RS | Part 36

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Perluas jaringan, perbesar silaturahim, karena dengan demikian kita bisa banyak belajar dari orang-orang sekitar."

-Rintik Sendu-
by Idrianiiin

SEBUAH restoran cepat saji yang menyediakan berbagai hidangan khas Sunda menjadi pilihan mereka. Di meja sudah terhidang nasi liwet, ayam goreng, tahu, tempe, lalapan, sambal, kerupuk, serta tentu saja ikan asin sebagai pelengkap.

Hamna termenung memperhatikan Dipta yang tanpa diminta langsung menyodorkan mangkuk kecil berisi air untuk mencuci tangan pada Zanitha. Bahkan, lelaki yang baru pertama kali dia temui itu membantu istrinya mencuci tangan.

Hal-hal sederhana semacam ini yang membuat perempuan merasa dihargai serta dikasihi dengan sepenuh hati. Act of service-nya tidak main-main.

"Cukup atau tambah lagi, Mas?" tanyanya begitu sopan dan lembut.

Sebagai perempuan yang bar-bar dan gemar berteriak-teriak tak jelas, Hamna merasa tertampar dan insecure dalam waktu yang bersamaan.

"Cukup, Zani, terima kasih," sahutnya tak kalah halus.

Hamna hanya mampu menelan ludah, melihat keromantisan yang tersaji gratis di depannya.

"Ayo, Ham silakan," tutur Dipta.

Hamzah menyenggol Hamna yang tertangkap basah tengah memperhatikan Zanitha dan juga Dipta. "Hamna," panggilnya.

Hamna terkesiap. "Iya apa, A?"

Hamzah geleng-geleng. "Malah bengong, kenapa?"

"Aman, nggak papa," sahutnya seraya tersenyum tipis.

"Silakan, Na dimakan mumpung masih hangat," timpal Zanitha.

"Iya, Teh."

Dia pun mengambil piring lalu mengisinya dengan nasi serta teman-temannya yang lain. "Nih buat, Aa dulu saja."

"Makasih, Na."

Hamna hanya mengangguk lalu kembali melakukan hal yang sama.

Keheningan menyelimuti karena mereka fokus pada hidangan masing-masing. Setelah selesai barulah perbincangan dimulai.

"Gimana kelanjutan Rumah Qur'an kalian?" tanya Hamzah lebih dulu.

"Alhamdulillah, sekarang sudah semakin banyak anak-anak yang diamanahkan di tempat kami. Iya, kan, Zani?"

Zanitha mengangguk singkat. "Oh, ya, Rumah Sang Pemimpin yang A Hamzah amanahkan pada saya pun sekarang semakin berkembang pesat. Sekali-kali tengoklah ke sana."

"Benar sekali, Ham, tapi ada beberapa bagian yang kami rombak dan perbaiki untuk membuat pengunjung merasa nyaman. Rumah Qur'an kami pun sengaja dibangun berdampingan dengan Rumah Sang Pemimpi."

"Alhamdulillah, insyaallah kalau ada waktu senggang kami akan menyempatkan ke sana. Iya, kan, Na?" sahut Hamzah seraya melirik ke arah Hamna yang hanya diam menyimak.

"Ya."

"Haleeza di mana? Kok nggak dibawa?"

"Lagi di rumah Mama, sudah seminggu lebih menginap di sana."

"Tumben A Hamzah bisa berjauhan lama dengan Haleeza," cetus Zanitha sedikit heran.

"Namanya juga pengantin baru, Sayang, wajar kalau mau punya banyak waktu berduaan. Bukan begitu, Ham?" ungkap Dipta diakhiri kekehan.

Hamzah tertawa kecil. "Lebih tepatnya karena kami baru pulang liburan dari Lombok empat hari lalu. Itulah mengapa Haleeza diungsikan ke rumah Mama dulu."

"Honeymoon mungkin," goda Dipta.

Hamzah menanggapinya dengan tawa renyah.

"Masyaallah serunya, bahagia selalu ya A Hamzah dan Hamna," imbuh Zanitha tulus.

"Aamiin," sahut Hamna dan Hamzah hampir bersamaan.

"Kapan-kapan kita liburan bareng, seru kayaknya," ujar Dipta cukup antusias.

"Boleh, diatur saja kapan pastinya."

"Hamna kuliah atau kerja?" tanya Zanitha mengajak Hamna untuk ikut bergabung dalam obrolan.

"Kuliah, Teh."

"Semester berapa?"

"Baru akan masuk semester dua."

"Alhamdulillah, pejuang toga wisuda nih. Semangat menuntut ilmunya ya."

Hamna tersenyum lebar. "Aamiin, insyaallah."

"Teh Zanitha sendiri bagaimana?"

"Kalau saya sedang menikmati peran sebagai seorang istri saja di rumah. Tidak kerja, tidak juga kuliah, paling menulis novel supaya tetap produktif."

"Penulis ternyata," sahut Hamna merasa takjub.

"Dipta ini editor sedangkan Zanitha penulis. Kisah mereka berawal dari naskah, berujung akad nikah," terang Hamzah.

"Klop ya, bisa nyambung gitu profesinya."

"Kamu sama A Hamzah juga klop, dosen sama mahasiswi," ujar Zanitha.

"Beda, Teh, saya ketemu A Hamzah pada saat saya masih bekerja di sebuah toko ice cream yang menjadi tempat langganannya Haleeza. Kalau bergelar sebagai mahasiswi, kan baru akhir-akhir ini."

"Cara Allah dalam mempertemukan kita dengan pasangan memang suka di luar dugaan. Tapi, di situlah seninya yang membuat pernikahan terasa lebih indah. Apalagi kalau tidak diawali dengan sesuatu yang tidak Allah sukai," ujar Zanitha.

"Indah? Aduh, di luar ekspektasi sih iya," sahut Hamna blak-blakan.

Zanitha terkekeh pelan. "Memangnya kenapa, Na?"

"Ya coba Teteh bayangkan saja, saya yang semula datang sebagai tamu . Ehh, malah ditarik untuk duduk di depan penghulu. Sangat di luar ekspektasi, kan!"

"Untung nggak salah tarik orang ya, Ham?" timpal Dipta diakhiri sunggingan.

"Sinyal jodohnya terlalu kuat, meskipun banyak wanita di tengah kerumunan. Mata saya malah tertuju pada Hamna," sahut Hamzah seraya tertawa.

Jika mengingat akan kekonyolannya beberapa bulan lalu, dia mendadak suka ketawa-ketawa sendiri.

"Maklum efek terlalu lama melajang. Jadi, asal comot perempuan!"

"Kisah kalian itu lucu dan langka tahu."

"Lebih baik dimusnahkan kalau memang langka, sangat tidak patut untuk ditiru!"

Perkataan Hamna malah disambut gelak tawa oleh ketiganya.

"Teh Zanitha dan A Dipta ini menikah sudah lama, tapi awet romantisnya. Bagi tips dan triknya dong," ungkap Hamna.

"Nggak ada resep khusus, selain sama-sama mengukuhkan rasa dan meluruskan niat. Seumur hidup itu, kan lama. Jadi, memang harus bersama orang yang tepat," sahut Dipta.

"Vibes-nya memang beda kalau rumah tangga yang dibangun atas dasar cinta. Adem saja lihatnya."

"Cinta itu hanya pelengkap, Na," sela Zanitha.

"Pacaran setelah nikah itu asik dan menyenangkan. Kita bisa leluasa untuk saling mengenal satu sama lain, tanpa ada yang perlu dikhawatirkan. Karena, semua yang kita lakukan berbuah pahala, bukan dosa."

"Teh Zanitha sama A Dipta nikah jalur ta'aruf?"

"Iya," singkat Zanitha.

"Kok bisa? Awalnya emang sudah saling suka atau gimana?"

"Na kamu kepo banget sih, nggak usah ngorek-ngorek sampai ke akarnya juga," bisik Hamzah menegur. Khawatir membuat sepasang suami istri itu merasa tidak nyaman.

"Di awal hanya sebatas tertarik saja, tapi setelah sah barulah Allah tuntun untuk menumbuhkan rasa di antara kami berdua," ungkap Dipta.

"Pernikahannya sudah jalan berapa lama?"

"Hampir enam tahun."

"Maaf kalau pertanyaan saya sedikit menyinggung, sudah dikaruniai keturunan, Teh?"

Zanitha tersenyum begitu lebar. "Alhamdulillah untuk saat ini belum. Doakan ya, Na."

Hamna mendadak tidak enak hati. "Maaf saya nggak bermaksud apa-apa, Teh. Serius deh."

Zanitha malah tertawa melihat ekspresi Hamna. "Nggak papa, Hamna. Saya sama sekali tidak masalah ataupun tersinggung."

Dipta merangkul bahu istrinya lembut. Seolah ingin menyakinkan semua orang, jika mereka bahagia atas segala takdir yang sudah Allah gariskan.

"Kadang ada yang keliru, menganggap keturunan sebagai tujuan dari sebuah pernikahan, padahal tidaklah demikian. Anak itu merupakan rezeki dan juga titipan, serupa dengan harta serta jabatan. Allah memberikannya pada hamba-hamba terpilih, yang memang memenuhi standar layak."

"Layak berdasarkan penilaian Sang Pencipta, bukan manusia. Dan saat ini, kami sedang melayakkan diri," tukas Dipta begitu menenangkan.

-BERSAMBUNG-

Padalarang, 01 Desember 2023

Huft, tarik napas buang 😌😜 ... Rindu sama Zani dan Dipta sudah terobati, kan? Pastinya dong 😂

Gaskennn nggak nih?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top