RS | Part 42
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Dikaruniai buah hati merupakan suatu rezeki, karena tidak semua pasangan diberi kesempatan tersebut."
-Rintik Sendu-
by Idrianiiin
SEPASANG suami istri itu saling memandang melihat hasil testpack yang tengah Hamna pegang. Tak ada kata apa pun, keduanya sama-sama bungkam.
Sampai akhirnya lengkingan suara Hamna membuat Hamzah refleks menutup kedua telinga.
"Aakkh! Bapak kurang ajar sama saya!"
"Cukup, Na, jangan drama. Ini masih pagi," ucap Hamzah memohon.
"Ini hasilnya garis dua ihhhh!"
"Nggak papa, alhamdulilah saya pasti tanggung jawab. Ke dokter sekarang ya."
Hamna bersidekap dada. "Pening saya belum hilang karena lihat hasilnya, eh Bapak malah ajak saya ke dokter. Gimana sih!"
"Ya, kan kita harus pastikan kehamilan kamu. Sudah masuk berapa minggu, di USG supaya tahu perkembangan janinnya."
"Nggak usah pegang-pegang, sana jauh-jauh!" titahnya saat Hamzah hendak menarik tangan Hamna untuk keluar kamar mandi.
"Ke dokter ya, Na," pintanya lagi.
Hamna melirik sebal ke arah suaminya.
"Kamu jangan menyudutkan saya, seolah saya yang paling salah. Kamu, jangan pura-pura amnesia ya, Na."
Hamna menghentakkan kakinya kesal. "Bapak yang salah!"
Hamzah meringis kecil. "Na jangan pecicilan dong, kamu lagi hamil muda itu."
Hamna justru hanya menganggapnya angin lalu, dan tak memedulikan perkataan sang suami.
"Kita ke klinik sekarang," putus Hamzah tegas seraya menarik tangan istrinya.
Hamna mendelik tajam, dan berusaha untuk berpegangan pada apa pun agar Hamzah tidak mudah untuk menyeretnya.
Helaan napas berat dia keluarkan. "Karena kamu nggak mau jalan, terpaksa kamu saya gendong!" katanya tanpa izin langsung membopong Hamna di depan.
Tanpa dosa Hamna menggigit bahu Hamzah kasar, hingga lelaki itu meringis pelan.
"Jangan paksa saya!"
"Ini demi kebaikan kamu dan juga calon anak saya. Saya tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada kalian!" tukasnya saat menurunkan Hamna di kursi samping kemudi serta tak lupa memakaikan sabuk pengaman.
Setelahnya Hamzah berlari ke dalam rumah untuk membawa serta Haleeza, beruntung dia masih ingat kalau putri kecilnya sedang asik bermain di dalam kamar.
"Kita mau ke mana, Papa?" tanyanya saat Hamzah membukakan pintu belakang mobil.
"Nanti juga, Za tahu. Duduk yang manis di sana ya," katanya lalu berlari kecil untuk segera duduk di balik kemudi.
Hamna sama sekali tak memiliki selera untuk melihat ke arah Hamzah, dia lebih memilih untuk melihat jalanan yang terpampang dari samping jendela.
Saat merasakan elusan lembut di puncak kepala, dia sontak menoleh dan menatap penuh permusuhan pada suaminya.
"Saya bilang jangan pegang-pegang, ya jangan pegang-pegang!"
"Sudah sampai, Na, turun yuk," katanya membujuk.
Tanpa kata Hamna pun turun dari mobil dan membanting kasar pintunya. Hamzah hanya meringis seraya mengelus dada sabar.
"Papa buat salah sama Buna?" tanya Haleeza setelah mereka turun.
Hamna berusaha untuk menampilkan senyum, lalu menggeleng pelan.
Mereka duduk di ruang tunggu, setelah sebelumnya Hamzah daftar dan mengambil nomor antrean.
"Buna sakit apa?" tanya Haleeza polos.
"Buna nggak kenapa-kenapa, Za," sahut Hamna hendak mendudukkan Haleeza di atas pangkuannya. Tapi tanpa persetujuan langsung diambil alih oleh Hamzah.
"Apaan sih?!"
"Jangan angkat yang berat-berat dong, Na. Dijaga baik-baik keha---"
"Ngomong kayak gitu lagi, saya benar-benar akan menghabisi Bapak!" potong Hamna cepat.
"Memangnya ada yang salah dari perkataan saya?"
"Semua perkataan dan perbuatan Bapak itu salah!"
Setelahnya keheningan menyelimuti, Hamzah tak ingin memancing keributan di tempat umum, apalagi saat melihat muka masam Hamna. Dia hanya bisa menelan ludah susah payah.
Habis pasti nanti saat mereka pulang ke rumah. Entah akan apalagi yang istrinya perbuat.
"Ibu Hamna," panggilnya meminta Hamna untuk masuk ke ruang pemeriksaan.
Hamzah mengintil seraya menggendong Haleeza, dia duduk di kursi yang tersedia selagi Hamna melakukan pemeriksaan.
Saat sudah selesai, Hamzah diminta untuk duduk di samping Hamna yang lebih memilih untuk diam serta menunduk.
"Jadi bagaimana, Dok hasilnya?"
"Selamat ya, Pak, istrinya memang positif hamil dan berdasarkan hasil USG yang tadi kami lakukan. Alhamdulillah sekarang kandungannya sudah memasuki usia 6 minggu."
"Alhamdulillah," sahut Hamzah penuh rasa syukur dengan wajah yang berseri-seri, sangat berbeda dengan Hamna.
"Dijaga baik-baik ya, Pak, Bu, di trimester pertama kehamilan harus lebih extra dijaga."
"Baik, Dokter, baik."
"Apa Ibu ada keluhan? Morning sickness misalnya?"
Hamna mendongak lalu menggeleng. "Itu yang buat saya bingung. Kalau saya nggak ngeh sudah telat haid pasti saya nggak akan ngira kalau sekarang saya sedang hamil. Karena saya itu nggak mual dan muntah-muntah sebagaimana ibu hamil pada umumnya."
"Biasanya, morning sickness akan mulai muncul pada usia 6 minggu atau bulan kedua kehamilan. Tapi, kondisi ini tentunya berbeda pada setiap ibu hamil. Pada sebagian besar wanita, morning sickness akan hilang setelah usia 12 minggu kehamilan atau setelah trimester pertama berakhir."
Hamna melirik Hamzah sekilas sebelum melayangkan pertanyaan. "Payudara saya terasa nyeri dan sedikit sensitif. Seperti tanda-tanda mau datang bulan, apa itu wajar?"
Dokter itu pun tersenyum. "Perubahan hormon pada trimester pertama kehamilan membuat aliran darah meningkat dan mengubah jaringan pada payudara. Dampaknya, payudara Ibu jadi terasa lebih nyeri, geli, bengkak, dan sensitif ketika disentuh."
"Kira-kira berapa lama ya, Dok?"
"Kondisi ini biasanya terjadi saat usia kehamilan sekitar 4-6 minggu dan bisa bertahan selama trimester pertama kehamilan. Tak hanya itu, sekitar 6-8 minggu pertama kehamilan, payudara juga akan terlihat membesar."
Spontan Hamna pun langsung melihat ke arah payudaranya yang memang sudah mengalami sedikit perubahan. Rasanya sangat malu sekali, terlebih saat tak sengaja melihat ke arah Hamzah yang justru pura-pura polos, tak mendengar apa-apa.
Tanpa diminta dokter langsung menjelaskan, seolah tahu apa yang tengah ada di dalam pikiran pasiennya. "Perubahan pada payudara ibu hamil memang kerapkali menimbulkan rasa tidak nyaman. Untuk mengatasi hal tersebut, sebaiknya Ibu tidak lagi memakai bra yang biasa dikenakan sehari-hari dan menggantinya dengan bra yang tepat seiring bertambah besarnya ukuran payudara. Pastikan jangan pakai bra yang ketat ya, Bu, harus yang longgar supaya Ibu lebih nyaman."
"Apa ada yang ingin ditanyakan lagi, Pak, Bu?"
Hamna menggeleng, begitu pun dengan Hamzah.
"Baik ini tolong ditebus resepnya, Ibu juga harus konsumsi susu ibu hamil untuk menunjang tumbuh kembang janin."
"Terima kasih, Dok," sahut Hamzah lalu mereka pun pamit keluar.
"Za temani Buna dulu ya, Papa mau tebus resep obat sama vitaminnya Buna," cetus Hamzah.
"Iya, Papa."
Sepeninggalnya Hamzah, Hamna hanya termenung melihat ke arah perutnya. Masih tidak menyangka sebentar lagi dia akan benar-benar menyandang status sebagai seorang ibu, bukan hanya sekadar ibu sambung bagi Haleeza.
"Buna kenapa?" tanya Haleeza merasa diacuhkan.
"Apa, Sayang?"
Haleeza menggeleng pelan. "Buna nggak kenapa-kenapa, kan?"
Hamna tersenyum lebar. "Buna baik-baik saja, Za."
"Terus kenapa harus diperiksa dokter?"
Hamna membawa tangan Haleeza pada perutnya. "Za mau adik bayi, kan?"
Haleeza mengangguk seraya mengerjap lucu.
"Sekarang di perut Buna ada adik bayi."
-BERSAMBUNG-
Padalarang, 05 Desember 2023
Mau Triple Update? Mangga diramaikan lagi kolom komentarnya 😂✌️
Gaskennn nggak nih?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top