RS | Part 4
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Perempuan memang sudah di-setting untuk gemar berbelanja, itulah mengapa mereka kerapkali lapar mata."
—Rintik Sendu—
by Idrianiiin
HAMZAH terduduk seraya memijat kakinya yang pegal bukan main. Entah sudah berapa jam mereka berkeliling mall, yang jelas efeknya sangat berdampak tidak baik.
Dia heran, dengan Hanum yang seolah tidak mengenal kata lelah, padahal dirinya sudah sangat ingin segera merebahkan tubuh. Perempuan itu justru masih terlihat lincah memilah dan memilih sepatu yang hendak dijadikan sebagai hantaran.
Hamzah melirik arlojinya. Sebentar lagi waktu magrib akan tiba, padahal tadi dia berangkat selepas zuhur. Bisa dibayangkan bukan betapa lelahnya lelaki itu?
"Bagus tidak?" tanya Hanum seraya berlenggak-lenggok untuk memamerkan sepatu berhak 10 centi yang tengah dipakainya.
Hamzah hanya berdehem dengan disertai acungan jempol. Dia sudah tak memiliki tenaga untuk sekadar menjawab 'ya'.
"Menurut A Hamzah lebih baik beli yang cream atau hitam?" tanyanya lagi.
Ingin rasanya dia menjawab, 'Lebih baik pulang!' tapi pernyataan itu hanya sampai di kerongkongan.
"Cream," jawab Hamzah asal.
"Ok, kalau gitu aku ambil yang hitam."
Hamzah membulatkan mata tak percaya. "Kalau sudah tahu pilihannya, kenapa harus tanya pada saya?"
"Aku hanya ingin tahu selera kamu," jawabnya enteng.
Rasa hati Hamzah ingin berteriak dan memaki. Apa semua perempuan seperti itu?
Kerapkali menanyakan sesuatu yang jelas-jelas sudah mereka ketahui. Mengapa kaum hawa ini gemar sekali membuat para lelaki darah tinggi.
"Tasnya bagus yang mana?" selorohnya lagi.
Kebetulan toko yang mereka sambangi menjual berbagai jenis tas dan juga sepatu dengan merk terkenal. Harganya pun cukup menguras kantong.
Risiko menikahi perempuan yang memiliki selera fashion kelas atas memang seperti ini. Itulah, mengapa Hamzah sempat menolak perjodohan. Bukan bermaksud untuk perhitungan, tapi harga satu tas saja bisa untuk biaya makan sebulan.
"Terserah kamu, selera saya tidaklah bagus."
Hanum berdecak tak suka. "Aku serius A Hamzah, bagus yang mana?"
Hamzah menghela napas singkat. "Kalau saya jawab tidak keduanya. Apa kamu akan mengikuti perkataan saya? Nggak, kan."
"A Hamzah kok sensi sih? Ngegas pula. Salah aku di mana?" omelnya.
Hamzah bangkit berdiri. "Beli dua-duanya, setelah itu kita pulang."
Mata Hanum berbinar seketika, dia langsung tersenyum dan bergelayut manja di lengan Hamzah. "Baiknya calon suami aku."
Hamzah menjauhkan tangan Hanum. "Tolong jaga sikap. Ini tempat umum, dan kita bukanlah mahram."
"Oke," sahutnya lalu melesat menuju meja kasir.
Hamzah menenteng banyak belanjaan. Dari mulai pakaian, tas, sepatu, body care, skin care, parfum, peralatan salat, dan masih banyak lagi. Dia sampai tidak tahu apa saja yang sudah Hanum beli. Yang jelas isi tabungannya cukup terkuras.
Lihatlah kelakuan menantu idaman sang mama? Bisa-bisa selepas akad nanti, dia harus puasa daud karena uangnya benar-benar habis tak tersisa.
"Barang-barang untuk hantaran langsung dikirim ke rumah A Hamzah, kan?" tanya Hanum saat mereka sampai di parkiran.
"Ya."
"Termasuk furniture yang tadi kita beli?"
"Ya."
Segala jenis furniture pun ikut ambil bagian. Dari mulai sofa, televisi, lemari, tempat tidur, dan lain sebagainya. Hamzah merasa dia bukan seperti akan menggelar pernikahan, melainkan hendak pindahan.
"A Hamzah kenapa?"
Ditanya seperti itu, dia mendadak naik pitam. Sudah tahu dirinya lelah, masih ditanya juga. Namun, dia berusaha untuk meredamnya.
Emosi tidak akan menyelesaikan masalah, Ham.
"Sekarang kamu pulang, saya tidak bisa mengantar kamu. Saya sudah pesankan taksi," katanya.
"Lalu barang-barang ini mau di kemanakan? Memangnya muat kalau dibawa pakai motor?"
"Saya sudah pesan dua taksi, satu untuk kamu, satu lagi untuk membawa barang-barang ini. Sudah ya, taksinya sudah menunggu."
"Kenapa kamu harus repot-repot pesan dua taksi? Padahal satu saja cukup, aku bisa A Hamzah antar pakai motor."
Hamzah merapatkan matanya beberapa saat. "Saya tidak membawa helm cadangan. Lagi pula apa kamu tidak merasa kedinginan, kalau harus menggunakan motor di waktu menjelang malam seperti ini?"
Hanum melirik outfitnya. Sebuah gaun sepanjang lutut yang memiliki lengan pendek. "Seperhatian itu kamu sama aku ternyata."
Hamzah tak ingin ambil pusing dengan asumsi tersebut, padahal dia tak ingin membonceng perempuan yang bukan mahram. Terserah Hanum mau berpikiran seperti apa.
Dia tidak peduli.
Dia sudah sangat lelah dan ingin segera sampai rumah.
Percakapan itu menjadi penutup, karena Hanum akhirnya menaiki taksi yang sudah Hamzah pesankan. Dia mengembuskan napas lega, karena beban hidupnya menghilang juga.
Sebelum pulang, Hamzah sejenak mampir ke toko ice cream yang sudah menjadi tempat langganan Haleeza. Keponakannya itu pasti sudah bosan menunggu, karena dia ingkar janji dan malah pulang larut. Padahal tadi pamitnya hanya sebentar saja.
"Dua ya, Pak, totalnya Rp. 38.000,00," ucap sang kasir.
Hamzah menyerahkan selembar uang pecahan Rp. 50.000,00 lalu berkata, "Kembaliannya untuk kamu."
"Tidak usah, Pak, tidak enak saya. Setiap ke sini, pasti kembaliannya selalu diserahkan pada saya," tolaknya sungkan.
"Saya ikhlas memberikannya."
Kasir itu pun mengangguk pasrah. "Ya sudah terima kasih."
Hamzah mengangguk singkat lalu mengambil alih kantung kereseknya.
"Titip salam untuk Haleeza ya, Pak. Sudah lama saya tidak bertemu dengannya."
"Ya. Dari?"
"Hamna, Pak, nama saya Hamna."
"Oke. Jangan panggil saya bapak. Apa saya sudah setua itu di mata kamu?"
Kening kasir pemilik nama lengkap Hamna Pramanita itu mengernyit. Biasanya juga tidak komplain. Toh, panggilan bapak bukan bermaksud untuk mengatai tua, justru itu merupakan sapaan hormat.
"Baik, Mas maaf jika perkataan saya menyinggung," tuturnya mendadak sungkan.
"Hamzah, cukup panggil saya Hamzah tanpa embel-embel apa pun."
Hamna memilih untuk mengangguk. Dia tak ingin kehilangan pelanggannya, terlebih hanya karena salah sebut nama. Jangan sampai hal itu terjadi.
Setelahnya Hamzah berlalu pergi.
Dia memang bukan pengingat yang baik, terlebih dalam hal nama. Cenderung lebih ingat rupa, tapi kerapkali lupa nama. Itulah mengapa dirinya bertanya seperti tadi.
Tidak bermaksud untuk modus ataupun memiliki niat kurang baik. Lagi pula kasir itu memang lumayan dekat dengan Haleeza, karena toko ice cream di mana Hamna bekerja sudah menjadi langganannya.
Sangat wajar kalau Hamna sekadar menitip salam, toh mereka memang saling mengenal.
Haleeza menyambut Hamzah dengan pelukan. Dengan senyum lebar dia langsung berjongkok untuk menyamakan tingginya, karena yang tadi Haleeza peluk adalah kaki jenjangnya.
"Ice cream pesanan Za datang," seru Hamzah begitu riang.
Dia seolah lupa akan rasa lelah yang sedari tadi menggerogoti tubuhnya.
Mata bulat itu berbinar terang. "Za sayang Papa."
Hamzah mengecup lembut puncak kepala Haleeza gemas. "Tentu, Papa juga sangat menyayangi, Za."
Bocah kecil itu langsung melahap ice cream favoritnya, bahkan sampai belepotan karena terlalu bersemangat.
"Ada salam dari Kak Hamna," tutur Hamzah setelah merapikan ice cream yang berada di sekitar wajah Haleeza.
"Oh, ya?"
Hamzah mengangguk singkat.
"Kapan Papa ajak Za ketemu Kak Hamna lagi? Za pengin makan ice cream di sana," rajuknya dengan bibir mengerucut.
"Nanti kalau Papa libur ngajar ya."
Haleeza bersidekap dada. "Akhir-akhir ini Papa nggak ada waktu untuk, Za. Papa sibuk ngajar dan pergi sama Tante Hanum."
Hamzah terkekeh pelan. "Cemburu ceritanya?"
Haleeza menggeleng keras. "Enggak!"
"Masa?" goda Hamzah.
Tiba-tiba mata Haleeza memerah hingga mengeluarkan air mata. "Za nggak suka Tante Hanum, Papa!"
"Kenapa?"
Hamzah membawa Haleeza dalam dekapan.
"Gara-gara Tante Hanum, Papa lupain Za, Papa cuekin Za, Papa nggak sayang lagi sama Za," rengeknya di tengah isakan.
—BERSAMBUNG—
Padalarang, 06 November 2023
Ekhem, ada tokoh baru lagi nih yang muncul 🤭 ... Kira-kira hanya sekadar mampir atau ikut andil lebih dalam di cerita ini ya? 🤔
Masih mau lanjut?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top