RS | Part 37
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Ujian itu beragam dan diberikan sesuai dengan kadar kemampuan masing-masing insan."
—Rintik Sendu—
by Idrianiiin
"TERNYATA saya bukan hanya gagal sebagai menantu idaman, tapi juga gagal menjadi istri idaman."
Sontak Hamzah langsung menoleh saat mendengar kalimat menohok yang baru saja diungkapkan oleh istrinya.
"Kenapa kamu tiba-tiba ngomong kayak gitu, Na?"
Hamna menatap Hamzah cukup lama lalu berujar, "Sekarang saya tahu kenapa Aa bisa selama itu move on dari doi. Memang perempuan seperti Teh Zanitha itu sangat pantas untuk diperjuangkan. Dia sempurna, tidak seperti saya yang memiliki banyak cela."
Hamzah menggeser duduknya agar bisa berhadapan dengan Hamna. "Zanitha itu masa lalu saya, sedangkan kamu itu masa depan saya. Dia hidup di masa lampau, beda sama kamu yang hadir di masa sekarang."
"Tapi saya yakin Aa masih memiliki rasa pada Teh Zanitha. Tatapan Aa nggak bisa menyangkal itu semua."
Hamzah menggeleng tegas. "Rasa itu sama sekali sudah hilang. Saya dan Zanitha hanya sebatas teman, tidak lebih."
"Lain di mulut lain di hati!"
Hamzah menahan sedikit senyumnya. "Cemburu?"
Mata Hamna membulat sempurna. "Nggak!"
"Masa?"
"Iya!"
"Sudah cinta, kan sama saya?"
"Nggak!"
Dengan usil Hamzah menoel dagu Hamna. "Jangan gengsi untuk mengakui."
Hamna turun dari ranjang dengan kesal. "Apaan sih nggak jelas!"
Hamzah memeluk Hamna dari belakang, dia meletakan dagunya di pundak Hamna. "Istri saya akan tetap satu dan selamanya akan tetap kamu."
Hamna menghempaskan tangan Hamzah jauh-jauh. "Merinding saya dengarnya!"
Tanpa dosa Hamzah pun tertawa. "Kamu itu emang paling nggak bisa diajak romantis-romantisan, Na. Pake sok-sokan minta tips dan trik sama Dipta. Giliran saya yang mempraktikkan malah berbeda responsnya."
"Jelas beda, lha. Saya ngeri kalau Aa seperti itu. Curiga ada udang di balik batu!"
Hamzah geleng-geleng. "Kamu itu suudzan terus sama saya."
"Biarin emang itu faktanya kok!" Dia menjulurkan lidah meledek Hamzah.
Hamzah menuntun Hamna untuk kembali duduk di tepi ranjang. "Gini ya, Na, sedikit saya luruskan supaya tidak ada kesalahpahaman ke depannya. Saya masih menjalin hubungan baik dengan Zanitha dan Dipta, karena kami sudah sama-sama dewasa. Rasanya tidak adil jika persahabatan di antara kami harus rusak hanya karena perihal cinta."
"Lagi pula saya pun cukup tahu diri. Memang saya ini bukan ditakdirkan untuk Zanitha, melainkan untuk kamu, Hamna. Sekarang kita sudah bahagia dengan kehidupan masing-masing, dan dengan cara seperti inilah kami menyikapi takdir. Saya harap kamu pun bisa menyikapi hal ini dengan pemikiran dewasa, Na."
"Saya hanya merasa rendah diri berada di tengah-tengah kalian. Saya ini apa sih? Hanya perempuan biasa yang bahkan tidak memiliki gelar apa-apa."
Hamzah menangkup gemas wajah istrinya. "Sebagaimana kamu menerima segala kekurangan saya, maka saya pun akan menerima semua kekurangan kamu. Gelar nggak bisa dijadikan sebagai patokan, apalagi kamu sampai merasa rendah diri seperti sekarang. Bagi saya kamu itu spesial, tidak akan ada yang bisa menandingi kecerewetan kamu, kecerobohan kamu, apalagi hanya kamu juga yang bisa membuat tubuh saya benjol dan memar-memar. Kamu itu limited edition, Na."
Hamna memalingkan wajah. "Ujungnya kenapa nggak enak banget sih. Seburuk itu ya saya di mata Aa?"
"Justru karena kamu berbeda, itulah mengapa saya bisa jatuh cinta. Sudah jangan bahas masa lalu terus, kita sudah tidak hidup di masa itu."
Hamzah menarik kepala Hamna lalu mendaratkan kecupan singkat tepat di puncak kepalanya. "Meskipun kamu bukan yang pertama, tapi insyaallah akan menjadi cinta terakhir saya."
"Saya nggak akan mempan dikasih gombalan!"
"Iya saya tahu, makanya saya jarang sekali mengungkapkan perasaan saya dalam wujud kata-kata."
"Ya sudah lebih baik kita istirahat, kamu pasti capek, kan?"
Hamna menggeleng, dia menyandarkan punggungnya di kepala ranjang, sedangkan kakinya dibiarkan selonjoran. Tanpa meminta izin, Hamzah langsung merebahkan diri dan menjadikan paha Hamna sebagai bantal.
"Saya nggak bisa bayangkan berada di posisi Teh Zanitha. Hampir enam tahun menikah tapi belum kunjung dikaruniai buah hati. Sekebal apa hatinya? Kita yang baru menikah beberapa bulan saja, sudah diteror cucu oleh Ibu Anda. Dan saya tahu stress-nya kayak gimana."
"Ujian setiap rumah tangga itu beda-beda, Na."
Hamna mengangguk paham, dia menyugar rambut suaminya lembut. "Kalau mertuanya Teh Zanitha adalah Ibu Anda, sudah pasti akan banyak drama. Saya yakin itu!"
"Alhamdulillah-nya bukan."
Alis Hamna terangkat satu. "Apa nih maksudnya? Jadi Bapak mensyukuri kemalangan nasib saya yang harus mendapatkan mertua seperti Ibu Anda, begitu?!"
"Ish, bukan gitu ih, Na. Perasaan salah mulu saya kalau ngobrol sama kamu."
"Ya habisnya kalimat Bapak juga ambigu sih. Terkesan mensyukuri nasib buruk yang menimpa saya, tapi malah mensyukuri keberuntungan Teh Zanitha yang terbebas dari spesies mertua seperti Ibu Anda!"
"Jadi seburuk itu ya menjadi menantu Mama?"
Tanpa sungkan dan ragu Hamna menjawab. "Jelas jawabannya iya!"
"Insyaallah cepat atau lambat Mama juga pasti akan berubah dan bisa bersikap baik sama kamu."
"Jangan iming-imingi saya dengan harapan palsu!"
"Bukan seperti itu maksud saya."
"Ya terus?"
"Minggu nanti kita, kan mau ke rumah Mama untuk jemput Haleeza. Nanti saya akan kembali bicara pelan-pelan sama Mama," katanya.
"Itu adalah suatu kemustahilan, atau mungkin bisa jadi salah satu keajaiban dunia kalau Aa berhasil meluluhkan hati Ibu Anda untuk merestui pernikahan kita."
"Insyaallah bisa saya yakin!"
"Sudahlah, A, jangan terlalu optimis nanti kalau nggak sesuai ekspektasi kecewa lagi."
"Jangan putus harapan gitu, Na."
"Masalahnya kita pulang dari Lombok nggak bisa bawa apa yang Ibu Anda minta. Itu artinya saya dalam bahaya!"
"Kita, kan su---"
Mata Hamna melotot seketika, tanpa ampun dia membekap mulut Hamzah. "Nggak usah dibahas lagi bisa?!"
Hamzah mengangguk lalu meminta Hamna untuk melepaskan tangannya. "Kamu nggak usah khawatir, insyaallah kita akan bisa memenuhi permintaan Mama."
Hamna mendelik tajam. "Itu sih maunya Bapak!"
Hamzah tertawa dibuatnya. "Kan supaya kamu dalam keadaan aman, tanpa ancaman bahaya."
"Alah modus doang itu!"
Hamna mengangkat kepala Hamzah agar menyingkir dari pahanya yang terasa sudah pegal serta kesemutan. "Saya mau tidur, ngantuk!"
Tangan Hamna menginstruksi Hamzah untuk tidak terlalu dekat dengannya. "Jaga jarak aman dan jangan macam-macam!"
Bukannya tersinggung atau kesal, Hamzah malah tertawa puas. "Ceritanya lagi jual mahal lagi nih, hm?"
Hamna menunjukkan kepalan tangannya. "Cukup sekali dan nggak ada pengulangan lagi!"
Dengan usil Hamzah malah merengkuh tubuh Hamna seraya terkikik geli. "Yakin?"
Tanpa aba-aba Hamna menendang kuat tubuh Hamzah hingga lelaki itu tersungkur di lantai. "Seperti yang Aa bilang, saya ini limited edition dan hanya saya yang bisa membuat tubuh Aa benjol dan memar-memar!"
Hamzah meringis dan meraup wajahnya frustrasi. "Saya kira kesadisan kamu akan selesai sepulangnya dari Lombok. Tahunya, malah makin parah. Kamu makan apa sih, itu kaki tenaganya kuat banget?"
"Makan hati dan juga omongan pedas Ibu Anda!"
—BERSAMBUNG—
Padalarang, 02 Desember 2023
Hamna tetaplah Hamna, jangan harap bisa lemah lembut seperti perempuan pada umunya. 😂🤣 ... Sabar, Ham, sabar ujian Anda masih berlanjut ke part dua 😂✌️
Gaskennn nggak nih?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top