RS | Part 33

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Meksipun ketemu jodohnya dianggap terlambat, yang penting sekarang sudah bersama orang yang tepat."

-Rintik Sendu-
by Idrianiiin

SEBUAH kertas putih polos serta bolpoin ada di atas meja. Hamna sedikit mengernyit, kurang mengerti akan maksud dari suaminya.

"Buat apa?"

Hamzah menggambar sebuah garis horizontal di tengah-tengah kertas tersebut. "Coba kamu tulis planning lima tahun ke depan."

Hamna menurut mengikuti titah Hamzah. "Soon, saya lulus kuliah, jadi pebisnis di bidang kuliner, menikmati peran sebagai istri dan juga ibu, serta harus jadi menantu idaman ibumu."

"Aamiin," sahut Hamzah lalu kembali mengambil alih kertas tersebut.

"Bismillah, lima tahun ke depan sampai dengan seterusnya saya akan selalu membersamai istri saya dalam mewujudkan cita-citanya."

"Itu namanya curang. Nggak kreatif!"

"Kenapa gitu?"

"Ya harusnya Aa juga tulis planning Aa dong, bukan malah ngikutin saya."

"Kamu tahu nggak sih, Na? Pernikahan itu berat, kita perlu pegangan agar bisa tetap kukuh pada satu tujuan. Di saat kamu sudah tahu arah kamu akan ke mana, maka saya sebagai suami tinggal menjalani peran sebagai support system terbaik."

"Seharusnya planning ini kita buat saat setelah akad, tapi karena satu dan lain hal saya baru bisa merealisasikannya sekarang. Cinta akan pudar, tapi di saat kita punya tujuan, maka kita akan senantiasa berusaha untuk tetap bersama, mempertahankan apa yang sudah kita ikrarkan di hadapan Sang Pencipta."

"Kita perbaiki kurikulum yang ada di dalam rumah tangga kita. Mari susun dengan jelas dan penuh arah, supaya mahligai yang kita bangun bisa mencetak keturunan yang shalih dan shalihah."

Hamzah menunjuk kertas yang telah mereka isi bersama. "Sekarang kita punya pegangan, ada tujuan yang harus kita capai. Mari saling bekerja sama?"

Hamna tak bisa berkata-kata, dia hanya mampu mengangguk patuh. Hatinya mendadak diliputi rasa tenang dan bahagia.

Pernikahan seperti inilah yang selama ini dia cita-citakan.

Dibina bukan hanya karena dasar rasa cinta, melainkan saling mendukung untuk mewujudkan tujuan bersama.

"Kenapa diam? Ada yang salah? Mau ada yang diubah?"

Lagi-lagi Hamna menggeleng, dia menatap lekat mata Hamzah lalu berkata, "Saya menerima tawaran kerjasamanya."

Hamzah menolak saat Hamna mengulurkan tangan untuk saling berjabatan. Dia meminta Hamna untuk mencium punggung tangannya. Meskipun sedikit ragu, Hamna akhirnya menurut.

Dengan lembut Hamzah mengelus puncak kepala sang istri, melantukan doa baik lalu mengecupnya dengan khidmat. "Allahumma baarikli fi ahli wa baarik li-ahli fiyya warzuqhum minni warzuqniy minhum."

Hening seketika menyelimuti, keduanya saling memandang dengan sorot kelegaan.

"Bersedia jadi al mar'atus shalihah, Na?"

"Apa itu?"

Hamzah terkekeh pelan lalu berujar, "Al-Mar'ah Ash-shalihah adalah wanita yang baik dan patuh pada suami. Menjadi sebaik-baiknya perhiasan dunia."

Hamna mengangguk setuju.

Hamzah menarik tangan Hamna untuk sejenak menikmati suasana malam di Gili Trawangan untuk yang terakhir kalinya.

Pandangan mereka lurus ke depan, berdiri saling bersisian, menikmati hembusan angin yang menusuk hingga ke tulang.

"Boleh saya tahu, kenapa kamu memiliki cita-cita untuk jadi pebisnis di bidang kuliner?"

Hamna melirik sekilas ke arah suaminya, "Ada sembilan point yang harus saya penuhi sebagai syarat menjadi menantu idaman Ibu Anda. Yang paling utama saya harus punya gelar sarjana dan jadi wanita karier."

"Jika saya bekerja di bawah telunjuk orang. Saya akan kehilangan dua peran sekaligus, yakni seorang istri dan seorang ibu, padahal dua peran itu termasuk dalam syarat yang juga Ibu Anda ajukan. Dengan berbisnis apalagi dalam bidang kuliner saya sudah bisa memenuhi 5 point paling atas, 3 sisanya akan saya usahakan karena itu berkaitan dengan hal-hal pribadi dan juga karakter yang ada dalam diri saya."

"Point terakhir?"

Hamna berdehem sejenak lalu berucap, "Jika saya siap, saya yang akan menawarkan diri. Itupun kalau seandainya Aa meridai?"

"Saya tidak akan memaksa, hanya sekadar menanyakan saja. Ada tujuan yang jauh lebih penting dan harus kita wujudkan bersama."

Sedikit ragu Hamna menggenggam tangan Hamzah. Salah satu tangannya dia arahkan ke depan. "Kita memang nggak bisa mengarungi lautan lepas itu, tapi kita bisa menikmati keindahannya walau dari jarak yang jauh."

Hamzah merangkul bahu Hamna, dapat dia rasakan tubuh istrinya sedikit menegang, tapi itu tidak berlangsung lama. Sampai akhirnya dia mendaratkan kecupan singkat tepat di atas ubun-ubun Hamna.

"Saya kalah, Na."

Hamna mendongak lalu berucap, "Maksudnya?"

"Saya ingin menarik kata-kata yang dulu pernah saya ucapkan sama kamu."

"Yang mana?"

Hamzah melepas rangkulannya, lalu mereka berdiri saling berhadapan, dan dipegangnya kedua bahu Hamna. Pandangan keduanya saling terkunci.

"Saya tertarik dengan apa yang ada dalam diri kamu. Untuk sekarang dan saya harap sampai seterusnya akan seperti itu."

Hamna menahan senyumnya. "Jadi?"

"Sesuai kesepakatan, saya akan mengikuti dan menuruti apa pun yang kamu minta."

Hamna meletakkan jari telunjuknya di dagu. "Ehm, untuk itu akan saya pikirkan nanti."

Setelahnya dia langsung berlari, menyusuri setiap inci pasir putih. Dinginnya deburan ombak yang menghantam kaki, tak membuat dia gentar malah berjingkrak kesenangan.

Hamzah mengejar langkah Hamna, mereka saling berlarian di tepi pantai. Melempar canda dan tawa, seakan tengah meluapkan rasa yang selama ini menghimpit rongga dada.

Hamna merentangkan kedua tangannya lalu berteriak, "Nadhif, akhirnya sekarang saya punya penjaga hati!"

Tanpa aba-aba Hamzah mengangkat pinggang Hamna dan berputar-putar tak jelas. "Titi hari ini saya usai, Titi!"

"Kok usai?" tanya Hamna saat mereka sudah sama-sama duduk seraya memainkan pasir.

"Usai dengan masa lalu, dan membuka lembaran baru bersama kamu."

Saat itu juga tawa Hamna pecah tak terbendung. "Hati-hati jadi bucin sama saya!"

"Tanpa kamu peringatkan pun saya rasa sudah, kamu terlambat, Na."

"Pak Dosen yang punya segudang karisma, ternyata luluhnya sama wanita biasa seperti saya. Ternyata saya hebat juga?"

"Kamu memberi saya rasa nyaman, meskipun saya harus banyak ngelus dada sabar saat menghadapi tingkah polah kamu yang kadang di luar nalar!"

"Itulah yang dinamakan dengan konsekuensi, bukan begitu?"

Hamzah mengangguk singkat.

"Apa ada yang ingin kamu sampaikan pada saya, Na?"

Hamna menggeleng. "Nggak ada, emangnya Aa mengharapakan saya ngomong apa?"

"Ya apa kek gitu."

Hamna mengulum senyumnya. "Berharap banget perasaannya saya balas." Dengan usil dia menoel pipi kiri sang suami.

"Berharap sih nggak, tapi ya harusnya bisa diusahakan supaya pondasi rumah tangga kita semakin kokoh."

"Itu namanya maksa!"

"Nggak ya, Na."

"Nggak salah lagi kali!"

"Hati kamu ada pemiliknya, dan saya akan meminta langsung pada Dia yang lebih memiliki kuasa untuk membolak-balikkan hati manusia."

"Silakan, mari kita lihat sekuat apa doa Aa. Apakah akan berhasil atau justru gagal?" sahutnya dengan alis terangkat satu.

"Oke, siapa takut!"

-BERSAMBUNG-

Padalarang, 29 November 2023

Tarik napas, buang 😌😜 ... Dilarang senyum-senyum sendiri, dilarang keras pokoknya 😂✌️

Masih mau digasskeun ke bab selanjutnya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top