RS | Part 40
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Namanya juga isi kepala manusia, tidak ada yang tahu betul apa yang ada di dalamnya."
-Rintik Sendu-
by Idrianiiin
HAMNA melangkah dengan pasti saat melihat Hamzah tengah asik berkutat untuk membuat adonan cireng. Di mana saat itu dia sedang menyatukan tepung tapioka serta air panas yang benar-benar mendidih ke dalam wadah.
"Apa, Na?" tanya Hamzah sebelum Hamna melancarkan aksinya untuk mengangetkan sang suami.
Hamna mencebik kesal. "Apaan sih, nggak asik banget!"
Tanpa dosa Hamzah malah tertawa puas. "Lain kali berguru dulu supaya ahli, itu parfum kecium dari jarak 5 meter juga. Saya sudah sangat hafal aroma vanilla yang sangat kamu sukai itu."
"Ya, kan pura-pura kaget bisa!"
"Bohong itu dosa, masa kamu nyuruh suami sendiri untuk berbohong sih."
"Berbohong untuk menyenangkan hati istri itu diperbolehkan."
"Daripada kamu protes terus mending bantuin saya," ujar Hamzah tak menanggapi ocehan istrinya.
"Iya saya akan bantu Aa, bantu doa, bantu makan, dan bantu nyuci piring."
Hamzah geleng-geleng, tapi dengan usil dia menoel pipi Hamna dengan tangan yang penuh oleh tepung. Jelas Hamna tak terima akan hal tersebut, dia pun melakukan hal yang serupa bahkan jauh lebih parah.
"Muka kamu sudah kayak balita yang baru dimandikan oleh ibunya. Penuh bedak semua, kayak moci," ledek Hamzah di tengah tawanya.
"Ngaca dong! Muka Aa justru lebih parah, kayak dakocan!" sembur Hamna tak mau kalah.
"Allahuakbar itu mulut kamu asal banget, Na."
"Bodo amat, itu fakta," sahutnya seraya menjulurkan lidah.
"Tepungnya sampai berhamburan ke lantai itu. Kamu tanggung jawab, rapikan."
"Kok saya?"
"Ya, kan kamu yang buat ulah."
"Orang Bapak juga yang mulai duluan!"
"Saya hanya mencoret wajah kamu, itu pun segaris doang. Beda sama kamu yang malah menumpahkan tepung itu ke muka bahkan rambut saya."
"Segaris apanya? Ini muka saya cemong semua!"
"Tapi, kan saya yang lebih parah."
"Bapak kok nggak mau ngalah banget sih sama istri sendiri juga. Katanya cinta, katanya sayang, perkara sederhana saja diributkan."
Hamzah menghela napas singkat. "Iya nanti saya yang bersihkan."
"Isi cirengnya apa?"
"Di kulkas hanya ada bakso dan sosis, jadi saya masak itu sebagai isiannya."
"Cabainya banyak, kan, Pak?"
"Sesuai dengan selera kita."
Hamna mengacungkan dua jempolnya. "Mantap, enak nih kalau punya pasangan yang satu selera makan."
Hamzah hanya mengangguk lalu mulai mencetak cireng isinya menggunakan cetakan pastel. Sedangkan Hamna menonton dengan air liur yang hampir menetes.
"Panaskan minyaknya coba, Na," titah Hamzah.
Hamna menurut tanpa kata, dia sudah sangat tidak sabar untuk menikmati cireng isi hangat yang baru diangkat dari penggorengan. Rasanya pasti sangat nikmat.
"Tadi, kan kita lempar-lemparan tepung, Pak. Tahu nggak apa yang lebih romantis?"
"Apa?"
"Siram-siraman minyak panas!"
"Istighfar, Na, istighfar Ya Allah kamu ini."
Tanpa rasa bersalah sedikitpun dia malah tertawa. "Gimana mau nggak?"
"Nggak sekalian saja, Na lempar-lemparan piring supaya tetangga pada tahu kalau kita itu pasangan yang romantis dan harmonis!"
"Boleh juga tuh. Yuk."
Hamzah menuntun Hamna untuk duduk di kursi yang tak jauh dari mereka. "Kamu kalau lagi lapar, bawaannya emang suka bikin emosi orang, Na. Lebih baik kamu diam dan duduk manis di sini."
"Oh, tentu baik Tuan Tua saya akan menuruti titah Anda."
Hamzah geleng-geleng kepala, lalu melanjutkan kegiatannya yang tengah memasak cireng isi. Cukup 10 menit, jajanan khas Bandung itu sudah matang dan siap untuk disajikan.
"Bismillah dulu jangan lupa, nanti setan ikut makan," tegur Hamzah saat Hamna langsung memakan cireng isi itu secepat kilat, padahal masih mengepulkan asap.
Hamna malah nyengir tanpa dosa. "Nggak papa setan ikut makan, nanti pas saya minum saya baru baca bismillah supaya setannya kepedesan sekaligus keselek karena saya nggak bagi dia minum."
"Astagfirullah, pemikiran dari mana itu?"
Hamna menunjuk kepalanya sendiri. "Ya dari otak saya yang jenius inilah."
Hamzah tak menyahut, dia lebih memilih untuk menikmati cireng isi buatannya. "Na ini masih panas, itu mulut kamu kok ya kuat banget," ujarnya bergidik ngeri, dan berusaha untuk mengangin-anginkan camilan tersebut.
"Bapak saja yang lemah, justru makanan yang masih panas itu paling nikmat. Lama kalau nunggu dingin dulu," ledeknya.
"Saya nggak biasa makan makanan panas."
Hamna mengangguk dengan mulut mengembung karena masih asik mengunyah cireng isi. "Saya tahu. Bapak itu, kan sekte teraneh yang pernah saya temui. Nasi harus disiapkan beberapa menit di suhu ruang supaya dingin. Makan bakso atau mie ayam dan sejenisnya harus pakai es batu dulu, baru bisa dimakan. Kadang saya tuh suka heran kok ya ada manusia sejenis Bapak di muka bumi ini."
"Itu namanya kebiasaan, nggak perlu kamu pertanyakan karena saya juga tak tahu jawaban pastinya."
"Tapi ni ya, anehnya Bapak itu suka banget teh tawar hangat. Padahal itu juga sama-sama panas, tapi buktinya masih bisa dinikmati dengan tenang, kan?"
"Konteksnya beda, Hamna."
"Berkilah saja terus!"
"Kamu juga aneh, nggak suka bawang-bawangan kalau hanya sebatas diiris atau dicincang kasar. Harus selalu dihaluskan dan nggak boleh terlihat wujudnya, baru kamu mau makan. Itu juga aneh, Hamna!"
"Kalau itu memang tidak saya sukai dari sejak kecil. Apalagi kalau Bapak lagi goreng bawang merah, aromanya bikin kepala saya pusing dan mual-mual."
"Bawang goreng itu enak, Na," beritahu Hamzah.
"Enak nggak, bau badan iya!"
"Kalau berdebat sama kamu nggak ada ujungnya, Na," keluhnya lalu kembali mengambil alih cireng isi yang sudah mulai dingin karena dia acuhkan beberapa saat, untuk menimpali segala ocehan Hamna.
"Kalau Bapak nanti pensiun jadi dosen, mending buka usaha. Jualan cireng isi contohnya."
"Yang pengin bisnis di bidang kuliner, kan kamu, Na."
"Sekarang, kan saya belum jago masak. Belum bergelar sebagai chef juga."
"Iya, kan nanti. Kalau boleh tahu kamu mau usaha apa?"
"Bikin restoran, tapi Bapak harus modalin."
"Kenapa jadi saya?"
"Kan Bapak yang punya uang, saya mana ada uang sebanyak itu. Lha, wong sekarang saja semua kebutuhan saya dijamin sama Bapak."
"Memangnya kamu mau usaha apa?"
"Geprek Mitoha, Pak."
Spontan Hamzah pun terbatuk-batuk dibuatnya. "Gila kamu, Na. Masa iya kamu mau geprek Mama sama Ayah saya."
Mitoha dalam bahasa Sunda artinya mertua. Jadi, jelas jika Hamzah sampai sekaget itu.
"Jualannya mah ayam geprek, tapi nama restorannya Geprek Mitoha. Bagus, kan?"
"Apanya yang bagus. Nggak ada, ganti!"
"Nggak mau, saya sudah merancangnya dengan sangat matang. Jangan rusak apa yang sudah saya persiapkan."
"Na, kamu jangan mancing di air keruh lagi. Mama sudah baik dan luluh itu, kenapa sekarang kamu mau buat ulah lagi?"
"Ya, kan usahanya juga belum terlaksana, baru wacana. Tapi saya harap sih bisa terealisasi dengan baik. Saya sudah siapkan menu-menunya."
"Apa?"
"Yang utama pasti ayam gepreknya. Nah nanti akan ada tiga jenis tingkat kepedasan. Level satu judes, level dua sinis, dan level tiga sadis."
"Mana ada kayak gitu, Na. Itu namanya kamu sedang menyindir Mama."
"Iya emang, tapi saya ini termasuk orang yang open minded. Segala perlakuan buruk orang lain terhadap saya di masa lalu, saya jadikan sebagai ladang usaha untuk berkembang. Bukan hanya saya ratapi dan tangisi. Saya ini sangat kreatif dan inovatif."
"Bapak mau tahu nggak ada menu apa lagi?"
"Sudah cukup, Na saya nggak mau tahu apa-apa lagi."
"Katanya mau jadi support system terbaik untuk saya, tapi ternyata itu hanya omong kosong!"
Hamzah menggeleng tak setuju. "Kalau untuk itu saya tidak pernah main-main. Saya akan berusaha untuk menjadi support system terbaik untuk kamu, tapi tidak dalam konteks ini. Saya tidak ingin ambil risiko, kalau nanti Mama bisa lebih murka lagi sama kamu, Na."
Hamna manggut-manggut. "Bagus juga tuh. Murka dijadikan level yang paling pedas dan menggigit lidah. Kalau sekadar dijudesin, disinisin, disadisin terlalu standar pedasnya."
-BERSAMBUNG-
Padalarang, 04 Desember 2023
Isi kepala Hamna itu emang lain daripada yang lain. 😂🤣 ... Dia suka banget cari penyakit!
Gaskennn?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top