzah.
"Tangan saya bersih, bercanda doang tadi, nggak dipake ngupil. Serius!" lanjutnya saat Hamzah enggan menerima suapannya.
"Saya kurang suka makanan manis, Na, itu pasti kadar gulanya tinggi. Kamu habiskan sendiri saja ya."
"Bapak nggak suka yang manis-manis?"
Hamzah mengangguk.
"Tapi Bapak kok suka sama saya. Saya ini, kan muanisss pooll!"
Hamzah tergelak. "Kata siapa kamu manis?"
"Ya kata saya, lha."
"Saya nggak setuju, kamu itu bukan manis tapi sinis."
Dengan kesal Hamna mencubit pinggang suaminya. "Kirain bakal bilang saya cantik. Di luar prediksi BMKG emang!"
"Ngarep banget saya bilang cantik, hm?"
"Nggak!" sangkalnya.
Hamzah hanya geleng-geleng kepala.
"Mau jahe hangatnya dong," sambung Hamna.
Hamzah langsung menyerahkannya.
"Pas ini, dari yang berminyak, dilanjut ke yang manis, terus ditutup sama yang hangat-hangat. Kalau setiap hari saya di-treatment seperti ini sih, betah saya tinggal lama-lama di sini juga."
"Kamu pernah dengar nggak istilah jauh itu wangi, dekat itu bau?"
Hamna mengangguk. "Iya tahu, kalau kata Ibu yang jauh itu seungit, tapi kalau sudah dekat baru kecium bau. Kayak hubungan mertua sama menantu. Makannya Ibu suka berpesan kalau bisa tinggal terpisah dari orang tua masing-masing kala sudah menikah."
"Nah itu maksud saya."
"Lagi pula saya bercanda atuh, A. Nggak mau juga tinggal lama-lama di rumah mertua, karena kita juga, kan sudah ada rumah."
Hamzah mengacungkan dua jempolnya.
"Habis makan jangan dulu tiduran, nggak boleh!" larangnya sebelum beranjak untuk menyimpan bekas makan mereka.
"Nggak langsung tidur, rebahan doang."
"Sama saja atuh, Na. Kamu ini ihhh."
Hamna ikut turun dari ranjang, lalu mendorong punggung Hamzah. "Ya sudah ayo kalau gitu kita cuci piring."
"Nggak usah dorong-dorongan, jalan samping saya coba," titahnya.
Hamna menurut tanpa kata.
"Kok Mama belum tidur?" tanya Hamzah saat mendapati ibunya tengah duduk santai di dapur.
Anggi mengambil alih nampan yang putranya pegang. "Nungguin ini, mau Mama cuci sekalian supaya nggak numpuk."
"Saya saja yang mencucinya, Ma," tutur Hamna menawarkan diri.
"Lebih baik kamu istirahat, nggak baik ibu hamil begadang. Sudah kalian istirahat sana," titahnya tegas.
Sebelum kembali ke kamar, Hamna berujar, "Makasih ya, Ma untuk makanannya. Maaf juga tadi saya sempat buruk sangka dan kurang sopan."
Anggi mengangguk sebagai jawaban.
Hamzah merangkul bahu Hamna menuju kamar. "Saya bangga punya istri yang nggak gengsi untuk mengatakan maaf dan terima kasih."
Hamna mendongak seraya tersenyum lebar. "Karena saya tahu, kalau saya salah."
Hamzah mengacak gemas puncak kepala Hamna. "Pintarnya istri saya."
"Saya tahu itu!"
—BERSAMBUNG—
Padalarang, 7 Desember 2023
Mama Anggi sudah jadi mertua idaman belum nih? 🤣😌
Gaskennn?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top