RS | Part 34
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Orang yang pernah mengalami akan berusaha untuk memahami, bukan malah menghakimi."
-Rintik Sendu-
by Idrianiiin
CUKUP banyak pertanyaan yang menghinggapi kepala Hamna, tapi entah mengapa itu hanya sebatas di kerongkongan saja. Semenjak kepulangannya dari Lombok tiga hari lalu, dia mendadak canggung kala berinteraksi dengan Hamzah.
Seolah ada sekat yang mengharuskannya untuk lebih menjaga sikap. Terlebih, saat tahu ihwal perasaan sang suami yang begitu gamblang mengutarakan ketertarikan. Rasanya ada sedikit rasa sungkan untuk bertindak kurang ajar.
Apalagi Hamzah mengharapkan dirinya bisa menjadi al mar'atus shalihah.
"Akhir-akhir ini saya kerapkali mendapati kamu lebih banyak diam dan melamun. Ada apa?"
Hamna berpikir sejenak sebelum akhirnya memberanikan diri untuk berucap, "Mungkin pertanyaan saya ini akan menyinggung perasaan Aa dan membuat suasana di antara kita sedikit akward."
"Tumben pake pembukaan, biasanya langsung to the point. Bilang saja, Na jangan sungkan."
"Aa menikah di usia 35 tahun, betul?"
Dia mengangguk singkat.
"Apa nggak merasa panik dalam penantian? Sedangkan mungkin teman-teman seangkatan sudah sebar undangan pernikahan bahkan sebar undangan aqiqahan."
Hamzah malah terkekeh pelan. "Bohong kalau saya bilang nggak panik, di saat 'seharusnya' pria seusia saya sudah berkeluarga. Tapi apa mau dikata kalau Allah bilang belum waktunya? Memangnya saya bisa nawar. Nggak, kan, Na?"
"Saya tahu, tapi saya rasa desakan dari orang-orang jauh lebih riuh, atuh bahkan mungkin banyak dari mereka yang mengasihani Aa atas keterlambatan dalam bertemu jodoh."
"Saya sudah terbiasa hidup di bawah tekanan. Jadi, hal semacam ini sudah bukan masalah yang patut untuk saya ratapi lebih lanjut. Tidak ada yang perlu saya khawatirkan."
"Sudah ada di tahap setenang dan seikhlas itu?"
Dia mengangguk mantap. "Kenapa kamu tiba-tiba tanya soal ini, Na?"
"Sekadar ingin tahu, terlebih saya pun ingin memastikan apakah permintaan saya waktu di Lombok tiga hari lalu memberatkan Aa atau tidak?"
"Saya tahu tidak enaknya ditekan dan dituntut oleh seseorang, maka sebisa mungkin saya tidak melakukan hal tersebut pada orang lain. Terlebih lagi, tujuan saya menikah pun bukan hanya semata-mata untuk melahirkan manusia baru. Bukankah kita sudah membuat planning untuk lima tahun ke depan?"
"Saya tidak ingin merusak mimpi yang sudah kamu rancang. Karena saya tahu, bagaimana hancurnya saat kita tidak bisa menggapai apa yang kita inginkan."
"Maksud Aa?"
Hamzah mengukir senyum tipis. "Bisa dibilang hidup saya kerapkali berkawan dengan kata 'terlambat' entah itu dari segi pendidikan, pasangan, bahkan mungkin momongan. Saya memang lulus S1 tepat waktu, di usia saya 22 tahun. Tapi, saya malah fokus untuk membangun karier dan menunjukkan bahwa dengan menjadi fotografer saya bisa menciptakan kehidupan layak, baik untuk saya ataupun keluarga saya nantinya."
"Untuk meyakinkan Mama saya perlu waktu hampir 6 tahun, tapi nyatanya apa yang sudah saya perjuangkan tidak beliau nilai. Sampai akhirnya saya 'dipaksa' untuk melanjutkan S2 di usia saya yang sudah 27 menuju 28 tahun. Telat banget, kan? Seharusnya di usia segitu saya sudah memiliki istri dan juga anak."
Dia menjedanya dengan tawa, seolah ingin meyakinkan Hamna kalau dirinya baik-baik saja. "Rencananya setelah lulus S2 saya akan melamar seseorang, tapi kamu tahu, kan saya sudah kecolongan start? Padahal, hanya terlambat beberapa menit, tapi tetap saja itu mengubah semuanya."
"Perlu waktu untuk saya menata hati dan berdamai dengan takdir sampai akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan S3 di Yogyakarta. Hingga akhirnya saya merasa mati rasa dan hilang keinginan untuk menikah, lebih bahagia hidup berdua bersama Haleeza sebagai status 'duda beranak satu' yang disematkan orang-orang."
"Seambis itukah keluarga Aa dengan pendidikan? Bahkan kriteria menantu 'idaman' pun harus berpendidikan minimal S1."
"Bisa dibilang begitu, tapi hanya Mama. Beliau terlalu mengkhawatirkan anak-anaknya, apalagi di zaman sekarang yang pertama kali dipandang ialah pendidikan, jabatan, dan juga pekerjaan."
Hamna tersenyum kecut. "Kalau saya ada di posisi Aa, sudah stress dan gantung diri kali. Hidup dengan berbagai tuntutan apalagi bersumber dari orang tua sendiri pasti pressure-nya berkali-kali lipat."
"Alhamdulillah-nya saya yang kebetulan menerima ujian tersebut. Allah itu tidak pernah salah dalam memilih bahu, Dia tahu bahwa saya memang mampu dan layak untuk menopang semua itu," katanya diakhiri sunggingan.
"Masih bisa bilang alhamdulilah?"
Kali ini Hamzah justru tertawa renyah. "Apa pun yang terjadi, sebisa mungkin selalu saya syukuri. Karena takdir terbaik itu ya yang saat ini tengah saya jalani."
Hamna dibuat terpaku dan kehabisan kata-kata. Dia hanya menatap Hamzah dengan tatapan sulit terbaca.
"Kamu kenapa? Merasa keberatan dan menyesal karena memiliki suami yang jarak usianya jauh di atas kamu?"
Hamna menggeleng lemah. "Awalnya iya, bahkan sangat keberatan. Tapi, setelah saya tahu cerita Aa, saya rasa tidak ada yang salah dengan pernikahan beda usia. Banyak kok pasangan yang sama seperti kita, tapi rumah tangganya bisa akur dan rukun."
Hamzah mengelus lembut puncak kepala Hamna. "Terima kasih ya, Na, sudah mau memahami dan mengerti saya. Bahkan, kamu bersedia untuk menerima segala kekurangan yang saya miliki."
"Kenapa tiba-tiba jadi melankolis gini sih!"
"Kalau perlu saya ingatkan, kamu yang memulainya lebih dulu."
Hamna berdehem sejenak, dia menatap Hamzah lalu menunduk. "Saya tidak ingin menjadi sebab Aa harus kembali berkawan dengan kata 'terlambat'."
Kening Hamzah terlipat. "Maksud kamu apa, Na?"
"Saya tahu usia Aa akan semakin bertambah, bahkan sekarang sudah menuju 36 tah---"
"Harus sejelas itu ya, Na? Sampai sebut angka segala," potong Hamzah merasa sedikit keberatan.
Tanpa diberi tahu pun, dia tahu kalau umurnya memang sudah sematang itu. Tidak usah diperjelas lagi!
Terdengar tarikan napas panjang sebelum akhirnya berujar, "Silakan ambil hak Aa atas diri saya."
Otak Hamzah loading seketika. Dia mendadak tidak bisa mencerna dengan baik kata-kata Hamna. Padahal, di lain sisi, istrinya itu sudah mati-mati menahan malu serta menurunkan segala ego serta gengsi.
Tiba-tiba Hamzah bangkit dari duduknya, lalu keluar kamar tanpa sepatah kata pun.
Hamna termenung dan mematung melihat punggung Hamzah yang kian menjauh, hingga suara pintu yang kembali tertutup menyadarkan perempuan itu.
"Ohh, seperti ini rasanya ditolak," gumamnya dengan suara lirih.
Sedangkan Hamzah bergegas ke dapur untuk menyegarkan kerongkongannya yang terasa kering, bahkan dia langsung menandaskan air mineral kemasan botol yang ada di kulkas dalam satu kali tegukan.
Dia termenung cukup lama, bahkan pintu kulkas masih terbuka karena dia malah asik melamun. Entah berapa lama, sampai akhirnya sebuah suara menyapa rungunya. Membuat Hamzah mau tak mau memutar tubuh, dan dia dibuat terpaku kala melihat keberadaan Hamna yang kini berada tepat di depannya.
"Aa," panggilnya membuat mata Hamzah berkedip seketika.
Hamzah berdehem beberapa kali. "Kamu nggak harus memaksakan diri seperti ini, Na. Saya tahu kamu belum siap sepenuhnya, tidak perlu sampai berpenampilan seperti ini di depan saya."
"Tawaran saya hanya berlaku untuk malam ini."
Detik berikutnya Hamzah langsung menarik tangan Hamna. "Kita salat dulu ya, Na?"
Sebuah anggukan kecil Hamna berikan.
-BERSAMBUNG-
Padalarang, 29 November 2023
Berhubung kolom komentar rame, ya sudah deh aku kasih gift berupa double update untuk hari ini 🤭☺️ ... Ramaikan lagi ya 🤣
Masih ada yang nungguin kisah Hamzah dan Hamna, kan? Mau digasskeun lagi?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top