RS | Part 43
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Memahami perempuan itu lebih sulit dari rumus matematika ataupun fisika. Sebab, tidak bisa hanya dihitung dan dikira-kira."
-Rintik Sendu-
by Idrianiiin
SEPULANGNYA dari klinik Hamzah langsung membawa Hamna untuk mampir ke sebuah pusat perbelanjaan. Sebelumnya, mereka sejenak singgah ke rumah orang tua Hamzah untuk menitipkan Haleeza terlebih dahulu.
"Mau apa ke sini? Saya mau pulang."
Hamzah tersenyum samar. "Beli sesuatu yang pasti akan sangat kamu butuhkan."
"Apa?"
Belum sempat menjawab, Hamna sudah lebih tahu karena saat ini mereka berada tepat di depan pintu toko yang menjual berbagai jenis pakaian dalam wanita.
"Saya bisa membelinya sendiri."
"Mari saya temani, beli sesuai dengan jumlah yang kamu butuhkan."
Hamna rasa sekarang wajahnya sudah seperti kepiting rebus, karena saking malunya. Meskipun mereka suami istri, tapi tidak mesti belanja bersama untuk keperluan seperti ini juga, kan?
"Yuk masuk," ajaknya lalu menggandeng tangan Hamna.
"Saya biasa beli online, Pak. Malu kalau harus beli ginian ke toko," cicit Hamna seraya menggeleng tegas.
"Beli online itu perlu waktu, apalagi nggak bisa kamu coba dulu. Tadi, kan dokter bilang harus pakai br---"
Hamna langsung membekap mulut Hamzah dengan tangannya. "Jangan diterusin, Pak, malu saya dengernya. Aib itu aib!"
"Kenapa harus malu? Ini, kan merupakan kebutuhan. Tuh, kamu lihat orang-orang juga biasa saja belanja di sini. Sudah, Na, lebih baik sekarang kamu pilih mau beli yang mana saja."
Hamna menurut tanpa kata, dia berusaha untuk menebalkan wajah. Toh, tidak ada orang yang dia kenal juga, tapi dia tidak bisa melakukan hal tersebut saat menyadari kalau Hamzah mengintil di belakangnya.
"Bapak tunggu saja di luar, saya bisa sendiri."
Hamzah menggeleng tegas. "Saya temani, supaya kamu nggak merasa malu lagi."
Ingin rasanya Hamna berteriak, 'Justru Bapak yang buat saya malu!'
"Pak, jangan bilang itu daster buat saya? Tolonglah saya bukan ibu-ibu, jangan kasih saya pakaian seperti itu," protes Hamna saat melihat Hamzah memasukan beberapa potong daster ke dalam kantung belanjaan mereka.
"Hanin pernah bilang sama saya, kalau pada saat hamil itu lebih enak pakai daster. Jangan pakai celana terus, karena bisa membuat perut kamu tertekan nggak nyaman."
"Saya bukan Hanin!"
"Saya tahu, tapi kamu pasti akan membutuhkannya sewaktu-waktu. Terlebih saat kehamilan kamu sudah membesar."
Hamna menggeram, menahan rasa jengkel yang hanya sampai di kerongkongan.
"Nggak ada ya, Pak. Jangan beli itu!" peringat Hamna dengan pelototan tajam.
"Ini hanya gaun tidur, Hamna. Piyama kamu, kan semuanya potongan, atasan sama celana. Saya hanya ingin membuat kamu nyaman dalam berpakaian kala berada di rumah. Apa itu salah?"
"Terserah. Bapak saja sana yang belanja!"
Hamzah mengangguk singkat, dan membiarkan Hamna untuk duduk di pojok toko. Setelah selesai mereka pun keluar, dengan Hamzah menenteng beberapa paper bag milik Hamna.
"Mau mampir beli pakaian untuk ke kampus, Na?" tanyanya.
"Nggak!"
"Yakin?"
Hamna memutar bola mata jengah, lalu meninggalkan Hamzah begitu saja menuju parkiran. Mood-nya kian berantakan, tapi sang suami malah tidak peka dan justru berbahagia di atas penderitaannya.
"Masih mau beli tahu sumedang?" seloroh Hamzah saat mereka sudah berada di dalam mobil.
Hamna meliriknya sinis. "Katanya jauh, di sini juga banyak yang jual!"
"Kalau masih mau kita bisa berangkat sekarang."
"Ini termasuk dalam kategori suap-menyuap nggak?!"
Hamzah menggeleng pelan. "Nggak atuh, Na. Jadi berangkat?"
"Selera makan saya mendadak hilang!"
Hamzah hanya manggut-manggut lalu menjalankan mobilnya hingga keluar parkiran.
"Hari ini Haleeza nginep di rumah Mama dulu, besok pagi baru pulang dianterin Ayah."
"Hm."
"Kamu mau jalan-jalan dulu nggak? Mumpung kita lagi berdua."
"Nggak!"
"Sekarang mau makan siang di mana? Sama apa?"
"Terserah!"
"Mau makan nasi padang? Kamu, kan suka banget sama rendang dan gulai tunjang."
"Ya!"
Hamzah akhirnya bisa bernapas lega karena satu kata yang terdiri dari dua huruf itu keluar juga dari bibir istrinya.
"Mau es krim durian," katanya seraya menunjuk pedagang yang berjejer rapi di pinggir jalan.
"Lagi hamil muda, Na, nggak boleh makan durian. Yang lain, pasti akan saya belikan."
"Maunya es krim durian," rengeknya hampir mirip dengan Haleeza.
Hamzah menepikan mobilnya sejenak dan memutar tubuh untuk menghadap Hamna. "Kalau kamu memang marah sama saya, nggak suka sama saya, dan benci sama saya. Jangan lampiaskan rasa kesal kamu pada janin yang nggak berdosa. Saya nggak mau kalian kenapa-kenapa. Mau, kan kali ini saja nurut sama saya?"
"Sedikit saja masa nggak boleh sih?!"
Hamzah menghela napas singkat. "Saya tanya dokter kandungan kamu dulu ya."
"Saya hanya perlu izin dari Bapak selaku suami saya, kenapa malah jadi izin ke dokter segala!"
"Saya ini orang awam, jadi harus tanya profesional. Karena saat dulu Hanin hamil Mama melarang adik saya untuk mengonsumsi durian, nanas, nang---"
"Cukup. Kenapa kalau soal kehamilan Bapak selalu bawa-bawa Hanin?!"
"Oke, kamu boleh makan es krim durian tapi sedikit ya. Nggak boleh berlebihan."
"Dari tadi kek, Pak!" katanya lalu keluar dari mobil begitu saja.
Saat hendak menyusul Hamna, deringan gawai menahan langkah Hamzah.
dr. Sartika, Sp.OG
Diizinkan saja jika memang Ibu Hamna sangat ingin mengonsumsinya, tapi tolong dijaga jangan sampai mengonsumsi durian secara berlebihan ya, Pak. Karena jika ibu hamil terlalu banyak makan durian, dapat muncul efek samping yang bisa merugikan ibu maupun janin. Tingginya kadar gula di dalam buah durian dapat menyebabkan peningkatan gula darah yang tajam, sehingga ibu rentan mengalami diabetes gestasional dan melahirkan bayi yang berukuran besar.
Sebelum beranjak, dia menyempatkan waktu untuk membalas pesan tersebut terlebih dahulu, lantas mencari keberadaan Hamna.
Matanya berkeliaran kesana-kemari, sampai akhirnya dia menemukan perempuan yang tengah asik menikmati secangkir es krim durian.
"Jangan banyak-banyak," cegah Hamzah lalu mengambil alihnya.
"Baru saya makan setengahnya juga, Pak. Mubazir tahu!"
"Saya bisa menghabiskannya."
Hamna bangkit dari duduknya, dan meninggalkan Hamzah begitu saja. "Dasar bapak-bapak tua nyebelin!"
Dia membanting kasar pintu mobil, lalu menurunkan kursi dan memejamkan matanya supaya tidak bisa melihat Hamzah.
"Jangan merajuk gitu, lha, Na. Kayak Haleeza saja kamu ini, lagi pula saya melarang pun demi kebaikan kalian."
"Lebay. Berlebihan!"
Helaan napas berat dia keluarkan. "Terserah kamu mau memandang saya seperti apa. Saya hanya sedang berusaha untuk menjadi suami dan juga ayah yang baik."
"Saya lagi ngidam. Bapak nggak peka banget! Kalau anak saya ileran gimana?"
"Kamu doyan, bukan ngidam. Kalau ngidam satu atau dua suap juga cukup. Itu satu cangkir es krim durian, hampir kamu habiskan, lho, Na."
"Ya suka-suka saya, lha, Pak. Kenapa jadi Bapak yang protes!"
"Lain kali kalau ngidam yang menyehatkan ya, Na, jangan yang membahayakan," pinta Hamzah lembut.
Hamna menatap sengit suaminya. "Emangnya ngidam bisa nawar-nawar apa?!"
Hamzah mengelus dada sabar. "Iya, maaf."
"Saya nggak butuh maaf, Bapak. Kembalikan es krim durian saya!"
"Nanti kita beli kalau kamu sudah melahirkan dan juga sudah berhenti menyusui."
Hamna membulatkan mata tak percaya. "Bapak gila. Masih lama itu!"
-BERSAMBUNG-
Padalarang, 05 Desember 2023
Hamzah lagi cosplay jadi suami siaga dulu ya teman-teman. 🤣✌️
Karena aku baik hati dan tidak sombong, jadi aku tripel up untuk kalian 😉😂🤭
Gaskennn nggak nih?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top