RS | Part 38
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Jika yang ditanam merupakan keburukan, maka jangan berharap akan bisa menuai banyak kebaikan."
-Rintik Sendu-
by Idrianiiin
HAMNA yang tengah memangku Haleeza serta mengikat rambutnya menjadi kuncir dua, sejenak terhenti kala mendapati suara sang mertua yang cukup menohok hingga dia harus menelan ludah dengan susah payah.
"Bagaimana? Jadi, mengajukan surat resign resmi sebagai bentuk pengunduran diri dari jabatan sebagai istri putra saya?"
"Ma!" tegur Hamzah seraya menggeleng kuat.
"Mama hanya menagih janjinya. Kalian sudah seminggu pulang dari Lombok, tapi belum ada itikad baik untuk memenuhi syarat yang sudah kalian sepakati."
"Memangnya bisa seintans itu untuk mendapat keturunan? Saya rasa Ibu jauh lebih berpengalaman. Seharusnya Ibu tahu, kalau semua itu butuh yang namanya proses!" tegas Hamna lalu menurunkan Haleeza agar duduk di sampingnya.
"Saya hanya menagih janji kamu!"
"Saya masih muda dan belum pikun. Tanpa diingatkan pun saya tidak akan lupa."
"Bagus kalau gitu. Segeralah periksa ke dokter," titahnya.
"Mama nggak bisa terus menekan Hamna seperti itu, terkait apa yang Mama minta kendalinya bukan berada di tangan Hamna. Apa Mama lupa, kalau untuk mendapatkan Hamzah kita juga memerlukan waktu, bahkan sampai dua tahun lebih lamanya?"
"Pembahasan ini sangatlah sensitif, terlebih bagi perempuan. Seharusnya Mama bisa lebih menyaring kata-kata, karena Mama pun pernah berada di posisi Hamna. Sudahlah, Ma, jangan terus-terusan turut campur dalam rumah tangga Hamzah dan Hamna. Mereka sudah sama-sama dewasa, mereka lebih tahu apa yang terbaik untuk keluarga kecilnya," terang Lingga cukup jengah dengan tingkah sang istri yang semakin hari, tidak kunjung memperlihatkan perubahan.
Masih tetap tidak menyukai Hamna, padahal menantunya itu tidak berbuat ulah. Selain, kerapkali suka menyela dan mendebat, tapi itu pun masih dalam batas wajar.
"Apa yang Ayah katakan itu benar, lagi pula sudah ada Haleeza. Mama sudah bergelar sebagai nenek, apa itu masih kurang?"
"Ham, umur kamu sudah sangat pantas untuk memiliki keturunan. Kalau kamu berniat untuk menundanya Mama rasa bukanlah pilihan yang bijak. Harus menunggu berapa lama lagi? Sampai usia kamu 40 tahun? Terlalu tua, Ham. Apa kamu nggak khawatir anak kamu merasa minder di masa mendatang nanti, karena memiliki seorang ayah yang sudah berumur?"
"Maaf kalau saya terkesan menyudutkan kamu, saya hanya tidak ingin kamu menundanya karena alasan usia kamu yang masih muda," ujar Anggi kini beralih pada Hamna.
Perempuan itu cukup tertegun dengan kalimat maaf yang Anggi gaungkan. Ini adalah kali pertama, dan mungkin akan jadi hal langka karena sejauh dirinya berstatus sebagai menantu. Tidak pernah sekalipun sang mertua menuturkan kata maaf.
"Mama meminta kalian untuk periksa ke dokter, supaya tahu apakah ada kendala di salah pihak atau tidak. Supaya Mama tidak merasa cemas dan was-was," ungkapnya lagi.
"Jika ada masalah, dan masalahnya terletak pada saya bagaimana?" pancing Hamna merasa penasaran dengan respons yang akan Anggi berikan.
Mertuanya itu tak langsung menjawab, dia berkawan geming cukup lama sampai akhirnya berkata, "Kalau memang putra saya bisa hidup bahagia bersama kamu, saya tidak merasa keberatan. Tapi, kalau kamu sampai macam-macam dan melukai putra saya, saya sendiri yang akan turun tangan dan menggugat kamu ke pengadilan."
Hamna tersenyum tipis. "Benarkah? Tidak akan ada drama poligami?"
"Kita sama-sama perempuan, dan saya tahu bahwa tidak ada satupun wanita yang ingin berbagi suami. Poligami memang sunnah, tidak dilarang, tapi saya tidak ingin menambah hisab putra saya di akhirat kelak, kalau seandainya dia tidak mampu berlaku adil. Saya tidak sekejam itu, Hamna, sekalipun saya tidak menyukai perangai kamu yang suka mendebat saya."
Anggi menarik napas panjang lantas membuangnya kasar lalu kembali berujar. "Saya tidak memberi kamu restu karena perbedaan usia kalian yang terlalu jauh. Kamu masih muda, pasti memiliki banyak cita-cita, sedangkan putra saya sudah dikejar usia. Jiwa muda kamu sedang berapi-api, sedangkan putra saya membutuhkan sosok pendamping yang memang mampu berperan sebagai seorang istri."
"Itulah mengapa saya selalu keras dan meminta kamu untuk bisa mengurus Hamzah, Haleeza, bahkan piawai dalam berbenah. Saya ingin putra saya mendapatkan pasangan yang memang layak, sudah saatnya untuk Hamzah memikirkan perihal dirinya sendiri."
"Maaf kalau tindakan saya selama ini melukai kamu, sebetulnya saya pun ingin memiliki hubungan yang baik dengan kamu. Tapi, setiap melihat cara kamu dalam memperlakukan Hamzah, rasa tidak terima itu selalu muncul tiba-tiba. Putra yang saya rawat dan besarkan dengan penuh cinta, tapi diperlakukan dengan tidak baik oleh istrinya."
"Saya ingin kamu tahu, bahwa diperlakukan seperti itu sangatlah menyakitkan. Saya kira kamu akan sadar, tapi ternyata malah semakin menyudutkan putra saya. Wajar kalau saya meradang dan menatap kamu penuh permusuhan. Saya tidak membenci kamu, tapi saya tidak suka dengan apa yang telah kamu lakukan pada putra saya. Saya terluka, terlebih saat Hamzah lebih memilih untuk membela kamu, padahal jelas-jelas apa yang kamu lakukan pun keliru."
"Maafkan Mama ya, Na," tukasnya panjang lebar.
Hamna mengangguk lemah, lelehan air mata sudah meluncur bebas begitu saja. Dia sama sekali tidak bisa berkata-kata untuk menimpali kejujuran sang mertua.
Sistem tabur tuai itu memang benar-benar nyata. Apa yang kita tanam itulah yang kelak akan kita tuai. Jika dirinya menanam keburukan, maka jangan harap akan berbuah kebaikan. Karena benihnya dipupuk oleh kebencian, bukan kasih sayang.
"Maafkan saya juga, Bu, karena dengan sadar sudah menjadi asap dari kepulan api yang sejatinya saya ciptakan sendiri. Saya tidak bisa menjanjikan apa pun, terlebih kebahagian untuk A Hamzah, karena saya tahu itu di luar kapasitas saya sebagai manusia. Sebagaimana yang pernah A Hamzah minta, saya akan berusaha untuk menjadi al mar'atus shalihah untuknya."
Untuk kali pertamanya Anggi merengkuh Hamna, bahkan dia pun mengelus lembut punggung sang menantu. "Mulai sekarang panggilnya Mama ya, Na. Jangan ibu terus."
Hamna mengangguk dalam pelukan hangatnya. "Iya ..., Ma ..., iya ...," sahutnya merasa haru dan sangat bersyukur.
Ucapan hamdalah menguar dari bibir Lingga dan juga Hamzah. Akhirnya sepasang ayah dan anak itu bisa bernapas dengan lega.
"Makasih ya, Ma," ungkap Hamzah bahagia tak terkira.
Anggi mengangguk saat sudah kembali duduk di tempat semula. "Kalian yang rukun, yang akur ya."
Hamna dan Hamzah saling memandang beberapa saat, lalu keduanya mengangguk dengan kompak.
"Sekarang Za boleh pulang ke rumah Buna sama Papa, kan Oma?" tanya bocah kecil itu yang sedari tadi diam, dan lebih memilih untuk fokus menonton layar televisi yang menampilkan kartun Upin & Ipin.
"Boleh, atuh. Papa sama Buna ke sini, kan buat jemput, Za," sahut Anggi diakhiri sunggingan.
Haleeza berjingkrak kesenangan, bahkan tanpa ragu dia kembali duduk di atas pangkuan Hamna. Memberikan ibunya kecupan singkat hampir di seluruh bagian wajah. "Za kangen banget sama, Buna," katanya lalu memeluk leher Hamna.
Hamna terkekeh dan membalas dengan hangat pelukan putrinya. "Buna juga kangen berat lho sama, Za."
Mata bulatnya mengerjap lucu. "Seberat apa, Buna?"
"Berat banget sampai nggak bisa dijelaskan berapa nominalnya."
"Beneran?"
Hamna mengangguk semangat.
Dengan gemas Hamzah mengacak puncak kepala Haleeza. "Sama Papa Za nggak kangen?"
"Za lebih kangen sama Buna," jawabnya enteng, hingga menghadirkan gelak tawa.
-BERSAMBUNG-
Padalarang, 02 Desember 2023
Alhamdulillah sudah masuk bulan baru dan nggak kerasa sudah di penghujung tahun saja ya, hehe 🤭 ... Semoga bisa menamatkan cerita ini di bulan ini, nggak harus dilanjut ke tahun baru 😂
Yuk atuh diramaikan dulu kolom komentarnya. Masih mau digasskeun, kan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top